Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis buku Membaca Politik Dari Titik Nol)
PEMILIHAN Umum atau Pemilu 2024 khususnya pemilu presiden atau pilpres dan pemilu legislatif atau pileg diselenggarakan pada Rabu 14 Februari 2024. Walau masih kurang dari dua tahun, dinamika politik dari tingkat elite hingga masyarakat bawah sudah mulai terasa. Suara dukung mendukung dan usung mengusung sudah mulai muncul di berbagai tempat, baik yang dilakukan oleh kader masing-masing partai politik maupun oleh elemen relawan dalam beragam wajah dan pola.
Fenomena semacam itu tentu menjadi sensasi tersendiri dalam kehidupan demokratisasi secara nasional bahkan lokal. Sebagai upaya pencerdasan masyarakat sejak dini tentu hal semacam ini layak diapresiasi, sehingga masyarakat mendapatkan informasi dini tentang kemungkinan sosok dan partai apa saja yang mesti mereka coblos kelak di tempat pemungutan suara atau TPS saat pencoblosan. Proses demokrasi pun mestinya mendatangkan sensasi politik yang mengakrabkan sekaligus menggembirakan semua elemen bangsa, ya kita semua.
Bila memperhatikan pemberitaan media dan analisa para pakar politik di berbagai forum, secara sederhana skema sekaligus peta politik Indonesia saat ini menjelang pemilihan umum (pemilu) khususnya pemilu presiden (pilpres) dapat dipetakan ke dalam beberapa poros koalisi. Hal ini menjadi tontonan menarik bagi masyarakat luas, terutama di sela-sela berbagai aktivitas sehari-hari. Walau belum final karena masih dalam penjajakan koalisi, namun secara umum dapat kita petakan ke dalam beberapa peta koalisi.
Pertama, Koalisi PKS (50 kursi), Nasdem (59 kursi) dan Demokrat (54 kursi), total 163 kursi. Koalisi ini kemungkinan bakal mengusung pasangan Anies Baswedan-AHY atau Anies Baswedan-Ahmad Heryawan. Bila ditelisik berdasarkan pemberitaan media dan obrolan di warung kopi, King Maker koalisi ini diantaranya adalah SBY, Salim Segaf al-Jufri, Surya Paloh dan Jusuf Kalla atau JK. Menurut analisa para analis politik, kemungkinan besar koalisi ini terjadi dibentuk.
Kedua, Koalisi Golkar (85 kursi), PAN (44 kursi), dan PPP (19 kursi), total 148 kursi. Koalisi ini kemungkinan bakal mengusung pasangan Erlangga Hartarto-Zulkifli Hasan atau Erlangga Hartarto-Erick Tohir. Bila ditelisik berdasarkan pemberitaan media dan obrolan di warung kopi, King Maker koalisi ini diantaranya adalah Luhut Binsar Panjaitan atau LBP, Erlangga Hartarto, Sutrisno Bakhir dan Zulkifli Hasan. Walau ada dugaan koalisi ini berubah, namun hingga saat ini masih diakui sebagai koalisi pertama dalam penjajakan koalisi menuju pilpres 2024.
Ketiga, Gerindra (78 kursi) dan PKB (58 kursi), total 136 kursi. Koalisi ini kemungkinan bakal mengusung pasangan Prabowo Subiyanto-Muhaimin Iskandar atau Prabowo Subiyanto-Khofifah Parawangsa. Bila ditelisik berdasarkan pemberitaan media dan obrolan di warung kopi, King Maker koalisi ini diantaranya adalah Prabowo Subiyanto dan Muhaimin Iskandar. Walau menurut sebagian kalangan koalisi ini sulit dibentuk karena faktor tertentu, namun bila koalisi ini terjadi maka peta politik menuju pilpres 2024 semakin asyik untuk ditelisik.
