Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku Merawat Indonesia)
SIAPAPUN pasti mengenal sosok tokoh besar dan fenomenal ini. Ia adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, dikenal mashur dengan HOS Cokroaminoto atau sebutan Cokroaminoto. Ia lahir di Ponorogo-Jawa Timur pada 16 Agustus 1883. Merupakan anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat wedana Kleco, Magetan pada saat itu. Ia meninggal dunia di Yogyakarta pada 17 Desember 1934, dalam usia 51 tahun. Ia dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta, setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin-Kalimantan Selatan.
Setelah lulus dari Sekolah Rendah (SR), ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pamong Praja di Magelang-Jawa Tengah. Setelah lulus, ia bekerja sebagai juru tulis patih di Ngawi-Jawa Timur. Tiga tahun kemudian, ia berhenti. Lalu ia pindah dan menetap di Surabaya-Jawa Timur pada 1906. Di Surabaya, ia bekerja sebagai juru tulis di firma Inggris Kooy & Co dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Kejuruan Burgerlijk Avondschool, jurusan Teknik Mesin.
Bila kita menelisik sejarah Cokroaminoto, maka kita akan menemukan fakta bahwa ia adalah sosok tokoh yang unik. Pada dirinya mengalir darah biru sekaligus ulama. Hal ini sangat wajar, sebab kakeknya, RM Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo. Sementara mertuanya adalah RM Mangoensoemo yang merupakan Wakil Bupati Ponorogo kala itu. Cokroaminoto juga merupakan keturunan langsung dari Kiai Ageng Hasan Besari dari Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo.
Dari silsilah nasab dan garis jabatan keluarganya kita dapat memahami betapa sosok ini memiliki keterikatan yang kuat dengan Islam sekaligus bangsa Indonesia. Pada dirinya terdapat semangat keislaman yang kuat sekaligus semangat kebangsaan yang juga kuat. Sehingga sangat wajar bila kelak pada 16 Oktober 1905, ia mendirikan organisasi Sarekat Islam (SI) yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam (SDI) dan terpilih menjadi Ketua. Sebuah organisasi yang didirikan oleh semangat keislaman dan kebangsaan yang sangat kuat, yang pada 16 Oktober 2022 lalu sudah berusia 117 tahun.
Bila kita telisik warisan penting Cokroaminoto, maka kita akan menemukan fakta diantaranya, pertama, sukses mendirikan Syarikat Islam. Ya, seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa pada 16 Oktober 1905 silam ia bersama teman-temannya sukses mendirikan organisasi berbasis masyarakat Islam pertama di Indonesia, namanya Syarikat Islam. Karena kecemerlangan pemikiran dan manajemen kepemimpinannya, ia pun dipercaya untuk memimpin Syarikat Islam sebagai Ketua. Kini Syarikat Islam terkenal luas dan strukturnya sudah ada di hampir seluruh propinsi dan kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
Kedua, narasi politik keumatan dan kebangsaan. Kita mesti jujur untuk mengatakan betapa sosok inilah yang mengawali hadirnya narasi politik kebangsaan yang bernyawa Islam pada lapak sejarah negeri ini. Diantara trilogi gagasannya yang termasyhur terungkap dalam sebuah ungkapan beliau yaitu “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”. Ungkapan ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan, yaitu ilmu, iman dan politik. Ketiga hal tersebut juga mesti dimiliki oleh kader Syarikat Islam di era ini.
Baginya, seorang muslim mesti menekuni berbagai ilmu pengetahuan melalui berbagai lembaga pendidikan yang ada. Sehingga ia terdidik dengan baik, sebagai modal utama dalam menjalankan misi dakwah dan kepemimpinan. Namun itu tidak cukup, sebab ia mesti dibekali dengan iman yang kuat, sehingga moralnya terjaga sekaligus tidak tergiur oleh godaan dunia yang kerap menyilaukan. Namun ilmu dan iman saja tidak cukup, sebab seorang muslim mesti bermanfaat bagi kemanusiaan. Ia mesti punya ketertarikan sekaligus giat dalam mengadvokasi masyarakat melalui berbagai jalur yang ada, termasuk jalur politik.
Ketiga, kaderisasi kepemimpinan. Kelak para muridnya pun mewarisi nilai-nilai luhur dalam bingkai ilmu, iman dan politik peradaban, sehingga apapun dan dimana pun mereka berkarir tetap dalam bingkai warisan nilai sekaligus perjuangan guru mereka. Diantara pesan sekaligus nasehatnya yang sangat familiar, “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator!” Ungkapan tersebut pun menjadi spirit dan pendorong bagi para muridnya kala itu. Bahkan kini ungkapan itu menjadi inspirasi bagi banyak orang, lintas ormas Islam. Bukan saja dalam konteks politik dan kepemimpinan tapi juga dalam hal penguatan tradisi literasi.
Menurut catatan sejarah, jumlah murid Cokroaminoto sangat banyak. Diantara yang cukup terkenal adalah Soekarno, Muso, Alimin, S.M. Kartosuwiryo, Darsono, dan dan lain-lain. Sosok ini pun sukses menjalankan tugas sejarahnya dalam mendidik hampir seluruh tokoh bangsa pada zamannya. Walau ia memiliki banyak murid, namun ada seorang murid yang sangat spesial baginya, yaitu Soekarno. Karena sangat mencintai muridnya, ia pun menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno.
Sepak terjang dan perjuangan Cokroaminoto memang tak bisa dianggap remeh, sebab kontribusinya sangat besar bagi laju dakwah Islam dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga sangat wajar bila sosok yang tergolong “gila” baca buku ini diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Indonesia Soekarno pada tahun 1961 berdasarkan Nomor Surat Keputusan SK/590/Tahun/1961 pada tanggal 09 November 1961, yang tercatat dalam Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial, Kementrian Sosial Republik Indonesia.
Kini Cokroaminoto telah tiada, namun ia tidak benar-benar tiada. Sebab fisiknya tiada namun pemikiran, nilai perjuangan dan organisasi yang didirikannya masih terjaga bahkan semakin mendapatkan apresiasi banyak kalangan termasuk kalangan milenial. Bahkan para muridnya sukses mendirikan berbagai organisasi kemasyarakatan dan lembaga pendidikan dalam beragam jenis. Semua itu tentu bagian dari warisan penting yang Cokroaminoto wariskan kepada kita, seluruh elemen bangsa Indonesia. Hal itu menjadi bukti nyata betapa Cokroaminoto bukan saja tokoh Syarikat Islam dan tokoh bangsa tapi juga sosok pahlawan dan negarawan yang sangat berjasa. (*)