Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Melahirkan Generasi Unggul)
23 JULI di setiap tahunnya diperingati sebagai Anak Nasional. Momentum setiap orangtua untuk mengevaluasi dan mengoptimalkan peranannya selama ini sebagai orangtua. Memiliki anak merupakan harapan hampir semua pasangan suami-istri.
Ia merupakan salah satu pangkal kebahagiaan bagi pasangan ini dalam hidup berumah tangga. Dr. Wendi Zarman dalam bukunya “Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah itu Mudah dan Lebih Efektif” (2011) mengungkapkan, “Anak adalah tali pengikat pernikahan, karena dengan anak, suatu pernikahan diharapkan bisa lebih langgeng.”
Sebagai dampak ikutannya, orangtua pun pasti berkaitan dengan tugas mulia yaitu mendidik anak. Mendidik anak adalah salah satu kewajiban sekaligus keniscayaan bagi orangtua atas anak-anaknya. Kemampuan orangtua dalam menjalankan apa yang juga bisa disebut sebagai tugas sekaligus fungsi utama ini akan memberi dampak yang sangat serius bagi anak-anak mereka kelak.
Dalam menjalankan misi mendidik, orangtua tentu tidak hanya mengalami kondisi atau suasana yang menyenangkan, tapi juga akan berhadapan dengan kondisi atau suasana yang memberatkan atau menyulitkan. Sehingga orangtua pasti membutuhkan modal yang menjadi sumber energi untuk menjaga imunitas dalam menjalankan tugas dan fungsi tersebut.
Diantara modal yang saya maksud adalah sebagai berikut, pertama, ilmu. Mendidik anak adalah proses panjang dan membutuhkan nilai-nilai tersendiri. Bagi orangtua, memiliki ilmu pengetahuanpun menjadi niscaya. Bukan saja ilmu tentang bagaimana cara mendidik tapi juga nilai-nilai yang mesti diinternalisasi dan ditransformasi kepada anak-anaknya.
Orangtua mesti memiliki ilmu utama dan dasar, seperti ilmu tentang Tuhan dan utusan-utusan-Nya serta beribadah kepada Allah. Dalam perspektif Islam, hal ini dibingkai dalam ilmu tentang rukun Iman, rukun Islam dan Ihsan. Menurut pakar pendidikan Dr. Adian Husaini sekaligus penulis buku “Pendidikan Islam” (2018), sebab ini adalah modal dasar kehidupan manusia bila hendak mendapatkan kehidupan yang nyaman, bahagia dan sejahtera serta berkah dari Allah dalam maknanya yang subtantif.
Orangtua juga perlu memiliki ilmu seputar kebutuhan sehari-hari, tentang rumah tangga atau keluarga dan seputar anak, di samping ilmu-ilmu lainnya. Hal ini mungkin dianggap spele, namun percayalah inilah modal penting yang benar-benar mesti dimiliki orangtua dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai orangtua.
Kedua, percaya diri. Menjadi orangtua adalah takdir sejarah yang rerata diperoleh atau didapat oleh hampir semua pasangan suami-istri. Hal ini bukan sekadar pilihan hidup, tapi juga anugerah terindah yang selamanya tak bakal ada bandingannya. Karena tantangan dan kendala dalam mendidik anak kerap datang berkali-kali, dalam beragam bentuknya, maka orangtua perlu percaya diri. Dengan percaya diri, orangtua semakin mendapatkan asupan energi atau imunitas dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik pertama dan utama anak-anaknya.
Percaya diri bermakna kemampuan dari dalam diri bahwa mereka mampu melaksanakan berbagai hal yang menunjukkan berjalan dengan baiknya proses mendidik, sehingga tantangan dan kendala apapun mampu dilalui dengan baik. Orangtua mesti percaya bahwa apa yang diperankannya kelak mampu membentuk karakter atau kepribadian mulia bagi anak-anaknya. Atau dalam sebutan saya sebagai generasi unggul.
Ketiga, teladan. Ingat, orangtua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka. Sebab orangtualah manusia pertama yang punya hubungan nasab atau darah dan hubungan emosional dengan anak-anak mereka. Sebab pada faktanya, tak ada anak yang tidak dilahirkan oleh orangtuanya. Atau paling tidak, anak mesti mendapat keteladanan dari keluarga dekat orangtuanya.
Dengan begitu, biasanya, apapun yang dilakukan orangtua bakal dilihat dan ditiru oleh anak-anak mereka. Tingkah laku dan lisan orangtua akan menjadi sumber keteladanan bagi anak-anak mereka. Orangtua pun bakal digugu dan ditiru oleh anak-anak mereka. Orangtua pun menjadi teladan pertama yang mereka saksikan sehari-hari. Lingkungan sekitar bakal juga ditiru.
Bila yang mereka teladani adalah hal baik atau positif maka ini merupakan berkah tersendiri bagi orangtua. Namun bila yang mereka teladani adalah hal buruk atau negatif maka ini merupakan malapetaka bagi orangtua. Nah, agar tidak menjadi malapetaka tapi menjadi berkah, maka orangtua mesti menjadi teladan kebaikan atau hal-hal yang positif bagi anak-anaknya.