Keempat, PDIP (128 kursi), total 128 kursi. PDIP kemungkinan bakal mengusung pasangan Puan Maharani-Ganjar Pranowo atau Ganjar Pranowo-Puan Maharani. Sebagai partai politik yang memenuhi syarat pencalonan presiden tanpa koalisi, PDIP tentu bebas menentukan siapapun pasangan yang diusung pada pilpres 2024 nanti. Bila ditelisik berdasarkan pemberitaan media dan obrolan di warung kopi, King Maker koalisi ini diantaranya adalah Megawati dan Joko Widodo. Tentu bila tak ada “konflik” kepentingan yang berkepanjangan yang mendera kedua sosok ini.
Skema koalisi semacam ini sepertinya sudah mewakili warna politik masyarakat Indonesia secara umum. Kalau skema ini benar-benar terjadi dan pasangan yang diusung ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon yang sah sekaligus siap mengikuti pilpres 2024, maka pesta politik Indonesia lima tahunan pada 14 Februari 2024 mendatang lebih adem dan menarik, sehingga layak dirayakan. Kita tentu berharap agar pesta politik menjadi ajang untuk mengokohkan persatuan, bukan untuk saling menegasikan sesama anak bangsa di panggung politik. Kita rindu pesta politik menjadi pesta yang dipenuhi senyuman, canda, tawa dan saling sapa tanpa kedengkian, sangka buruk dan kemarahan yang menyesakkan dada.
Pesta politik 2014 dan 2019 lalu telah menyisahkan pengalaman yang membuat kita kerap mengelus dada. Kadang, untuk saling menyapa dengan teman kerja dan tetangga pun mulut kita terasa berat, hanya karena pilihan politik. Saling caci maki, hina menghina dan rendah merendahkan dipertontonkan begitu terbuka di hampir seluruh pelosok. Bukan saja masyarakat biasa yang terjebak pada lakon semacam itu, para elite pun melakoni hal yang sama bahkan pada level tertentu menikmatinya. Realitas semacam itu layak kita akhiri dan tak patut dilanjutkan, dengan dan untuk tujuan apapun.
Padahal bila kita mau jujur, lakon semacam itu hanya akan menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran bahkan dana secara sia-sia. Bila saja apa yang kita korbankan dimanfaatkan secara produktif untuk hal-hal yang konstruktif atau membangun, maka soliditas dan kekompakan kita sebagai sebuah bangsa bakal terus terjaga. Dampaknya, upaya kita untuk memajukan Indonesia dari semua aspeknya pun bakal mudah ditunaikan. Kita perlu berkorban, minimal berlapang dada dan bersabar, untuk menghargai perbedaan antar sesama anak bangsa. Kita mesti berhenti menjadi api yang membakar rumah besar Indonesia.
Kita perlu belajar kepada para pendiri bangsa seperti Mohammad Natsir, Mohammad Hatta, Soekarno, dan masih banyak lagi. Mereka berbeda pandangan dan sikap dalam banyak hal, namun mereka berani melakukannya secara intelektual dan beradab. Bagi mereka, perbedaan pendapat untuk dan dalam menentukan sebuah bentuk negara, misalnya, adalah sebuah kewajaran. Selama dilakukan dengan cara yang elegan dan tanpa merendahkan martabat orang lain, maka lakon semacam itu adalah hal yang biasa dan layak dihormati. Lakon semacam itu adalah warisan sangat berharga yang layak kita petik hikmahnya, lalu adaptasikan pada aksi politik kini dan nanti.
Pilpres tinggal dua tahun kurang, tentu tak lama lagi. Pada waktu tersisa ini kita berharap agar para elite mampu menjaga kekompakan dan tidak menjadi pemicu hadirnya ketegangan pada level masyarakat bawah. Pada saat yang sama, kita sangat berharap agar seluruh elemen masyarakat lintas partai dan dukungan agar mampu menjaga diri dari sikap dan ucap yang menimbulkan dinamika bahkan konflik yang tak bermutu.
Dengan demikian, kita berharap agar pesta politik atau pilpres 2024 benar-benar menjadi pesta yang menggembirakan dan terpilih pemimpin yang mampu menggembirakan kita semua. (*)