Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis buku Moderasi dan Toleransi Beragama)
HARI ini Kamis 2 Juni 2022 saya menyempatkan untuk menghadiri acara Webinar melalui Zoom Meeting Serial Diskusi Peradaban-Paramadina “Nurkholis Majid dan Indonesia”.
Pada acara kali ini ada beberapa yang didaulat menjadi narasumber seperti Prof. Jimly Asshidiqy, Dr. Fahri Ali dan masih banyak lagi. Ada dua tokoh yang mengawali acara yang diikuti sekitar 150-an peserta ini yaitu Prof. Didik J. Rachbini (Rektor Paramadina) dan Prof. Salim Said (Pengamat Politik).
Sepengetahuan saya, ada tiga hal yang akrab dengan Prof. Nurkholis Majid atau yang akrab dengan Cak Nur. Pertama, baca, tulis dan diskusi. Setiap pekan selalu ada artikel baru yang dimuat di berbagai media massa terutama surat kabar.
Beliau pun aktif menulis buku dalam beragam tema terutama seputar keagamaan dan kebangsaan. Itulah rutinitas yang akrab dengan hari-harinya. Jauh berbeda dengan elite era ini. Era ini, jangan kan politisi dan pejabat, profesor dan akademisi di perguruan tinggi pun malas menulis. Bahkan nyaris tak ada gagasan yang bisa diakses oleh publik.
Kedua, kontroversi dan berbeda. Ada saja ide yang baru atau asing dalam obrolan warga negara yang beragam. Dan memang ide-idenya selalu kontroversi dan berbeda. Baik seputar keagamaan dan kebangsaan, maupun etika publik.
Sehingga tak sedikit yang mengkritik beliau, baik pemikiran maupun sikap beliau pada beberapa gagasan yang kontroversi. Dalam dimensi tertentu kritik pada beliau terutama pada hal-hal yang berkaitan dengan pemikirannya yang dianggap liberal dan sekularistik.
Ketiga, akrab dengan isu-isu kekinian. Inilah kemampuan Cak Nur, sensitif pada isu-isu aktual dan direspon secara intelektual. Memang tak mudah membaca gagasan dan mengikuti substansi pemikiran Cak Nur, bahkan dalam konteks tertentu gagasannya kerap dinilai “liar” dan asing. Sehingga butuh waktu yang cukup untuk mendalami dan memahaminya. Walau tak sedikit yang bisa dipahami seketika. Dan itulah kekhususan beliau. Lebih dan kurangnya.
Gagasan dan pemikiran Cak Nur sebetulnya sederhana saja, tapi pada era itu memang jarang sekali yang berpikir ala Cak Nur. Sehingga seakan-akan pemikirannya mendominasi pemikiran lain. Atau paling tidak lebih menarik untuk diobrolkan berkali-kali di berbagai forum. Mungkin karena dianggap berbeda dan baru, sehingga kala itu familiar.
Kemampuan untuk hadir di ruang publik dengan pemikiran yang berbeda dan “liar” memang sebuah kekhasannya, tentu di balik begitu banyak catatan kaki yang disematkan padanya, baik dalam bentuk artikel maupun buku.
Pertemuan semacam ini sebetulnya bisa diadaptasi oleh elemen lain untuk mengkaji dan mendalami gagasan sekaligus pemikiran para tokoh lainnya. Sehingga kita punya semacam sudut radar untuk membaca dan memahami substansi gagasan sekaligus pemikirannya. Ujungnya terbiasa untuk berbeda namun tetap dalam bingkai ilmu pengetahuan.
Saya tentu tidak sedang membela atau mengkultuskan Cak Nur dan pemikirannya, saya hanya sedang menelisiknya dari sisi yang lain. Toh pembaca lebih paham tentang hal semacam itu. Sesederhana itu. (*)