Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Indahnya Islam di Indonesia)
AHAD 24 April 2022 saya menghadiri acara Gerakan Subuh Mengaji (GSM) Aisyiyah Jawa Barat yang mengangkat tema “Dampak Ramadan dan Pencerahan Peradaban Utama di Era Disrupsi” dengan narasumber Prof. Dr. H. Abdul Mu’ti, M.Ed, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah. Sementara Dr. Iu Rusliana, M.Si. didaulat menjadi narasumber untuk acara yang dihadiri ribuan peserta dari berbagai kota di Jawa Barat dan seluruh Indonesia ini dan disiarkan oleh berbagai media (online) Muhammadiyah seperti TVMU, YouTube Muhammadiyah Jawa Barat, dan sebagainya.
Tema era disrupsi menjadi salah satu tema menarik yang diperbincangkan oleh banyak kalangan di berbagai forum. Hal itu dikaitkan dengan berbagai aspek seperti ekonomi, bisnis, pendidikan, kesehatan, politik hingga keagamaan. Para kalangan elite lintas kehidupan publik pun membahas tema ini dalam beragam forum, yang selalu dikaitkan dengan respon dan penyikapan negara kepada perubahan yang datang tiba-tiba dan serba kompetitif.
Disrupsi adalah kondisi dimana terjadinya inovasi yang menyebabkan perubahan secara besar-besaran atau mendasar ke dalam sistem yang baru. Dalam bidang bisnis, hal ini tentunya merupakan tantangan yang cukup berat dimana perusahaan harus melakukan inovasi secara terus-menerus agar dapat tetap relevan dengan perubahan zaman.
Perusahaan incumbent pun bahkan dapat terdampak pada perubahan ini. Hal ini dapat disebabkan karena perusahaan-perusahaan besar kehilangan pangsa pasarnya akibat dari kemajuan teknologi. Biasanya mereka belum siap dan juga belum beradaptasi.
Disrupsi sangat berkaitan dengan inovasi. Misalnya, di dunia teknologi komunikasi, dulu medianya masih konvensional, lalu belakangan berubah dengan adanya penemuan media baru. Bahkan belakangan ini jenis dan bentuk media komunikasi sudah banyak variasi dan pemanfaatannya. Menurut Mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah ini, disrupsi sendiri ditandai oleh beberapa hal seperti kegoncangan, ketidakjelasan, kompleksitas dan ambiguitas.
Saya mencoba untuk mengelaborasi kembali apa yang diulas Prof. Mu’ti melalui tulisan sederhana ini. Pertama, kegoncangan. Disrupsi menghadirkan kegoncangan global, yang pada sebagian kalangan menimbulkan ketidaknyamanan tertentu, lalu pada sebagian kalangan malah merasa lebih nyaman. Kegoncangan semacam ini perlu direspon secara produktif sehingga tidak menimbulkan dampak buruk. Kuncinya adalah menjaga nilai-nilai utama yang berpijak pada kekuatan iman sekaligus moralitas.
Kedua, ketidakjelasan atau ketidakpastian. Hal lain, disrupsi menimbulkan ketidakjelasan atau ketidakpastian dalam banyak hal. Misalnya, dalam hal lapangan kerja yang semakin sulit. Terutama fungsi tertentu bisa diperankan oleh media atau benda seperti robot dan sebagainya. Sehingga fungsi manusia semakin sempit dan menimbulkan permasalahan baru yaitu menghilangnya lapangan kerja. Artinya, jangan kan mereka yang punya potensi sederhana, mereka yang profesional atau ahli pun nyaris tak punya lapangan kerja.
Ketiga, kompleksitas. Hal lain, disrupsi juga ditandai oleh adanya kompleksitas permasalahan. Berbagai hal muncul dalam sebuah ruang informasi yang sama. Respon manusia pada kondisi demikian bermacam-macam. Sehingga bergama manusia lintas tempat bahkan negara mengalami konektivitas secara masif. Pada kondisi itu, terjadi pertemuan nilai, budaya dan kepentingan beragam manusia. Mereka yang tidak kreatif dan sensitif untuk beradaptasi hanya akan mencukupkan dirinya sebagai penonton, bahkan berikutnya bakal menjadi korban dan tertindas.
Keempat, ambiguitas. Hal ini ditandai dengan respon kita pada hal-hal baru yang dihadirkan oleh berbagai sumber berita di berbagai media. Pada media semacam itu kita menemukan semacam pertentangan antar perspektif lama dan baru, inovasi lama dan baru, dan masih banyak lagi. Bahkan bisa jadi dalam konteks tertentu terjadi clash of values, benturan nilai. Dalam aspek lain, tak sedikit yang ragu pada nilai-nilai lama lalu beradaptasi pada nilai-nilai baru. Bagi mereka yang tidak telaten menghadapi kondisi ini bakal mengalami keraguan untuk melakukan hal-hal produktif.
Berkaitan dengan disrupsi, kita bisa menelisik firman Allah berikut ini, “Tidakkah kamu memperhatikan bagai-mana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit. (24) (Pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya.
Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Pohon itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. (25) Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Dan perumpamaan kalimat yang buruk (kalimat kufur) seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dengan sangat mudah dari permukaan bumi.” (26) (QS. Ibrahim: 24-26).
Dalam konteks pergerakan yang berhadapan dengan disrupsi maka yang kita lakukan adalah sebagai berikut, pertama, menjaga nilai-nilai pokok dan adaptif dengan nilai-nilai baru. Tauhid menimbulkan sikap optimistik dan percaya diri untuk menebar manfaat. Secara sederhana, kita mesti mampu memproduksi buah atau manfaat bagi masyarakat banyak. Kuncinya adalah inovasi sekaligus kemampuan adaptasi pada perubahan yang sedang dan akan terjadi di masa mendatang. Perkembangan teknologi, misalnya, mesti dipandang sebagai peluang untuk mempermudah aksi sosial atau manfaat pada segmentasi masyarakat yang semakin luas.
Kedua, menghindari respon yang kontraproduktif dengan nilai-nilai utama dan landasan perjuangan. Disrupsi mesti dipahami sebagai medan terbuka untuk menghadirkan manfaat pada sesama melalui media yang hadir. Disrupsi dimanfaatkan untuk menguatkan koneksi antar berbagai elemen yang menopang aksi-aksi sosial bagi masyarakat luas. Maknanya, pergerakan Muhammadiyah tidak boleh menjadi penghambat bagi meluasnya aksi sosial atau manfaat bagi masyarakat luas. Sebab bisa-bisa terjebak menjadi pohon yang buruk seperti yang diafirmasi oleh ayat di atas.
Selebihnya, disrupsi sejatinya hanya fenomena sosial yang sejatinya bisa kita jangkau dan dampaknya bisa kita antisipasi sejak dini. Bertauhid yang murni merupakan modal utama, pada saat yang sama mampu melakukan respon yang kreatif dan inovatif pada perubahan yang terjadi. Perkembangan teknologi, misalnya, secerdas mungkin dimanfaatkan untuk menebar nilai-nilai utama dan syiar persyarikatan.
Ekspansi nilai dan manfaat bisa dilakukan dengan beragam cara, misalnya, membuka mindset atau pola pikir, termasuk pemanfaatan media sebagai salah satu produk peradaban yang mengalami disrupsi. (*)