Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Merawat Indonesia)
DALAM berbagai momentum tak sedikit yang mengajak saya berbincang seputar kepenulisan. Saya sendiri pada dasarnya tidak berprofesi sebagai penulis, sebab profesi saya adalah jalan-jalan, setelah berpengalaman mengajar dan menjadi narasumber, di samping sebagai penggembira di berbagai forum.
Tapi saya memaklumi bila ada yang mengajak yang berbincang seputar kepenulisan. Selain mengisi waktu luang, bagi saya itu juga sumber inspirasi untuk menulis, seperti tulisan yang sedang Anda baca sekarang.
Sepengetahuan saya, diduga kuat mereka pernah membaca puluhan buku saya dan ribuan artikel di berbagai surat kabar dan media online sejak 2008 silam hingga kini. 14 tahun memang bukan waktu yang sedikit untuk mengambil bagian dalam membangun dan memajukan tradisi literasi: terutama baca dan tulis di Indonesia.
Saya melakoni itu dengan perjuangan dan pengorbanan yang tak sedikit. Waktu, tenaga dan pemikiran diporsir hanya demi menikmati berbagai buku karya para penulis lain dan menulis hingga menghasilkan karya tulis yang layak dipublikasi.
Suatu ketika ada teman yang bertanya, “Apa alasan yang membuat Anda begitu tertarik dan giat dalam menulis dan dunia buku?” Bagi saya pertanyaan ini sederhana tapi benar-benar membuat saya tergerak untuk memberikan jawaban. Bukan sekadar untuk memenuhi selera teman saya yang bertanya, tapi memantik nurani saya untuk berbicara apa adanya tentang dunia yang belasan tahun saya tekuni, dan dalam konteks tertentu saya pun seperti benar-benar jatuh cinta padanya.
Di antara alasan paling utama saya tertarik pada dunia kepenulisan dan buku adalah sebagai berikut, pertama, selalu terngiang untuk menulis dan membaca. Menulis sendiri sejatinya menggerakkan saya untuk banyak membaca. Pada saat yang sama, bila saya giat membaca maka dengan sendirinya saya tergerak untuk menulis.
Bila kedua hal ini saya lakukan maka hari saya seperti “nyaman” sekali. Entah mengapa, rasanya benar-benar membuat hati senang. Memang kadang ada saja suasana yang membuat rasa malas menggoda, namun saya sering melawannya dengan berbagai cara. Misalnya, mengalihkan suasana, pindah tempat duduk, jalan santai, berwudhu, dan sebagainya.
Kedua, buku adalah sahabat saya sejak kecil. Saya masih ingat sebelum menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Sekolah Dasar Katolik (SDK) di Cereng, Manggarai Barat-NTT, sekitar tahun 1987-1990-an Ayah saya sudah biasa mengenalkan kepada saya huruf dan buku-buku bacaan ringan. Sehingga pada saat menempuh SD pada 1990-1996, saya sudah akrab dengan abjad dan buku. Seingat saya, sejak kelas 1 SD saya sudah bisa membaca dan menyusun kata. Sehingga pada kelas 2 dan selanjutnya saya sudah lancar membaca dan akrab dengan buku.
Suasana semacam ini semakin menggeliat ketika saya melanjutkan pendidikan MTs dan Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren Nurul Hakim pada 1996-2002 di Kediri, Lombok Barat-NTB. Seingat saya, kala itu lingkungan Pondok sangat memungkinkan saya untuk akrab dengan buku dan membaca banyak buku. Sebab di sini tersedia perpustakaan buku dalam beragam tema. Bukan saja buku sekolah atau pelajaran tapi juga buku-buku non pelajaran. Bahkan kala itu, saya juga langganan membaca surat kabar di perpustakaan sekolah dan mading asrama santri, serta langganan majalah.
Ketiga, dari dua pengalaman itu saya pun selalu terngiang untuk memiliki karya tulis. Entah itu artikel, tulisan bebas, bahkan buku. Saya terinspirasi oleh banyak tokoh yang dalam kondisi fisik yang terbatas namun bisa berkarya, bahkan karya tulis mereka dalam beragam rupa atau jenis dibaca oleh banyak pembaca, serta terkenang hingga kini. Ada yang tangannya patah tapi bisa menulis buku, ada yang telinganya tak bisa mendengar namun punya buku, dan ada yang jauh dari listrik dan fasilitas mewah tapi bisa menulis buku. Saya sangat terinspirasi karena mereka dan karya-karya mereka.
Ketika dulu kuliah di UIN Bandung, saya kerap memegang buku, di mana dan ke mana pun saya pergi. Ke rumah teman, pengajian, tempat seminar, forum diskusi, pasar, mall, dan sebagainya. Bahkan bila naik damri ke berbagai penjuru di Kota Bandung, saya manfaatkan untuk membaca buku. Memang tak semua halaman dibaca seketika, tapi paling tidak beberapa halaman buku saya baca. Kadang uang jatah makan saya pakai untuk membeli buku yang baru terbit. Temanya beragam dan memang kala itu buku begitu menjamur.
Itu sekadar sebagian pengalaman saya selama ini. Tak sempurna memang, sebab saya menjadikan aktivitas baca dan tulis sebagai selingan, bukan satu-satunya aktivitas. Bahkan saya menulis sambil menonton video di YouTube, mengikuti acara Webinar, jalan santai ke toko buku, ngobrol dengan teman, belanja di pasar dan sebagainya.
Pokoknya senyaman dan sesukanya saya saja. Toh menulis bisa dilakukan kapan saja, terutama di era informasi dan publikasi yang semakin menjamur ini. Begitu juga membaca, saya melakukannya kapan saja. Baik membaca buku maupun artikel di surat kabar, media online dan media sosial. Kalau seorang teman sering mengingatkan saya, “Baca dan tulislah untuk menebar kebaikan!”
Ingat, fasilitas, sarana dan prasarana untuk menulis dan membaca di zaman kita ini sangat tersedia dan sebagian besarnya gratis. Bayangkan, bila kita hendak menulis, setiap kita rerata memiliki handphone atau HP, akun media sosial dan serupanya. Bila menulis di laptop agak kesulitan, kita bisa menulis di HP, akun Facebook, group WhatsApp, dan masih banyak lagi.
Coba bandingkan dengan zaman dulu, atau puluhan bahkan ratusan tahun lalu, betapa minimnya fasilitas, sarana dan prasarana. Tapi para tokoh atau ulama zaman itu bisa menulis dan menghasilkan karya tulis yang dapat kita baca di zaman ini. Sebuah realitas yang mestinya menyadarkan dan menggerakkan kita untuk segera berkarya.
Bagi sahabat, atau siapapun di luar sana yang sedang atau baru memulai menekuni, atau hendak menekuni dunia kepenulisan dan aktivitas membaca, saya membantu menyemangati Anda: “Jangan pernah ragu dengan aktivitas Anda sebagai pengisi berbagai surat kabar dan media online dengan artikel atau tulisan Anda dalam beragam tema. Sebab manfaat yang Anda peroleh dari karya Anda sungguh sangat banyak.
Selain saat ini juga nanti, ya di masa yang akan datang. Bahkan karya Anda menjadi bagian dari amal jariyah yang kelak Anda bakal memperoleh dampaknya. Selamat menulis, mari mengisi berbagai surat kabar dan media online!” (*)