Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Membaca Politik Dari Titik Nol)
SALAH satu pesta besar bangsa ini di tiap lima tahun sekali adalah pemilihan umum atau pemilu, baik pemilu presiden (pilpres) maupun pemilu legislatif (pileg). Beberapa waktu lalu pemerintah dan DPR sudah menyepakati bahwa pemilu (pilpres dan pileg) 2024 dilaksanakan pada Rabu pada 14 Februari 2024. Sementara untuk Pilkada Serentak Kepala Daerah diselenggarakan pada November 2024. Sementara belum ada peristiwa politik yang mengubah kompas politik nasional, maka pelaksanaan Pilpres terhitung kurang dari dua tahun lagi.
Pilpres merupakan salah satu isu sekaligus pesta politik yang menarik dan memiliki magnet tersendiri. Hal ini sangat wajar, sebab presiden merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Walau pun pilpres masih setahun lebih lagi, namun dinamika politik akhir-akhir ini sudah mulai menghangat.
Dinamikanya semakin menggeliat ketika elite partai politik pun sudah kerap tukar tambah kunjungan dengan dan atas nama yang beragam. Memang belum sampai pada titik koalisi yang final, namun fenomena semacam ini dari waktu ke waktu menambah saldo tema perbincangan publik termasuk pemberitaan media.
Pemilu mestinya bukan sekadar urusan memilih dan dipilih, tapi juga berkaitan dengan literasi politik atau pencerdasan publik. Berkaitan dengan ini pada Jumat 3 Juni 2024 (malam) saya sempat mengikuti acara Indonesia Leaders Talk (ILT) bertema “Generasi Baru Kepemimpinan 2024” yang disiarkan secara langsung di sebuah link YouTube.
Pada acara ini beberapa tokoh menjadi narasumber diantaranya Dr. Zulkieflimansyah (Gubernur NTB), Rocky Gerung (Pengamat Politik), Dr. Hendri Budi Satrio yang akrab disapa Hensat (Direktur Lembaga Survey Kedai Kopi) dan Dr. Mardani Ali Sera (Politisi PKS). Acara semacam ini cukup menarik sebab semua narasumber menawarkan gagasan dan tukar beli pemikiran perihal kepemimpinan Indonesia ke depan. Harapannya, partai politik dan elemen lainnya semakin giat melakukan hal semacam ini sebagai upaya pencerdasan masyarakat.
Secara umum, perihal tema ini saya memiliki beberapa poin penting sebagai sumbangsih terhadap upaya menghadirkan kepemimpinan yang kuat melalui Pilpres 2024 mendatang. Pertama, Indonesia membutuhkan kepemimpinan muda. Muda tentu tidak melulu usianya muda, tapi juga mampu memahami selera kaum muda. Sebab elemen muda atau yang berusia muda di Indonesia cukup besar. Dan, hal tersebut terus bertambah dari waktu ke waktu. Sehingga secara demografi hal ini menjadi salah satu elemen penentu masa depan bangsa dan negara kita. Artinya, mereka yang sudah ujur lebih baik mengurungkan niatnya, sebab Pilpres 2024 adalah kontestasi untuk memilih pemimpin baru dari generasi baru Indonesia.
Kedua, Indonesia butuh pemimpin yang memiliki etikabilitas yang terjaga. Etikabilitas menyangkut kejujuran yang bersumber dari nurani dan kemurnian moral. Indonesia sudah enggan dipimpin oleh sosok yang dipersonifikasi sebagai pemimpin merakyat namun zolim dan ingkar janji. Apalah lagi milenial, mereka sangat tidak menyukai pemimpin yang terjebak pada pencitraan yang manipulatif melalui berbagai macam media yang terbayar. Sebab pemimpin yang pandai ingkar janji adalah contoh paling ril pemimpin yang tidak jujur atau tidak beretika. Atau dalam ungkapan lain, pemimpin yang ingkar janji adalah pemimpin yang mengingkari nilai-nilai luhur bangsa bahkan Pancasila sebagai dasar negara.
Ketiga, Indonesia membutuhkan pemimpin yang cerdas atau memiliki intelektualitas yang terjaga. Kecerdasan pemimpin diukur dari kemampuannya dalam menemukan jalan keluar atau solusi dari berbagai permasalahan bangsa. Hal lain, kecerdasan pemimpin juga bisa dilihat dari kemampuannya dalam berkomunikasi sekaligus menjelaskan misi kepemimpinannya kepada masyarakat luas. Masyarakat tidak lagi dijebak pada agenda oligarki yang masih saja menyelimuti pesta politik di negeri ini. Karena itu publik mesti telaten dalam mengevaluasi sekaligus menyampaikan kritik kepada seluruh persiapan dan proses pemilu hingga tidak dimanfaatkan oleh kekuatan oligarki. Sehingga partai politik tidak lagi terbeli demi melanggengkan oligarki.
Berpolitik memang mesti berpijak pada tujuan utama bernegara. Tujuan bernegara mesti menjadi tujuan utama seorang pemimpin terutama presiden. Diantara tujuan utama bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan umum. Di sinilah pemimpin cerdas dan visioner menjadi semakin relevan dan menemukan konteksnya. Sehingga dengan demikian, tugas presiden yang terpilih kelak adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Pemimpin mesti menjadi leader yang peduli dan sensitif pada permasalahan masyarakat. Wujudnya adalah kebijakan yang benar-benar bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Maknanya, kita tidak boleh lagi membiarkan negeri ini dikuasai oleh kekuatan oligarki yang semakin menguasai kekayaan alam. Kita tidak boleh membiarkan pemimpin yang hanya pandai atau jago memamer baligo namun gagal memimpin perubahan. Sebab dalam konteks tertentu, baligo adalah simbol kebodohan sekaligus manipulasi. Sementara munculnya berbagai gagasan kepemimpinan yang futuristik adalah simbol adanya pengetahuan dan kearifan. Kita membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan naratif sebagai wujud nyata intelektualitasnya. Sehingga kita semakin paham kemampuannya dalam memimpin bangsa ini ke arah perubahan yang lebih baik dan maju.
Kita terutama kaum muda butuh pemimpin yang mampu menghubungkan pikiran dan peradaban, lebih dari sekadar pencitraan dan publikasi gambar. Kita butuh pemimpin yang paham permasalahan dan potensi bangsa, serta konektif dengan dinamika global. Ia mesti berpengalaman memimpin, sehingga kelak bila memimpin di level negara ia tidak kagetan. Hal lain, Indonesia sejatinya butuh pemimpin yang tidak dagang isu yang memecah belah bangsa.
Ia tidak menghina Pancasila dengan praktik kolusi, korupsi dan nepotis. Pada saat yang sama, negeri ini butuh pemimpin yang memiliki gagasan besar dan aplikatif dalam menuntaskan berbagai permasalahan bangsa. Lebih praktis, Indonesia butuh pemimpin yang benar-benar baru dan bukan stok lama, atau bukan budak alias suruhan oligarki. (*)