Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Sehimpun Mutiara Literasi Indonesia)
ALHAMDULILLAH tulisan saya yang berjudul “Dari Menjual Hingga Menulis Buku” dimuat dalam buku “Sehimpun Mutiara Literasi Indonesia; Kisah dan Perjuangan Inspirasi Menulis Bagi Generasi Indonesia” jilid 2, sementara tulisan istri saya Eni Suhaeni dimuat di jilid 1.
Buku terbitan September 2022 dan diterbitkan dalam 3 jilid ini merupakan antologi tulisan 108 penulis lintas latar belakang dari berbagai kota atau daerah di seluruh Indonesia. Informasi ini saya peroleh di salah satu group WhatsApp Penulis Indonesia yang saya ikuti hampir setahun terakhir.
Pada buku setebal ratusan halaman ini saya dan para penulis lainnya bercerita dan berbagi pengalaman seputar tulis menulis. Dari awal mengenal dan belajar hingga mulai berkarya bahkan kelak bisa berbagi karya ke pembaca di luar sana dan penulis lainnya. Intinya, semuanya mengungkapkan perjuangannya ketika bergulat dalam dunia kepenulisan. Pahit manisnya, suka sukanya. Uniknya, para penulis beragam latar profesi, namun semuanya menyatu dalam nyawa yang sama: literasi.
Air mata ini tiba-tiba mengalir begitu saja. Benar-benar mengalir. Bukan khawatir dan sedih tapi haru dan bangga atas pencapaian sederhana namun luar biasa ini. Sederhana, sebab saya bukan siapa-siapa. Saya tidak berprofesi sebagai penulis, saya hanyalah Ayah dari 4 anak. Sehari-hari fokus menemani mereka dalam belajar. Bukan saja untuk membaca buku, tapi juga membaca kehidupan. Luar biasa, sebab yang menyumbangkan tulisan pada buku berasal dari berbagai kota atau daerah sekaligus beragam latar belakang.
Jujur saja, saya belum pernah membayangkan suatu saat bisa berkolaborasi dengan para penulis yang berpengalaman selama sekian tahun dalam beragam tema. Tapi keajaiban itu datang. Benar-benar datang. Ya, bagi saya ini keajaiban. Sebab bisa berkolaborasi dengan mereka yang selama ini menjadi sumber inspirasi saya dalam kepenulisan. Nama mereka tak perlu saya sebut dalam tulisan ini. Biar pembaca bisa langsung memiliki dan membaca buku-bukunya. Bukan kah dengan memiliki dan membaca bukunya membuat kita semakin cinta?
Kebanggan dan semangat saya untuk menulis sepertinya semakin tak terbendung lagi. Selalu terngiang bahwa saya mesti menulis dan menulis. Setiap hari mesti ada karya yang dihasilkan, minimal satu artikel inspiratif. Bahkan bila memungkinkan saya mesti menulis buku di setiap bulannya. Langkah dan polanya sederhana saja, saya menulis artikel setiap hari minimal satu artikel. Temanya beragam, yang penting artikel. Lalu saya publikasi di surat kabar, atau media online dan media sosial, termasuk blog pribadi saya. Kelak dalam waktu tertentu, artikelnya saya kumpulkan jadi satu dalam satu atau lebih naskah, lalu terbitkan menjadi buku.
Ya, saya mesti memotivasi diri saya, istri dan anak-anak untuk berkarya. Satu hal yang pasti, saya menempatkan pengalaman ini sebagai sebuah pengalaman yang sangat berharga, yang tentu saja akan saya kenang selamanya. Kelak, akan saya ceritakan kepada anak-anak saya bahwa saya pernah belajar menulis dan bisa berkolaborasi dengan para penulis kawakan. Bukan untuk pamer diri dan karya tapi untuk memotivasi dan menyemangati mereka bahwa siapapun sejatinya bisa menulis atau berkarya. Kelak, mereka pun mesti menulis buku, walau profesinya bukan penulis.
Keterbatasan dalam hal apapun bukan menjadi alasan untuk mati langkah dan tidak punya daya untuk berbagi hal-hal inspiratif bagi sesama. Justru keterbatasan, dalam hal apapun, merupakan sumber energi sekaligus motivasi untuk melampaui keterbatasan itu dengan giat, terutama dalam menghasilkan karya tulis. Bila saja mengandung ide inspiratif, itu adalah keistimewaan. Namun bisa berkolaborasi dengan para penulis hebat adalah kebanggaan.
Lebih jauh, saya menjadi terngiang dengan sebuah fakta betapa banyak yang secara fisik terlihat terbatas, namun mereka bisa berkarya bahkan prestasinya mendunia. Ada yang tak melihat, tak mendengar dan kondisi terbatas lainnya, namun mereka tak kalah oleh kenyataan semacam itu. Mereka sangat percaya diri bahwa Tuhan sangat menyayangi, dan karena itu mereka mesti melampaui kenyataan itu dengan terus berkarya. Satu-satunya alasan yang membuat mereka berhenti hanyalah ajal kematian. Bahkan karya mereka sejatinya abadi dan terkenang!
Ya, ada dan terbitnya buku ini benar-benar membuat saya semakin termotivasi untuk berkarya. Saya tak boleh membuat alasan lagi untuk malas dan berhenti berkarya. Sebab tersedia begitu banyak peluang sekaligus alasan bagi saya untuk berkarya. Saya percaya dan optimis bahwa Tuhan dan sejarah selalu menyediakan bagi saya kesempatan dan momentum untuk semakin giat dalam menekuni tradisi ini: tradisi menulis.
Semoga anak-anak saya: Azka Syakira, Bukhari Muhtadin dan Aisyah Humaira bisa berkarya, sebagai penambah amal jariyah yang membanggakan adik dan kakak mereka yang kini sudah meninggal: Tsamarah Walidah.
Terima kasih kepada sahabat baik saya Pak Yanuardi Syukur yang telah menginisiasi penipisan buku secara kolaboratif ini. Ini pertanda bahwa setiap potensi dan niat baik pasti bersatu atau dipersatukan dalam kondisi apapun. Tak terkecuali untuk menulis buku bersama. Sebab ini memang era untuk berkolaborasi, tak ada tempat bagi kesendirian yang tak bermakna.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada Perpustakaan Nasional RI/ Perpusnas Press yang telah banyak membantu hingga menyukseskan proses penerbitan buku ini. Sungguh, saya menjadi saksi bahwa keterbatasan adalah energi! (*)