Keempat, sabar. Ujian dalam berumah tangga terutama dalam mendidik anak kerap datang silih berganti. Hari ini ujiannya berupa ini, besok ujiannya berupa itu. Terus begitu, silih berganti. Kadang, anak pun serasa sulit dididik, enggan mendengar orangtua dan ini yang paling fatal: melawan orangtuanya sendiri.
Pada kondisi demikian, orangtua perlu bersabar. Sabarnya bukan sekali, tapi berkali-kali. Kesabaran tak selalu bermakna menahan, tapi bermakna menyadari bahwa mendidik memang bakal mengalami ujian yang serius dan pasti dialami oleh hampir semua orangtua. Karena itu, saldo kesabaran mesti dijaga dan ditingkatkan.
Kelima, syukur. Apapun tantangan dan kondisi yang dihadapi dalam menjalankan proses mendidik bagi anak-anaknya di lingkungan keluarga, orangtua mesti bersyukur kepada Allah bahwa mereka mendapat anugerah spesial dari Allah berupa anak-anak yang mereka sayangi. Sebab pada realitasnya, tidak semua pasangan suami-istri mendapat anugerah semacam ini.
Ya, tak semua pasangan rumah tangga mendapat anugerah berupa anak. Tak sedikit yang kaya harta, berumah mewah, punya jabatan yang secara sosial kerap dinilai luar biasa, dan punya gelar akademik yang begitu panjang, namun Allah tidak memberi mereka keturunan.
Maka bagi orangtua yang mendapatkan kesempatan yang sangat spesial ini, berupa keturunan atau anak-anaknya, perlu terus bersyukur kepada Allah. Dengan bersyukur maka Allah akan menambah nikmat bagi mereka. Bukan saja nikmat berumah tangga tapi juga nikmat mendidik anak itu sendiri.
Bahkan dalam berbagai pesan moral dijelaskan bahwa anak merupakan sumber rezeki bagi orangtua dan keluarganya. Jangan kan di saat masih kecil, di saat kelak sudah dewasa pun, bila anak dididik dengan baik hingga menjadi anak yang bermanfaat, maka itu adalah rezeki tersendiri bagi orangtuanya.
Mendidik anak adalah tugas mulia. Ia adalah tugas yang bersifat given atau pemberian dari Allah tanpa diminta. Dengan demikian, apapun tantangan dan kondisi yang dihadapi pasti semuanya dalam bingkai takdir Allah. Allah tentu Maha Tahu tentang siapapun yang diciptakan-Nya sekaligus tentang apa yang mereka butuhkan. Salah satu ungkapan bijak yang selalu terngiang dalam benak saya adalah ungkapan Bapak KH. Imam Zarkasyi, salah satu dari 3 unsur Pimpinan Pesantren Modern Darussalam Gontor periode pertama. Beliau mengungkapkan, “Biar di luar terbakar, kita tetap mendidik anak-anak kita”.
Ungkapannya pendek dan sederhana namun menyimpan makna dan pesan yang sangat panjang dan mendalam. Bahwa apapun yang terjadi di luar sana, aktivitas atau proses mendidik tetap berjalan sebagaimana seharusnya dan mesti dilakoni secara sadar, ikhlas, dan penuh pengorbanan sekaligus tanggungjawab. Walaupun ungkapan itu beliau sampaikan dalam konteks proses pendidikan di lingkungan Pondok Gontor, ungkapan tersebut sejatinya berlaku sekaligus relevan juga dalam rumah tangga, yaitu bagi orangtua dalam menjalankan tugas dan fungsinya di rumah sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
Mohamdad Fauzil Adhim dalam bukunya “Positive Parenting” (2007) mengungkapkan, “Keberhasilan membuat sejarah besar bukanlah bertumpu pada besarnya kekayaan dan banyaknya orang yang berdiri di belakang kita. Seratus juta manusia yang tipis keyakinannya, akan muda lari terbirit-birit oleh seribu orang terpilih dengan keyakinan yang sangat kukuh dab keberanian yang sangat besar.”
Ya, kita tentu ingin sekali mendidik anak-anak kita menjadi generasi yang memiliki keyakinan yang teguh, mental yang kokoh, moral yang suci, beradab, berkarakter unggul dan bermanfaat bagi diri dan keluarganya juga bagi kemanusiaan. Tapi itu semua sangat dipengaruhi oleh seserius apa kita mendidik mereka sejak dini hingga nanti. Di sinilah relevansinya kita membutuhkan modal.
Pada dasarnya ada begitu banyak modal yang mesti dimiliki orangtua dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik pertama dan utama anak-anak mereka. Namun beberapa poin di atas bisa kita adaptasikan dalam rumah tangga kita, atau dalam menjalankan proses mendidik anak-anak kita yang tentu saja selamanya insyaa Allah kita cinta. Semoga saja begitu! (*)