Oleh: Syamsudin Kadir
(Penggiat Rumah Produktif Indonesia)
KAMIS 24 Maret 2022 adalah salah satu kesempatan yang istimewa bagi saya. Sebab kali ini saya bisa bersua dengan seorang intelektual muda yang aktif sebagai akademisi sekaligus penulis. Walau saya sudah mengenalnya sejak belasan tahun silam, namun baru kali ini bisa bertemu. Keaktifannya di dunia literasi bukan hal baru, sebab sejak beberapa tahun silam namanya sudah terpampang di beberapa organisasi penulis lintas forum.
Pertemuan saya dengan sosok yang akrab dengan berbagai kalangan ini memang terjadi secara mendadak. Kebetulan beliau menghadiri acara pernikahan sahabatnya di Cirebon-Jawa Barat pada hari yang sama. Setelah selesai acara sosok yang bernama lengkap Dr. (c) Yanuardi Syukur ini menyempatkan untuk berkunjung ke rumah temannya di sebuah perumahan dekat perumahan tempat saya berdomisili, di Talun, Cirebon-Jawa Barat.
Pada awalnya saya sempat ragu dan hendak mengurungkan untuk bertemu karena sebelumnya sudah ada janjian dengan teman lain di Radar Cirebon. Namun acara di Radar Cirebon saya menyesuaikan lagi waktunya, sehingga niat saya untuk bertemu dengan penulis buku yang tergolong produktif ini berlangsung juga. Tak menunggu lama, saya pun langsung menuju ke tempat perjanjian, tepatnya rumah temannya yang ternyata sudah saya kenal sejak lama, Kang Rosyidin.
Ada banyak hal yang kami obrolkan pada pertemuan kali ini, dari dunia pergerakan hingga isu-isu kekinian, termasuk dunia kepenulisan. Namun poin intinya fokus pada dua hal penting yaitu pentingnya literasi dan semangat berkarya. Pertama, ruh dan semangat literasi mesti terus digelorakan agar semakin menyala. Ya, obrolan kami dari awal sampai akhir benar-benar tidak bisa dipisahkan dari bagaimana caranya agar keterpanggilan pada tradisi literasi terus terjaga hingga menghasilkan karya tulis yang terpublikasi.
Menurutnya, tradisi literasi di era ini dihadapkan dengan berbagai tantangan sekaligus kemudahan. Sehingga siapapun yang terpanggil di dunia literasi perlu belajar dan banyak beradaptasi. Hal lain, mesti aktif mendapatkan berbagai informasi untuk memperkaya konten tulisan. Energi ini berasal dari dalam diri kita sendiri. “Memang energi menulis itu bersumber dari dalam diri kita sendiri”, ungkapnya.
Kedua, komunitas kepenulisan merupakan ruang belajar untuk saling berbagi dan memperkaya inspirasi. Menurutnya, forum penulis atau forum serupa sangat banyak, semuanya punya ciri khas dan keunikan. Namun RPI mampu hadir dengan cara yang berbeda. Mereka yang aktif di RPI berasal dari berbagai kota dan beragam profesi. “RPI ini unik, sebab semuanya berasal dari latar yang berbeda. Profesi, asal dan keyakinan”, ujarnya.
Baginya, RPI merupakan tempat belajar bagi semua yang ingin berkarya melalui jalur kepenulisan, apapun profesinya. Bukan saja untuk mereka yang sudah punya nama besar di dunia kepenulisan, tapi juga untuk mereka yang masih pemula atau baru menekuni dunia kepenulisan. Sehingga RPI bisa menjadi tempat yang nyaman bagi semua elemen lintas latar belakang.
Ada satu hal menarik yang Mas Yan sampaikan lagi pada pertemuan kali ini, yaitu perlunya penguatan kelompok epistemik yang mendalami berbagai mata keilmuan. Namun kelompok ini bukan saja kuat pada aspek narasi namun mesti jago dalam mengeksekusinya. Entah apa namanya kelak, yang jelas komunitas ini nantinya benar-benar mampu melahirkan pemikir keilmuan bahkan mungkin pemikir kebangsaan.
Pada kesempatan ini saya menghadiahi Mas Yan beberapa buku saya seperti “Politik Cinta”, “Persatuan Ummat Islam”, “Plan Your Success”, “Kalo Cinta, Nikah Aja!”, dan buku “Pendidikan Ramadan”. Kebetulan Mas Yan berkomentar juga pada buku yang terakhir disebut ini. Berita baiknya, semua buku ini merupakan bunga rampai tulisan saya yang pernah dimuat di berbagai surat kabar dan media online serta blog pribadi saya pada beberapa tahun terakhir. Saya ingin menyemangati diri saya bahwa menulis yang baik itu adalah menulis yang terwujud dalam bentuk karya yang terbaca dan terpublikasi.
Menjelang kembali ke Jakarta bersama keluarga kecilnya yang turut menyertainya ke Cirebon, Mas Yan meminta saya untuk menyampaikan beberapa tips agar produktif menulis. Saya pun menyampaikan, diantara modal penting yang mesti dimiliki oleh seseorang agar produktif menulis adalah: (1) banyak membaca, apa saja dibaca, (2) mampu menemukan ide penting dari sumber bacaan, (3) mampu mengelaborasi ulang ide yang ada, (4) langsung dan berani menulis, serta (5) aktif mempublikasi sekaligus siap menerima kritik atau saran pembaca.
Waktu memang berkuasa, ia benar-benar tak bisa digugat. Apalah lagi masing-masing kami memiliki aktivitas yang cukup padat, pertemuan kami pun diakhiri. Walau hanya sekitar dua jam-an lebih, pertemuan ini benar-benar menjadi kesempatan istimewa bagi saya untuk terus belajar dan menekuni dunia kepenulisan lebih serius lagi. Menulis pun tak cukup diwujudkan dengan buku-buku yang diterbitkan oleh berbagai penerbit buku dan artikel-artikel yang tersebar di berbagai surat kabar. Tapi mesti mampu menggerakkan banyak orang untuk berkontribusi dalam memajukan bangsa dan negara tercinta Indonesia. Akhirnya, terima kasih Mas Yan! (*)