Oleh: Sutan Aji Nugraha
(Penulis adalah pengamat politik, tinggal di Cirebon)
PERISTIWA 3 Juli 1946 merupakan peristiwa kudeta “pertama” dalam sejarah perjalanan politik Indonesia dibawah pemerintahan Kabinet Sjahrir II yang dilakukan oleh pihak oposisi dalam Persatuan Perjuangan yang dipelopori Tan Malaka.
Sebab atau pemicu timbulnya gejolak yakni tentang cara-cara politik yang dilakukan pemerntahan kepada Belanda, melalui diplomasi, berunding. Hal tersebut secara organisasi pemahaman oposisi merupakan gerakan mengkerdilkan, memadamkan api semangat atau cita-cita pada revolusi nasional 17 Agustus 1945.
Presiden Soekarno, dan terutama Perdana Menteri Sjahrir menjadi dua tokoh sentral yang kemudian dituduh “menjual” negara gara-gara membuka pintu dan duduk bersamadengan Belanda. Setelah mengadakan dua kali kongres, di Purwokerto pada 6 Januari 1946 dan kemudian 15-16 Januari 1946 di Solo, Tan Malaka menyampaikan deklarasi mengapa harus “Persatuan Perjuangan”.
Di depan perwakilan 141 organisasi, Tan Malaka menegaskan, “…dasarnya persatuan dalam menyelesaikan revolusi ini ialah perjuangan untuk menghadapi musuh bersama, sampai tercapai kemerdekaan 100%, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, jadi bukannya persatuan untuk kompromi, yang berarti berkhianat kepada kemerdekaan 100 % menurut Proklamasi 17 Agustus 1945…. Maka persatuan perjuangan itulah nama yang saya anggap paling tepat.”
Pidato Tan Malaka ini mendapat simpati dan dukungan dari lapisan masyarakat, termasuk dari kalangan Militer. Karena Kabinet Sjahrir dianggap terlalu banyak memberikan konsesi ke Belanda. Apalagi setelah pidato Bung Hatta yang membocorkan bahwa akan diadakan perundingan baru dengan Belanda antara lain akan adanya dan dicapainya kesepakatan wilayah Indonesia meliputi Jawa dan Sumatera saja.
Untuk kelompok Tan Malaka menginginkan kemerdekaan 100 % atau tidak ada kompromi dengan kaum imperialis dan kolonialis, kebijaksanaan pemerintah yang dianggap menerima tekanan luar harus dibersihkan. Maka kaum militer bekerja sama dengan kaum politik untuk melakukan apa yang dinamakan “Peristiwa 3 Juli”.
Pada 23 Maret, tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan, antara lain Tan Malaka, Achmad Subardjo, Sukarni dan yang lainnya, ditangkap dengan tuduhan perencanaan penculikan terhadap anggota-anggota kabinet. Pada 27 Maret 1946, tuduhan tersebut menjadi kenyataan, bahwa anggota-anggota kabinet dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir diculik oleh orang-orang yang tidak dikenal.
Pada 28 Juni 1946, Presiden Soekarno menyatakan keadaan bahaya. Setelah itu, seluruh kekuasaan pemerintahan dikembalikan kepada Soekarno. Upaya himbauan Soekarno melalui media massa akhirnya berhasil, seluruh korban penculikan dibebaskan kembali.
Tanggal 3 Juli 1946, Mayor Jendral Sudarsono, pelaku utama penculikan yang sehaluan dengan kelompok Persatuan Perjuangan, menghadap Soekarno bersama beberapa rekannya dan menyodorkan empat maklumat untuk ditandatangani presiden, yang menuntut agar: (1) Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir II, (2) Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik, (3) Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, Buntaran Martoatmodjo, Budiarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Gatot dan Iwa Kusuma Sumantri dan (3) Presiden mengangkat 13 menteri negara yang nama-namanya dicantumkan dalam maklumat.
Soekarno tidak menerima maklumat dan memerintahkan penangkapan para pengantarnya. Empat belas orang yang diduga terlibat dalam upaya kudeta diajukan ke Mahkamah Tentara Agung. Tujuh orang dibebaskan, lima orang dihukum 2 sampai 3 tahun, sedangkan Sudarsono dan Muhammad Yamin dijatuhi hukuman selama empat tahun penjara.
