Oleh: Sutan Aji Nugraha
(Penulis adalah Pengamat Politik, Tingga di Cirebon)
PILKADA 2018 sudah mengantarkan PASTI (Pasangan Azi-Eti) menjadi “penghuni” balai kota Cirebon sebagai Walikota dan Wakil Walikota Cirebon 2018-2023. Tahun terakhir masa kepemimpinan mereka merupakan legacy untuk pribadi masing-masingnya.
Sejarah memiliki tiga penilaian, pertama adalah ingin melanjutkan apa yang belum tercapai untuk kesempurnaan cita-citanya, kedua yaitu membalikkan citra hitam dirinya berikut dengan “kawan-kawannya” dan yang terakhir yakni ingin menciptakan sejarah baru.
Dalam periodeisasi selalu beriringan dengan yang namanya pro-kontra sebuah kebijakan, dan perlu diingat bahwa kebijakan tidak boleh melawan aturan terlebih hukum yang berlaku. Kompensasi politik pun turut meramaikan khasanah perpolitikan itu sendiri, ya bohir.
Pembangunan struktur dan infrastruktur menjadi hambatan setiap langkah pemerintahan apalagi tertimpa pandemic Covid-19, sepertinya hal ini dijadikan momentum politik untuk “kambing hitam”. Mengapa? Serperti biasanya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak sesuai ekspetasi ditambah situasi kondisi pasca Covid-19.
Nashrudin Azis yang biasa akrab disapa Azis dan atau saya sering memanggilnya Bung Walkot Zais merupakan sosok politisi yang luar biasa, menguasai medan politik sekaligus dengan teorinya, manajemen konflik.
Hampir seluruh pemimpin memiliki metode yang sudah menjadi kewajiban mereka, yakni akomodir dan invetarisir sumber daya, baik non materiil maupun materiil. Pendistribusian sumber daya ini pun tentunya ajang politik dan organisasi.
Meskipun hari ini Walikota bukan lagi sebagai Ketua Partai Demokrat akan tetapi ia masih tetap dan selalu menyisihkan pikiran dan tenaganya sekalipun sudah tidak bisa mencalonkan kembali sebagai Walikota Cirebon karena dibatasi oleh aturan yang mengikat. Kita sebagai warganya sudah selayaknya mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf untuk pengabdiannya selama ini sebagai pimpinan eksekutif (sekarang) dan legislatif (dulu).
Ketua Partai Nasdem Kota Cirebon sekaligus Wakil Walikota, Eti Herawati yang lebih dikenal dengan Ibu Eeng merupakan representasi keterwakilan para perempuan yang berani tampil di eksekutif yang memang sebelumnya pun menjadi salah satu pimpinan legislatif.
Saya terkadang bahkan seringkali bertemu dan berdiskusi dalam beberapa kesempatan di sela-sela kegiatan Wakil Walikota yang begitu berjarak dengan istirahat, ya sesibuk itu. Tak kalah pentingnya yaitu berkomunikasi masih begitu sereseh-nya, humble dan familiar.
Kesempatan memang tak dimiliki banyak orang untuk bertemu dengan pemimpinnya, bukan mereka melupakan namun karena taka da waktu untuk memikirkan apalagi bertemu satu-satu warganya. Oleh sebab itu, sekeliling orang-orang terdekatnya-lah yang seharusnya mampu mewujudkan nilai dan kewajiban sejarah.
Sesi tatap muka memang bukan yang utama untuk menyampaikan aspirasi guna implementasi kehendek rakyat. Komunikasi harus dan mesti lancer, jangan tersumbat apalagi disumbat karena kekhawatiran posisinya sebagai orang terdekat tergeser dan tergantikan, picik!
Tahun terakhir kempemimpinan PASTI mengalami naik-turun, kasus demi kasus mengemuka, datang dan hilang, begitulah proses alam. Beberapa variable dikaitkan, cocok lagi tepatnya. Kepentingan seperti syarat mutlak sebuah hubungan, halal dan haram tak persoalan. Setiap partai politik memang saling memerankan peran sehingga bisa saja terjadi gesekan namun tak boleh secara kepemimpinan daerah turut serta, mengapa? Sebab mereka harus bersatu untuk rakyat, bukan lagi soal golongan politiknya.
Perjalanan karier bagi keduanya (PASTI) mungkin tak boleh berhenti di 2023. Untuk apa? Ya legacy politik mereka sebagai manusia politik. Dharma bakti hidup dan kehidupannya untuk orang banyak jangan sampai terhenti, kecuali oleh kematian.
Saya percaya setelah mendung datang “pasti” akan ada pelangi bagi Kota Cirebon. Saya turut mengajak kepada masyarakat politik untuk ciptakan keindahan di Kota Cirebon dengan cara yang baik dan benar. Iklim politik yang sejuk dan segar akan mengundang investasi. Semoga! (*)