Oleh: H.Daddy Rohanady
(Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat)
USULAN perbaikan rumah tidak layak huni (rutilahu) ternyata masih sangat banyak. Hal itu kerap terungkap dalam kegiatan reses Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat. Ada yang disampaikan oleh kepala desa/kuwu dan tidak sedikit pula yang disampaikan langsung oleh anggota masyarakat.
Misalnya beberapa desa di Kabupaten Cirebon semisal Desa Tersana di Kecamatan Pabedilan, Desa Gunungsari di Kecamatan Waled, Desa Ciawigajah di Kecamatan Beber, Desa Warukawung di Kecamatan Depok, dan Desa Panunggul di Kecamatan Gegesik. Desa-desa-tersebut mengajukan minimal 30-50 bantuan perbaikan rutilahu kepada Pemprov Jabar. Itu berarti, masih banyak rutilahu di desa-desa di Kabupaten Cirebon yang membutuhkan perbaikan.
Perbaikan rutilahu sebenarnya tidak hanya diberikan oleh Pemprov Jabar. Program serupa juga diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Cirebon dan Pemerintah Pusat. Jadi, sebenarnyan program ini “dikeroyok banyak pihak”. Itulah sebabnya, semestinya perbaikan rutilahu berjalan lebih cepat.
Seandainya koordinasi dan sinergitas itu berjalan lancar, semestinya tidak ada lagi rutilahu. Dengan demikian, masyarakat benar-benar merasakan kehadiran negara. Mereka akan merasakan bahwa negara hadir dengan memenuhi kebutuhan papannya.
Memang, dibutuhkan dana untuk itu. Sayangnya, fiscal gap yang menganga begitu dalam kerap menjadi masalah. Provinsi atau kabupaten/kota kerap tidak memiliki cukup anggaran untuk memenuhi semua kebutuhan perbaikan rutilahu yang diminta oleh masyarakat.
Oleh karena itulah, kebijakan yang diambil pun biasanya secara bertahap. Konsekuensinya, program perbaikan rutilahu berjalan setiap tahun. Artinya, masyarakat yang mengajukan pun harus menunggu giliran. Itu membutuhkan kesabaran dan “rasa legowo” manakala dia belum mendapat giliran perbaikan rumahnya.
Provinsi Jawa Barat, misalnya, pernah menjadikan program perbaikan rutilahu secara kontinyu. Target awalnya jumlahnya 100.000 rumah dalam lima tahun. Sayangnya, lagi-lagi karena fiscal gap yang menganga, program tersebut sempat tersendat.
Kalau dalam lima tahun harus diselesaikan 100.000, maka setiap tahun minimal harus diselesaikan perbaikan minimal 20.000. Konsekuensinya, APBD Provinsi jabar harus mengalokasikan sekitar Rp 350-400 miliar per tahun. Itu jika program tersebut dijalankan secara kontinyu. Alokasi tersebut juga jika bantuan yang diberikan nilainya sekitar Rp 17.500.000 — Rp 20.000.000 per calon penerima manfaat (CPM).
Ada satu hal lagi yang harus dijelaskan kepada masyarakat secara luas yang menjadi CPM. Bantuan yang diberikan itu sifatnya hanya sebagai stimulus. Mengapa demikian? Pada masa seperti ini, mana mungkin melakukan perbaikan rumah dengan nilai seperti itu?
Jadi, sekali lagi, bantuan yang diberikan hanya merupakan stimulus. Oleh karena itu, tidak aneh jika ada sebagian CPM yang dibantu oleh keluarganya untuk mencukupi kebutuhan perbaikan rutilahunya. Ada pula CPM yang dibantu oleh para tetangga sekitarnya. Bahkan, ada pula CPM yang lantas berutang. Semua itu deilakukan demi untuk perbaikan rumahnya.
Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan perbaikan rutilahu. Itu berarti bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh negara, baik pemerintah kabupaten/kota, provinsi, maupun pemerintah pusat.
Semoga pandemi segera berakhir. Semoga bangsa Indonesia tidak dilanda resesi berkepanjangan yang konon sudah menimpa banyak negara. Semoga bangsa ini diberi kekuatan menghadapi berbagai cobaan. Dengan demikian, negara bisa mengurus rakyatnya lebih baik lagi dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan demikian, akan terwujud Indonesia Raya yang adil, makmur, dan sejahtera. Semoga. (*)