Dengan demikian, terdapat 3(tiga) analisis, yakni (1) Model kudeta yang dilakukan oleh Mayjend Soedarsono (Persatuan Perjuangan) dengan menyerahkan langsung maklumat kepada Presiden, (2) Keterlibatan Soeharto ada 3 Juli 1946 di pagi hari yang gagal karena kedatangan Mayjend Soedarsono ke Istana Negara telah diketahui Presiden atas bocoran informasi Soeharto sendiri, yang sebelumnya membantu ‘pembebasan’ Persatuan Perjuangan’ dari penjara Wirogunan dan (3) ‘kebetulan’, nadi pasca-pergerakan 3 Juli 1946 mati dengan sendirinya. Itulah Soeharto dengan segala ‘kebetulan’ nya telah mengalami krisis politik yang menghancurkan kaum kiri.
Setelah peristiwa 3 Juli 1946, Sjahrir tetap pada keyakinannya dengan melanjutkan politik diplomasinya. Keyakinan politik yang progressif dan revolusioner tidak hanya dengan angkat senjata dan berperang. Oleh karena itu, politik diplomasi Sjahrir demi pengakuan negaranya dengan melakukan “Politik beras” yaitu membantu India yang sedang dilanda kelaparan dengan 500.000 ton gabah kering, akhirnya berhasil sebagian menembus blokade Belanda.
Meskipin sejumlah besar gabah di Banyuwangi dibom dan dibakar Belanda. Proyek ini sekaligus membuat simpati dunia pada Revolusi Indonesia walaupun pada waktu itu keadaan rakyat Indonesia pun tidak jauh berbeda dengan India.
Yang patut dijadikan cermin kita di sini ialah soal sikap politik Persatuan Perjuangan. Sebenarnya Persatuan Perjuangan mengusulkan program rumusan mereka, yang disebut “Minimum Program”, sebagai program kabinet. Sementara pemerintah lebih memilih merumuskan program baru, Persatuan Perjuangan melarang anggotanya duduk di kursi kabinet. Adapun dalam individu-individu dari Persatuan Perjuangan sangat setuju dengan yang dilakukan Sutan Sjahrir, namun pemahaman politik jauh lebih mengalahkannya.
Jadi, politik kita waktu itu adalah politik program (substantif), bukan politik dagang sapi atau kursi (artifisial) seperti sekarang ini. Itulah kemuliaan dari politik Indonesia yang pernah dimiliki, mementingkan pemahaman politik diatas diri sendiri. Semoga peristiwa 3 Juli 1946 mampu dijadikan ilmu pengetahuan bagi politisi/politikus lokal maupun nasional saat ini dalam memperjuangkan keyakinan politik berdasarkan rasio.
Menurut Sjahrir, revolusi memiiki 2 (dua) syarat, (1) Adanya pimpinan yang berjiwa progressif dan revolusioner namun bukan pemimpin yang gila berontak, (2) Adanya persamaan nasib bersama dan dipimpin oleh seorang revolusioner, bukan keadaan revolusioner yang dipaksakan.
Kalian harus tahu juga bahwa menjadi Kiri adalah anugerah bahkan hidayah yang harus disyukuri.
Menjadi kiri adalah kenikmatan yang hakiki dimiliki manusia karena anda mampu mengerti serta memahami persoalan mutakhir umat manusia, dunia dan seisinya. Oleh sebab itu, buat orang kiri harus lebih sabar, sedikit disiplin sedikit ramah untuk mengajak orang lain mengerti lebih dulu. Tidak bisa langsung jadi. Dan paling utama ialah merubah pribadi diri sendiri terlebih dahulu.
Era pemerintahan Jokowi biisa dilihat semua aktivis kiri dan kanan tampak dalam partai dan parlemen pendukung pemerintah. Memang strategi yang ciamik untuk bisa menundukkan mereka secara bersamaan, dimana mereka bertentangan dalam hal ideologi, politik dan organisasi. Jangan Jadi Kiri Ngehek!!! (*)