Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Merawat Indonesia)
SELASA (25/10/2022), masih pagi, sosok wanita bercadar dan berjilbab itu tetiba datang di sebuah tempat terbuka. Konon ia hendak masuk ke Istana Merdeka, istana orang nomor 1 negeri ini. Untung ada aparat yang bertindak sigap, sehingga pelaku tidak sempat melakukan tindakan penembakan dan belum ada korban nyawa. Mungkin kalau sekadar bercadar dan berjilbab itu tak mengapa, tapi bila bersenjata maka itu aneh bahkan bisa-bisa menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Bila di dekat istana pejabat tinggi negara saja bisa kejadian, sangat mungkin di luar sana kejadian juga.
Kejadian semacam ini sudah terjadi beberapa kali. Di tempat yang berbeda-beda. Pelakunya berpakian serupa, lalu melakukan tindakan yang tak biasa: membawa senjata api atau senjata tajam, lalu berupaya merangsek ke tempat tertentu.
Aneh bin ajaib, pelaku biasanya terlihat berani dengan sorot mata yang tajam. Mungkin marah atau kesah, entahlah. Pelaku hendak bertindak apa dan karena sebab apa, kita tidak tahu pastinya. Terlihat sebagai pejuang keyakinan tertentu, namun selalu saja dilaebli dengan Islam. Padahal kita tak tahu siapa dan dari gerombolan apa pelakunya. Bahkan Islam meniscayakan umatnya untuk menjadi pelaku sekaligus penebar kasih sayang.
Beberapa tahun sebelumnya, seorang pemuda merengsek ke tengah pengajian pada saat Syeikh Ali Jabar mengisi pengajian dan menyampaikan sambutan. Untung saja benda tajam yang dibawa pelaku tidak membuat ulama penghafal al-Quran itu meninggal seketika. Walau kelak beberapa bulan kemudian, karena sakit lain, beliau pun meninggal dunia juga.
Tapi bagaimana dengan pelaku? Dia ternyata cuma dihukumi: sakit jiwa atau gila! Benar-benar membuat kita bertanya begini: sampai kapan aparat “membiarkan” orang gila semacam itu berkeliaran di mana-mana? Maaf, saya sengaja menggunakan tanda kutip, biar sahabat-sahabat saya di kepolisian tak salah paham dengan saya.
Kembali kepada sosok bersenjata. Bercadar dan berjilbab itu baik, tapi membawa senjata tanpa hak itu teror yang berbahaya dan tak perlu, sebab bisa merusak citra agama dan umatnya yang mestinya santun dan tidak menjadi sumber keonaran. Agama Islam adalah agama yang indah, ia meniscayakan umatnya menjadi sumber inspirasi kebaikan termasuk menjalankan sikap yang menimbulkan bertambahnya kasih sayang antar sesama. Semakin taat seseorang dalam menjalankan ajaran Islam mestinya semakin geliat ia untuk menghadirkan kedamaian dan kenyamanan di tengah kehidupan masyarakat yang beragam.
Tapi, mengapa masih ada saja yang berani bertindak sebaliknya, dari menentang agama hingga meneror sesama manusia? Jawabannya banyak dan panjang. Bisa jadi salah membaca sumber ajaran agama, keliru belajar agama, dan bisa juga salah guru. Hal lain, bisa juga tercemari pemikiran sekaligus keyakinan nyeleneh atau sesat. Atau bisa juga ada yang suruh untuk tujuan tertentu. Sehingga menjalankan ajaran agama secara serampangan, bahkan melakukan tindakan kriminal yang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Tapi kejadian serupa terjadi berkali-kali. Seperti film atau drama yang sengaja diputar berulang kali biar bisa ditonton berkaki-kali pula. Seringkali para pelaku hanya berujung pada berita: dia orang gila. Wah betapa berbahayanya bila orang gila bisa hidup di tengah masyarakat lalu bisa membawa senjata dengan begitu bebas. Bila senjatanya terisi peluru dan ditembakkan secara bebas atau sembarangan, betapa banyak orang yang menjadi korban. Bukan saja terluka, tapi juga kehilangan nyawa. Ada apa dengan negeri kita Indonesia?
