Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku “Membaca Politik Dari Titik Nol”)
MUNGKIN kita bisa memaafkan bila Ade Armando menarik kembali atau meminta maaf atas seluruh ucapannya selama ini kepada umat Islam dan kitab suci al-Quran yang cenderung jorok dan norak. Bahkan menimbulkan kemarahan di sebagian besar kalangan. Tapi sekali lagi, kita sangat terbuka kesempatan untuk memaafkan dia. Bukan membenarkan pernyataannya, tapi karena memang itu maslahat bagi semua terutama bagi Ade Armando sendiri. Ya, maafkan saja!
Saya tak perlu menyebutkan diksi dan narasi yang kerap ia tebar selama sekian tahun ini di berbagai forum dan media. Sebab siapapun bisa mengaksesnya di berbagai media, termasuk akun media sosialnya. Silahkan akses dan baca sendiri, biar bisa “menikmati” sendiri sensasi dan betapa jorok dan noraknya sosok ini dalam menyampaikan pendapat dan melampiaskan kemarahannya pada kelompok yang berbeda dengan diri dan pilihan politiknya. Bahkan ia sampaikan juga pada ajaran agama Islam dan kitab sucinya.
Namun demikian, berbagai pertanyaan muncul dan bakal terus muncul. Misalnya, apakah dia bisa sadar dan tak berulang kembali melecehkan umat Islam dan ajarannya? Apakah dia mau bertaubat dari seluruh ucapannya yang sangat melukai hati umat Islam selama ini? Apakah ia benar-benar tersadarkan atau malah tambah gila seperti yang ia ungkap bahwa ia berjanji bakal lebih gila lagi? Apakah tidak cukup menjadi pelajaran berharga atas apa yang menimpanya pada Senin 11 April 2022 lalu?
Apapun jawabannya, Ade Armando punya hak untuk menjadi dirinya sendiri dan memilih jalan yang bisa jadi sangat nyaman bagi dirinya. Melecehkan dan menghina orang, itu mungkin cara dia mengekspresikan pemikiran dan keyakinan politiknya selama ini. Bisa jadi itu yang membuat karirnya melejit, baik sebagai akademisi maupun sebagai bazzer atau sebutan lain yang kerap ia semat atau disematkan padanya. Itu hak dia, dan biarkan sejarah yang mencatat sendiri tentang apa yang dilakoni oleh sosok yang kerap menyampaikan hal-hak yang kontroversial ini.
Sekali lagi, bagi kita, itu terserah dia dan pilihan dia sendiri. Umat Islam takkan melakukan apa-apa untuknya dan takkan menghakiminya. Bukan takut, tapi memang tak perlu. Tak ada gunanya menghakimi dia secara masal. Hanya saja Ade Armando perlu tahu bahwa ucapannya selama ini di berbagai momentum dan tulisannya selama ini di berbagai laman media sosial bakal membekas di hati dan pikiran siapapun.
Dan saya khawatir itu menjadi gerakan sosial yang menggelombang masal. Tapi sekali lagi, itu terserah dia saja. Sebagai sesama anak bangsa kita hanya menasehatinya, mengingatkan dia agar lebih hati-hati dan menghargai perasaan publik yang berbeda pandangan.
Selanjutnya, bagi yang sependapat atau sealiran dengan Ade Armando, tak perlu menuduh bahwa pelakunya bagian dari mahasiswa yang aksi di depan gedung DPR/MPR. Jangan menuduh ormas Islam atau massa politik tertentu juga. Menuduh tak ada manfaatnya, malah menimbulkan masalah baru.
Ya, siapapun tahu bahwa pelaku pengeroyokan atas dirinya bukan anggota ormas Islam atau kelompok politik yang selama ini berbeda dengan pilihan dan sikap politiknya. Bahkan bukan mahasiswa yang tergabung dalam barisan BEM Seluruh Indonesia atau BEM SI.
Ya, perlu dipertegas, adapun pengeroyokan yang ia peroleh di tengah massa aksi, itu urusan dia dan pelaku. Kita tak ada urusan dengan apa yang ia alami. Memar, lebam dan berdarah itu urusan dia sendiri. Rasa sakit dan segala macamnya, silahkan ditanggung sendiri. Atau bila pun ada kelompok yang membelanya lalu menebar diksi dan narasi beraroma fitnah, itu terserah saja. Toh tanpa kasus kemarin Ade Armando sudah kerap menebar kebencian dengan kelompok yang berbeda pandangan. Itu sudah menjadi konten dia di berbagai momentum dan media.
Selebihnya, siapapun sudah maklum bahwa pelaku pengeroyokan sudah terdeteksi sekitar enam orang jumlahnya. Bahkan dua diantaranya sudah tertangkap dan kini ditahan oleh polisi. Perihal pelaku, bisa jadi mereka punya urusan bisnis atau organisasi yang masih bermasalah dengan Ade Armando.
Entahlah, itu urusan mereka. Atau dalam konteks lain, itu urusan hukum. Serahkan saja. Kita tunggu hasilnya, apakah pelakunya musuh politik, atau teman dia sendiri yang sedang bermasalah dengannya?
Mungkin apa yang dia alami adalah hukuman alam dengan cara lain bagi seluruh ucapannya yang ngawur dan nyeleneh selama ini. Bila selama ini ia selalu bebas dan tak tersentuh oleh hukum dengan argumen bahwa setiap opininya masih dalam bingkai rasionalitas dan tak bertentangan dengan hukum, maka biarkan alam yang akan menghukumnya. Biarkan Tuhan yang memberinya pelajaran dengan cara-cara yang tak ia sangka. Selebihnya, untuk Ade Armando, silahkan “ngoceh” sesuka hati dan semau Anda!
Pelajaran berharga bagi kita, bahwa dulunya Ade Armando kerap menulis di berbagai media massa seperti surat kabar termasuk majalah. Ulasannya cerdas dan diksinya apik, sangat mencerdaskan. Kontennya pun bergizi dan kerap mendasari argumentasinya dengan nalar agama, dalam hal ini Islam.
Ia kerap mengkritik media massa yang menepikan nilai-nilai Islam dalam kontennya. Dan masih banyak lagi. Nah belakangan dia berubah dan benar-benar berubah. Tema keagamaan dan praktik keagamaan yang bernyawa simbolik pun ia cerca. Konon atas nama kebebasan berpendapat dan kuasa akal. Atau mungkin kepentingan politik dan agenda tersembunyi.
Bila tak hati-hati, kita bisa terjebak pada apa yang dipikirkan dan diyakini, sekaligus yang diperjuangkan dan yang dialami Ade Armando. Dulunya, begitu bangga dan haru pada nilai sekaligus ajaran agama, namun belakangan menjadi alergi bahkan antipati. Dulunya melakukan pembelaan pada upaya peninggian umat Islam di panggung politik, belakangan malah menistanya dengan berbagai diksi dan narasi.
Dulunya aktif menebar diksi dan narasi yang menghadirkan kesejukan di hati publik, belakangan malah sibuk menebar kontroversi. Hidayah memang benar-benar urusan Tuhan dan hamba-Nya, termasuk dalam berwacana. Kita hanya mampu berdoa dan berikhtiar agar terhindar dan tak terjebak lagi pada lubang yang sama. Faghfirlanaa yaaa ilahanaa! (*)