Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Merawat Indonesia)
ADA banyak tokoh nasional asal NTB yang lama berkarir di Jakarta dan dikenal banyak kalangan. Diantaranya adalah dua tokoh nasional kebanggaan asal Sumbawa-NTB yang kerap hadir di berbagai forum dan muncul di berbagai stasiun TV.
Keduanya sama-sama pernah bergulat sebagai aktivis mahasiswa 1990-an di Universitas Indonesia (UI) dan berperan aktif dalam menggulirkan reformasi 1998 bersama Prof. Amin Rais dan kawan-kawan. Keduanya adalah Fahri Hamzah, SE. yang akrab disapa Bang Fahri dan Dr. Zulkieflimansyah yang akrab disapa Bang Zul.
Bila menelisik perjalanan politik keduanya, Bang Fahri pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI dan kini menjadi Wakil Ketua Umum Gelora. Partai Gelora didirikan oleh beberapa politisi termasuk Anis Matta dan Mahfud Sidiq yang sebelumnya pernah menjadi pejabat penting di PKS.
Sebelum terjun di politik, Bang Fahri adalah tokoh mahasiswa yang mendirikan dan menjadi Ketua Umum pertama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Sementara Bang Zul pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa UI, Dosen di UI dan anggota DPR RI, bahkan kini masih menjadi Gubernur NTB dan Ketua DPP PKS.
Kedua tokoh ini sama-sama memiliki wawasan politik kebangsaan yang kuat. Basis keagamaan mereka juga tergolong kuat. Pengalaman sebagai aktivis tak membuat keduanya kehilangan stok ide yang dibangun oleh tradisi intelektual yang kuat.
Bahkan aktivisme dan intelektualisme telah menjadi isme yang melekat pada keduanya sejak mahasiswa hingga kini. Respon mereka atas berbagai permasalahan yang muncul di tengah masyarakat dan bangsa selalu didasari oleh ide dan nalar kritis sekaligus konstruktif. Sehingga bukan saja mencerahkan dan mencerdaskan tapi juga menyadarkan.
Kehadiran keduanya di berbagai forum diskusi, seminar dan serupanya selalu dinanti berbagai kalangan lintas latar belakang, baik yang sudah mengenal lama maupun yang baru kenal. Baik yang suka maupun mereka yang kerap menempatkan keduanya sebagai “musuh” politik. Namun keduanya terlalu matang untuk sekadar merespon secara negatif hal semacam itu. Sebagai alumnus perguruan tinggi ternama di Indonesia yaitu UI sekaligus aktivis yang bergulat lama dalam dunia intelektual dan pergerakan mahasiswa, tentu keduanya selalu berupaya melihat sesuatunya dari perspektif yang kokoh dan kaca mata besar.
Berbagai pandangan kedua sosok ini di berbagai momentum telah menyadarkan banyak elemen bangsa tentang pentingnya ide dan konsistensi di tengah dinamika dan fenomena kebangsaan yang semakin tak terprediksi. Sehingga apa yang mereka sampaikan selalu mencerahkan dan menambah perspektif baru bagi siapapun. Keduanya hadir dengan ide dan kemampuan rasionalisasi yang mudah dipahami oleh siapapun. Hal ini bukan saja karena kemampuan komunikasi keduanya yang tergolong di atas rata-rata, tapi juga karakter personalnya yang kuat dan khas.
Diantara rutinitas Bang Fahri dan Bang Zul adalah membaca buku. Keduanya sama-sama suka buku dan aktif membaca buku. Hal ini bukan saja menambah perspektif mereka dalam memahami sesuatu, tapi juga menghadirkan perspektif yang unik. Hal lain, tentu saja terbiasa dengan tradisi perenungan mendalam. Ya, perenungannya tentu bukan sekadar merenung, tapi perenungan mendalam. Sehingga respon pada sesuatunya dibangun di atas kesadaran moral dan intelektual yang matang.
Sebagai perantau asli Manggarai Barat-NTT yang lama merantau di Lombok-NTB, Surabaya-Jawa Timur, Bandung dan Cirebon-Jawa Barat dan Jakarta sejak 1996 hingga saat ini (2022), saya tentu terinspirasi oleh keduanya untuk terjun dan menceburkan diri pada dua hal penting yaitu aktivisme dan intelektualisme. Bagi saya kedua sosok ini cukup representatif mewakili para perantau dalam membangun karir di tanah rantau, hingga kelak bisa membangun kampung halaman bahkan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Seingat saya, kedua sosok ini akrab dengan dua ormas Islam yang berbeda. Bila Bang Fahri akrab dengan Masyumi dan Muhammadiyah karena orangtuanya pernah aktif di Masyumi, lalu dirinya pernah aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM); maka Bang Zul aktif di Nahdhatul Waton atau NW.
NW merupakan salah satu ormas Islam yang lahir dan besar di Lombok-NTB. Namun perbedaan latar ormas membuatnya akrab sebagai sahabat sejati sejak lama hingga kini. Hal ini mengandung pesan dan nasehat pada siapapun untuk menjaga hubungan persahabatan kapan dan di mana pun.
Setahu saya, perbedaan sikap dan pilihan politik, termasuk kelak ketika keduanya memilih untuk berada di partai politik yang berbeda, persahabatan keduanya tetap terjaga dengan baik. Bukan sekadar terjaga tapi memang benar-benar terjaga sekaligus nampak terjaga.
Saya beberapa kali menyaksikan acara diskusi atau sekadar obrolan di media online sekaligus media sosial seperti YouTube dimana keduanya hadir sebagai narasumber atau sekadar pemantik diskusi, sungguh keduanya benar-benar mencerminkan sosok yang matang dan dewasa; baik ide maupun respon pada perbedaan pendapat.
Saya dan pembaca boleh berbeda pendapat tentang kedua sosok yang aktif menulis di media sosial ini. Apapun itu, kita sudah bersepakat bahwa perbedaan adalah anugerah dan mestinya membuat kita semakin dewasa dan matang. Bahkan pada saat yang sama semakin menyadarkan kita bahwa setiap pilihan bila dibangun di atas ilmu dan penalaran yang matang maka ia bernilai ijtihad sekaligus jihad yang tinggi.
Tulisan ini sekadar mengingatkan betapa siapapun yang memiliki niat dan tujuan baik sangat mungkin bertemu dan dipertemukan dalam momentum kebaikan walau ruangnya berbeda, kini dan nanti. Semoga karir keduanya semakin menanjak, sehingga semakin berkontribusi bagi kemajuan NTB dan Indonesia! (*)