Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Opini di berbagai Surat Kabar dan Media Online)
MEMBINCANG Indonesia artinya membincang tentang diri kita dan kekitaan kita. Kita sebagai warga negara punya hak yang sama untuk mengenal sekaligus mengoreksi tentang tingkah kita dalam bernegara selama sekian waktu berlalu hingga saat ini. Dalam konteks kolektivisme, kita juga punya keniscayaan untuk mengevaluasi cara kita bernegara, terutama pasca reformasi 1998 hingga kini.
Hal ini perlu dilakukan agar ke depan kita semakin menemukan langkah pasti tentang bagaimana dan apa seharusnya yang kita lakukan untuk Indonesia yang kita cinta. Indonesia tak boleh lagi diacak-acak oleh mereka yang berhasrat menjajah dengan mental kapitalistiknya, sebab itu hanya membuat kita tak menikmati kemerdekaan sejati.
Kita mesti menyadari bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Daratan kita ditumbuhi berbagai macam tanaman berharga, termasuk hutan dengan jutaan jenis pohon yang nyaris tak ditemukan di berbagai negara lain di dunia. Lautan kita kita tergolong kaya akan ikan dan berbagai kekayaan yang sangat melimpah.
Langit kita terisi oleh udara yang masih sejuk dengan kandungan oksigennya yang masih melimpah. Namun, keadaan itu tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat kita. Pemerataan pembangunan dan hasilnya tidak dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat di seloroh pelosok negeri. Tingkat ketimpangan sosial dan ekonomi masih cukup besar. Kekayaan alam masih didominasi oleh mereka yang tidak punya kepedulian kepada masyarakat yang secara ekonomi dan sosial: miskin dan terbelakang.
Hal tersebut paling tidak mengemuka saat peluncuran dan bedah buku karya Dr. Abdul Muhaimin Iskandar, M.Si. yang berjudul “Visioning Indonesia: Arah Kebijakan dan Peta Jalan Kesejahteraan” pada 7 September 2022 lalu di sebuah tempat Jakarta.
Kala itu, beberapa tokoh turut diundang sebagai pembicara sekaligus pembedah seperti: Rocky Gerung, Yudi Latif, Faisal Basri, Hajriyanto Tohari, Najwa Shihab, Unifah Rosyidi, Bustanul Arifin, dan Sirojudin Abbas. Dalam sambutannya, pria yang akrab disapa Cak Imin ini mengatakan pentingnya visi Indonesia dibicarakan lagi. Mengingat, kondisi kita saat ini masih jauh dari cita-cita pendirian negara ini. Seperti yang telah diamanat oleh konstitusi, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Kita masih punya pekerjaan besar yaitu mewujudkan sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, tegasnya.
Tentu untuk mewujudkan cita-cita luhur itu membutuhkan ikhtiar dan perjuangan dari segenap anak bangsa. Sehingga, di setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara tak terputus dengan fondasi dan cita-cita luhur pendirian bangsa ini. Ada tanggungjawab moral sekaligus konstitusional bagi seluruh elemen bangsa untuk meneruskan cita-cita luhur para pendiri bangsa melalui perjuangan yang berkelanjutan. Warna politik yang muncul selama ini selalu menimbulkan tanda tanya: “Indonesia mau dibawa ke mana?”
Pertanyaan ini muncul disebabkan, terutama karena tingkah para elite di berbagai ruang lingkupnya masih terkesan pongah dan terjebak pada kepentingan sesaat sehingga sering kali kehilangan wibawa di hadapan masyarakat.
Buku yang diterbitkan oleh LP3ES ini merupakan hasil perenungan dan refleksi dari perjalanan Cak Imin ke berbagai daerah selama sekian waktu lalu yang dinarasikan dalam bentuk ide aktual dan relevan bagi kepentingan bangsa dan negara. Bagi pria yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) ini, buku yang ditulisnya menjadi pengingat agar bisa terus berjalan pada landasan perjuangan dan cita-cita bangsa. Sehingga buku ini sekaligus upaya menemukan solusi dari berbagai masalah yang masih saja terjadi di tengah masyarakat kita.
