Oleh: Syamsudin Kadir
(Penulis Buku “Merawat Indonesia”)
AT- TAQWA Center kembali menyelenggarakan acara Pelatihan Pendidikan untuk Da’i dan Khotib Se-Wilayah III Cirebon (Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan, Ciayumajakunjng) di Aula Utama at-Taqwa Center. Acara ini diselenggarakan selama tiga hari, Jumat-Ahad, 25-27 November 2022. Beberapa narasumber didaulat untuk menyampaikan beberapa materi, salah satunya Dr. Ahmad Kholiq, MA. Pada hari pertama pakar Hukum Islam ini menyampaikan materi Adab dan Etika Berkhutbah, yang mengerucut pada materi Kompetensi Da’i Era Digital.
Pada kesempatan kali ini Doktor Kholiq menjelaskan bahwa seorang da’i (khotib, penceramah) mesti memiliki beberapa hal penting. Pertama, visi dan misi yang benar. Visi dan misinya mesti benar dan lurus yang dilandasi oleh al-Quran dan al-Hadits. Hal ini menjadi penentu sukses atau tidaknya da’i dalam menjalankan peran dakwahnya, baik dakwah kemasyarakatan maupun khutbah dalam bentuk apapun. Untuk itu, seorang da’i mesti banyak belajar, sehingga ia memiliki kemampuan sekaligus optimal dalam menjalankan peranan dakwah.
Kedua, manajemen dakwah. Peranan dakwah seorang da’i bisa berjalan dengan baik bila memiliki manajemen yang jitu. Dalam rangka itu paling tidak dibutuhkan dua manajemen, yaitu (1) manajemen bumi. Manajemen ini mencakup penguasaan materi, metode, dan audiens. Da’i dan khutbah perlu mendalami materi dakwahnya dengan baik. Dia mesti banyak membaca berbagai referensi yang menunjang. Selain itu, tentu saja mesti memahami metode dan mampu menjalankan metode dakwah dengan baik. Dengan begitu sangat memudahkan baginya untuk memahami audiens yang mendengar dakwahnya.
Kemudian, hal lain tentu saja (2) manajemen langit. Kunci utama manajemen langit adalah ikhlas karena Allah. Ia tidak butuh pujian dan penghormatan manusia. Ia sudah mencukupkan dirinya dengan tujuan utamanya yaitu ridha dan rahmat Allah. Seorang da’i tidak ditugaskan untuk memberi hidayah dan merubah karakter manusia yang mendengar dakwahnya. Sebab hanya Allah saja yang mampu menentukan apakah seorang manusia mendapat hidayah atau tidak.
Ketiga, mampu menentukan materi dan metode yang tepat. Hal lain yang mesti dimiliki oleh da’i adalah mampu menentukan materi dakwah yang disesuaikan dengan kebutuhan audiens. Materi dakwah saja tidak cukup, maka da’i juga mesti memahami metode dakwah. Diantara metode dakwah yang paling populer adalah metode bertahap. Dakwah mesti bertahap, sehingga audiens tidak kaget dan merasa digurui. Tapi audiens tersadarkan dan semakin tertarik pada konten dakwah.
Keempat, menguasai rujukan dan referensi. Da’i mesti banyak belajar, minimal dengan membaca dan mengkaji berbagai kitab rujukan sesuai dengan kebutuhan dakwah. Da’i tidak cukup dengan kemampuan dan pengetahuan standar yang dimilikinya saat ini. Tantangan dan kebutuhan dakwah semakin kompleks, karena itu da’i mesti memiliki pengetahuan yang mumpuni. Da’i mesti melek media atau teknologi digital. Apalah lagi di era digital yang semakin tak terbendung ini, da’i mesti jadi pembelajar, sehingga dakwahnya berdampak baik dan diterima oleh masyarakat banyak.
Kelima, objek dakwah. Da’i mesti mengenal dan memahami kondisi objek dakwahnya, baik kondisi lingkungan maupun pengetahuannya. Selain itu, tentu saja kondisi kebutuhan mereka. Apalah lagi zaman ini semakin menyulitkan kita dalam mengikuti kebenaran, dimana para ulama sudah sering dijauhkan dan tak didengar, maka da’i mesti benar-benar hadir sebagai teladan. Bahkan dalam sebuah hadits diriwayatkan, bahwa bila bila suatu saat akan datang suatu zaman dimana ulama diacuhkan dan dilecehkan, maka umat akan dihadapkan dengan pemimpin yang zalim dan menyesatkan, bahkan mengajak manusia untuk mati tanpa iman yang benar.
Dakwah yang efektif tentu saja manakala dilakukan secara profesional dan sungguh-sungguh. Apalah lagi di era digital ini, para da’i perlu memiliki kompetisi yang mumpuni sehingga semakin kreatif dan sukses dalam menjalankan peran dakwahnya di tengah kehidupan masyarakat luas. Sebagai pelengkap beberapa hal di atas tentu belum cukup, karena itu saya (penulis) menyarankan da’i juga mesti memiliki kemampuan menulis dan mempublikasi tulisannya. Sebab tulisan yang terpublikasi dapat menjadi media dakwah yang memudahkan masyarakat untuk memahami agama dan mendapatkan konten yang bermanfaat dan bermutu. (*)