Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis 45 Judul Buku dan Santri Ponpes Nurul Hakim di Kediri, Lombok Barat-NTB Tahun 1996-2002)
HARI ini Sabtu bertepatan dengan tanggal 22 Oktober 2022. Beberapa tahun lalu pemerintah Indonesia menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri. Hal ini tentu sangat wajar sebagai wujud penghargaan sekaligus untuk mengenang kontribusi para santri dalam memperjuangkan sekaligus menjaga kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan.
Hal ini menjadi momentum terbaik bagi pemerintah untuk menempatkan santri sekaligus lembaga pendidikan pesantren sebagai bagian penting dalam menjaga keutuhan negara dari berbagai upaya rongrongan juga penjajahan.
Salah satu elemen penting yang melekat pada santri adalah ilmu. Sebab pesantren sebagai tempat santri melakukan berbagai penempaan dan pembinaan dalam beragam aspek. Dari iman, taqwa dan akhlak mulia hingga ilmu pengetahuan yang masuk kategori ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah, hingga ilmu kontemporer sebagai turunan atau pengembangan dari ilmu-ilmu dasar yang sejatinya bersumber dari basis yang sama yaitu Wahyu Allah: al-Qur’an yang diperjelas oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berbagai al-Haditsnya. Sehingga santri pun akrab dengan beragama mata ilmu sekaligus berbagai bentuk aplikasinya secara langsung.
Diantara tradisi santri yang akrab dan terngiang dalam benak banyak orang terutama yang pernah nyantri adalah menulis. Bagi santri, menulis merupakan elemen penting dalam proses pembelajaran, terutama dalam mengkaji berbagai kitab mu’tabarah yang sudah akrab dengan kaum santri atau pesantren.
Selain memberi baris atau harakat pada kitab yang masih gundul juga untuk meresume atau mencatat apa-apa yang disampaikan oleh para Kiai, Tuan Guru dan Para Ustadz yang mendidik mereka di berbagai momentum. Dalam belajar, santri tidak saja mengandalkan telinga dan mata juga ingatan, tapi juga catatan atau menulis. Sehingga secara umum santri sangat akrab dengan tradisi menulis.
Bila menelisik ke sejarah pesantren di Indonesia, kita dapat memahami bahwa santri dengan pesantrennya, pada zamannya merupakan elemen penting yang berkontribusi dalam perjuangan melawan penjajah.
Para ulama dan santri berduyun-duyun mendalami berbagai ilmu lalu mengembangkannya di tengah masyarakat, sehingga masyarakat semakin cerdas dan sadar akan martabat dirinya sebagai bangsa yang sedang dijajah; karena itu, mereka mesti melakukan perlawanan sebagai sebuah jalan satu-satunya agar merdeka dan martabatnya tak diinjak-injak.
Salah satu warisan terpenting santri atau pesantren adalah tradisi menulis. Para Kiai pesantren rerata merupakan penulis kitab sebagai media pembelajaran sekaligus kaderisasi para pejuang dakwah Islam pada eranya. Hampir seluruh pendiri ormas Islam, terutama yang didirikan sebelum kemerdekaan adalah para penulis ulung.
Sebut saja KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, Ustadz Zam-zam, Ustadz Ahmad Hasan, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, Pak Mohammad Natsir, KH. Agus Salim, HOS Cokroaminoto, Pak Mohammad Hatta dan tokoh-tokoh lainnya adalah sosok yang aktif menulis. Begitu juga pendiri atau tokoh ormas Islam yang berdiri pasca kemerdekaan, semuanya rerata memiliki tradisi menulis yang kuat. Ya, kelak, setelah kemerdekaan pun generasi penerus mereka melakukan hal serupa.
Satu hal yang menarik dari tradisi menulis kala itu, bahwa mereka menulis bukan karena profesi, tapi sebagai jalan sekaligus media perjuangan. Menulis bukan saja sebagai upaya menyebarkan berbagai ilmu dan hikmah tapi juga sebagai jalan juang atau jalan jihad: jihad literasi. Melawan penjajah pun dilakukan dengan cara menulis berbagai jenis tulisan yang mengandung nilai edukasi dan perlawanan. Sehingga senjata yang dipergunakan untuk melawan penjajah bukan saja bambu runcing dan serupanya tapi juga berbagai media seperti majalah dan buletin.
Kini, terutama di era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih ini, santri tentu masih memiliki tugas yang sama yaitu mewarisi tradisi para pendahulu yaitu menulis. Menulis adalah jalan jihad yang tidak bisa dianggap remeh, sebab keberadaan media massa, media online dan media sosial mesti diisi oleh konten yang bermutu dan bila perlu mengandung nilai-nilai keilmuan dan jihad yang mencerahkan masyarakat, bukan menimbulkan keresahan, kerusakan dan perpecahan. Menulis pun merupakan bagian dari jihad yang mendesak untuk ditekuni oleh umat Islam, terutama oleh kalangan santri.
Siapapun, terutama santri, mesti mengambil peran dalam mengokohkan tradisi menulis, sehingga berbagai media yang ada tidak tercemari oleh berbagai konten yang merusak seperti hoax, caci maki, hujatan dan serupanya. Selain menulis artikel, cerita pendek dan puisi, santri juga mesti punya geliat untuk menulis buku. Itulah salah satu jalan sekaligus media jihad yang penting pada era ini.
Memang tradisi ini terlihat berat, karena memang berat. Namun bila kita sudah memiliki kebulatan tekad dan bersungguh-sungguh untuk mempelajari sekaligus menekuninya maka suatu saat bakal terlahir karya-karya gemilang. Ya, inilah salah satu jalan jihad santri di era yang serba bernyawa dan akrab dengan media ini: menulis! (*)