Dalam perspektif yang lebih maju, bila seseorang berbeda pendapat dengan orang kebanyakan, maka dia mesti banyak mengkaji referensi sehingga perspektifnya kaya dan tidak terjebak dalam lembah fanatisme buta. Bila pun perspektif merujuk kepada berbagai referensi dan dinilai benar, tetap saja ada keniscayaan untuk menghormati perspektif yang berbeda. Sebab bisa jadi perbedaan terjadi karena berbeda dalam memahami referensi. Dan, dalam hal apapun terutama agama Islam, sangat dimungkinkan untuk terjadinya perbedaan pendapat. Cukup menjadi umat sekaligus warga negara yang dewasa dan menghormati perbedaan!
Nah, dalam konteks sebagai warga negara, apapun agama dan sistem keyakinannya, mesti mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada selera personal dan kelompok. Sebab setiap individu dan kelompok memiliki selera yang beragam. Bila selera semacam itu dibiarkan mendominasi maka sedikit banyak pasti menimbulkan ketidaknyamanan bagi yang lain. Karena itu, perlu ada penyesuaian.
Bukan bermaksud menolak selera setiap warga negara, tapi menyesuaikan penampakan selera di tengah kehidupan warga negara yang beragam selera. Bahkan termasuk selera berkeyakinan dan berpolitik, tidak ngasal mengartikulasikan hak!
Lebih jauh, perbedaan keyakinan dan perspektif mestinya tidak dijadikan sebagai dasar atau pijakan untuk meneror orang yang berbeda dan mengganggu kenyamanan bersama. Pada kondisi inilah mestinya menjadi momentum untuk mendewasakan diri dalam segala halnya. Kritik pada kebijakan penguasa, misalnya, tak mesti disampaikan dengan kejahatan atau kriminal. Sampaikan pendapat dan sikap politik sebagai warga negara dengan cara yang santun dan tanpa mereduksi kepentingan bersama. Sebab di samping kebebasan satu individu mesti dihargai, ada kebebasan individu lain yang mesti dihargai pula.
Bila pun ada yang tidak suka pada siapapun, baik personal warga negara maupun pejabat negara dalam level apapun, tetap mesti disampaikan dengan cara yang beradab, bukan dengan cara teror! Islam sendiri sejatinya menggariskan kepada umatnya agar menjadi pembawa kedamaian dan kasih sayang bagi seluruh alam. Tindakan onar yang meresahkan, termasuk teror dalam bentuk apapun, walaupun pelakunya menampilkan simbol dan wujud ajaran agama seperti bercadar dan berjilbab, tetap saja merupakan musuh agama sekaligus musuh negara.
Tapi mengapa kejadian serupa kerap terjadi? Apakah sosok-sosok semacam itu sengaja dibina dan dipelihara demi mengalihkan isu atau kasus besar para pemain? Atau memang dilakukan oleh tangan-tangan jahat yang sengaja membangun skenario semacam itu demi terbentuknya citra buruk dari mereka yang berbeda pandangan dan kepentingan? Ah kita hanya berspekulasi. Karena itu, kita mendesak agar penegak hukum bertindak jujur, tegas dan adil, sehingga para pelaku benar-benar dihukum dan latar mereka benar-benar diketahui sampai ke akar-akarnya.
Betapa cantiknya seseorang bila ia menutup aurat termasuk dengan cara bercadar dan berjilbab. Memang mengenakan keduanya tidak secara otomatis pemakainya bebas dari dosa, tapi dengan mengenakan keduanya minimal terhindar dari godaan untuk berbuat dosa. Bahkan bercadar dan berjilbab itu baik, apalah lagi ditunaikan karena dalil yang benar dan dipahami dengan benar pula; bukan sekadar asal beda dengan elemen lain yang berbeda. Bahkan dalam sisi yang lain, cadar dan jilbab adalah senjata. Senjata untuk menebar kasih sayang yang bisa menimbulkan kedamaian dan melekatkan persahabatan dengan siapapun, seluruh umat manusia. (*)