Sekaligus penegas betapa pentingnya pejabat negara sekaligus politisi untuk menjaga perjalanan sejarah dan politik bangsa pada pengetahuan yang kokoh dan objektif. “Dari kunjungan ini saya mendapatkan masih ada sejumlah masalah mendasar soal keadilan dan ketimpangan,” ungkap Cak Imin dihadapan ratusan peserta yang turut hadir.
Kita mesti jujur bahwa hingga saat ini demokrasi di Indonesia masih dimaknai secara teknis prosedural, bukan secara substansial. Karena itu, kini dan ke depan demokrasi tak lagi hanya bicara soal equal opportunities, namun juga harus bisa mendorong equal outcome.
Begitu yang ditegaskan oleh Mantan Ketua Umum PB PMII yang kini masih menjabat Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini. Buku ini juga menjadi penegas betapa perjuangan politik mesti tetap dalam bingkai intelektualitas, sehingga wajah politik tidak didominasi oleh aksi kriminal dan arogansi kelompok yang justru menabrak sekaligus menepikan senyawa “Pancasila” yang meniscayakan adanya penghormatan pada perbedaan pandangan dan sikap politik.
Tentu saja ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan untuk menggapai kesejahteraan membutuhkan strategi agar bisa dilakukan secara tepat dengan hasil maksimal sesuai tujuan. Karena itu, kita layak mengapresiasi sosok yang murah senyum ini yang telah menyusun sebagian peta jalannya dalam buku ini.
Menurut Cak Imin, ada beberapa strategi penting yang harus menjadi fokus, di antaranya pendidikan. Kita mesti akui bahwa salah satu yang monumental dari reformasi di negeri ini ialah anggaran pendidikan yang sebesar 20 persen dari APBN. Hasilnya bisa kita lihat saat ini. Namun, ke depan tentu ini harus ditingkatkan dan mereka yang mendapat mandat mesti membuat program prioritas.
“Saya merancang usia belajar 18 tahun, atau sampai perguruan tinggi. Kesejahteraan guru juga harus ditingkatkan, dan program beasiswa untuk kuliah di universitas terbaik di dunia juga harus diperbanyak,” tegasnya.
Kuncinya adalah optimisme yang terukur. Ke depan, Indonesia harus bisa menjadi negara yang mandiri di segala bidang. Kita harus bisa menjadi negara yang mandiri secara fiskal dan keuangan. Kita juga harus menjadi negara yang mandiri untuk urusan pangan dan energi di tengah ancaman krisis energi dan pangan. Kita juga harus menjadi negara yang unggul dalam bidang teknologi dan digital.
Namun, tentunya tetap harus sesuai dengan cita-cita luhur, yakni negara yang memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi setiap warga negaranya. Hak lain, semua elemen bangsa memiliki kebebasan bersikap sebagai wujud optimisme dan harapan tentang masa depan bangsa dan negara ini. Namun kebebasan tersebut mesti diorientasikan pada upaya bersama untuk penguatan dan pengokohan Indonesia sebagai kekuatan baru di kancah global-internasional.
Kita berharap agar ruh intelektualitas seperti yang dilakoni para pendiri bangsa sekian dasawarsa lalu tidak boleh menepi dan kering, bahkan ia mesti diberi ruang untuk hidup dan menghidupkan hiruk pikuk politik yang saban waktu masih saja tercemari aksi politik oligarkis dan anarkisme kelompok yang terpampang menjijikkan.
Cak Imin memang bukan satu-satunya politisi yang mampu mengabstraksikan idealismenya dalam bentuk karya intelektual seperti buku ini. Namun paling tidak dengan buku ini ia sedang menambah saldo optimisme sekaligus bacaan kita tentang politik pengetahuan sebagai basis aksi-praktis dan perjalanan politik kebangsaan kita ke depan.
Pada saat yang sama buku ini juga dapat menambah perspektif sekaligus peta jalan kita dalam mengisi Indonesia kini dan nanti. Terima kasih banyak Cak Imin atas ide naratifnya yang hadir pada momentum yang tepat yaitu di tengah tradisi intelektualitas elite yang semakin kering dan gersang. Selamat melangkah ke gelanggang politik Indonesia baru yang lebih maju! (*)