Oleh: M. Rizal Juma
(Penulis adalah Kepala Seksi Pencairan Dana KPPN Cirebon)
SEMUA berubah kecuali perubahan itu sendiri. Tentu kita tak asing lagi dengan ungkapan ini. Segala sesuatu di dunia ini bersifat dinamis. Perubahan terjadi karena adanya tuntutan untuk menjadi lebih baik, lebih mudah dan lebih cepat. Salah satu perubahan adalah alat pembayaran khususnya di Indonesia.
Alat pembayaran di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dan maju. Alat pembayaran terus bertumbuh dari alat pembayaran tunai (cash based) ke alat pembayaran nontunai (non-cash). Seperti alat pembayaran berbasis kertas (paper based) misalnya cek dan bilyet giro yang diproses menggunakan mekanisme kliring/settlement. Selain itu dikenal juga alat pembayaran paperless seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai Kartu ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit dan Kartu Prabayar (card-based) (bi.go.id).
Sejak Gerakan Nasional Non Tunai (GNTT) dicanangkan pada tahun 2014, masyarakat umum menjadi terbiasa melakukan pembayaran tanpa uang tunai (cashless) khususnya menggunakan kartu kredit. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah cq Menteri Keuangan kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 97/PMK.05/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 196/PMK.05/2018 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah (KKP), atas transaksi belanja negara yang dibebankan pada APBN menggunakan kartu kredit. Prinsip penggunaan kartu kredit pemerintah sebagaimana terdapat dalam PMK 196/PMK.05/2018 adalah:
- Flexibel, yaitu kemudahan penggunaan (flexibility) kartu dengan jangkauan pemakaian yang lebih luas dan transaksi dapat dilakukan di seluruh merchant yang menerima pembayaran melalui mesin Electronic Data Capture (EDC)/ media daring,
- Aman dalam bertransaksi dan menghindari terjadinya penyimpangan (fraud) dari transaksi secara tunai.
- efektif dalam mengurangi UP yang menganggur (idle cash) dan biaya dana (cost of fund) Pemerintah dari transaksi UP.
- akuntabilitas pembayaran tagihan negara dan pembebanan biaya penggunaan UP Kartu Kredit Pemerintah.
Penggunaaan KKP juga diharapkan dapat mempercepat pembayaran atas transaksi yang dilakukan oleh satker kementerian dan lembaga (K/L). Pelaksana kegiatan (PPK dan pejabat pengadaan atau pegawai) tidak harus menunggu uang dari bendahara pengeluaran untuk melaksanakan aktivitasnya. Melalui pengunaan kartu kredit ini juga berarti telah mendukung program meminimalisasi peredaran uang tunai.
Implementasi KKP Lingkup KPPN Cirebon
Berdasarkan data Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (OM-SPAN) dari 110 satker lingkup KPPN Cirebon yang wajib implementasi KKP, sebanyak 75 satker memiliki UP KKP atau 68,18%. Jumlah transaksi UP KKP satker periode 1 Januari sampai dengan 16 Desember 2022 adalah 176. Jika dibandingkan dengan transaksi UP Tunai sebanyak 5258, transaksi KKP hanya 3,24%. Angka ini tergolong masih kecil. Sedang dari nilai transaksi KKP sebesar Rp1,51 milyar atau hanya 1% dibanding nilai transaksi UP Tunai yang mencapai Rp151 milyar untuk periode yang sama. Jumlah ini tentu sangat kecil jika mengacu pada ketentuan pembagian proporsi UP Tunai dan UP KKP yakni 60%:40%. Kecilnya jumlah maupun nilai transaksi KKP disebabkan satker yang mengaktifkan atau menggunakan KKP masih kurang. Data OM-SPAN menunjukkan dari 75 satker yang memiliki KKP, yang melakukan transaksi sepanjang 2022 sebanyak 14 satker atau hanya 18,67%.
Banyaknya satker yang tidak mengaktifkan atau menggunakan KKP mengindikasikan bahwa satker lebih nyaman menggunakan uang tunai dalam melakukan belanja. Pola pikir sebagian satker perlu diubah agar terbiasa melakukan transaksi pembayaran non tunai daripada uang tunai. Ketersediaan mesin EDC yang terbatas dimana belum semua merchant menyediakan mesin EDC merupakan masalah klasik yang ditemui dihampir semua kabupaten atau daerah tingkat II.
Untuk itu telah dilakukan koordinasi dengan bank penyedia kartu kredit agar memperbanyak penyediaan mesin EDC. Terkait satker yang belum menerima KKP dari bank, ini disebabkan proses penerbitan KKP masih dilakukan terpusat. Hendaknya pihak bank mendelegasikan wewenang pada kantor cabang untuk melakukan penerbitan KKP. Ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penumpukan permintaan di Kantor Pusat bank penerbit, yang berdampak pada lamanya proses penerbitan KKP.
Untuk itu perlu komunikasi dengan pihak bank agar menjadi perhatian dalam mekanisme penerbitan KKP. Anggapan bahwa menggunakan KKP kurang efektif dan efisien tentu saja keliru. Justru penggunaan KKP dapat meningkatkan efesiensi antara lain mengurangi/mempercepat waktu transaksi sekaligus juga meningkatkan pengawasan. Dengan adanya KKP pelaksanaan tugas akan lebih efektif karena pegawai tidak perlu meminta uang operasional kepada bendahara dan juga tidak perlu banyak membawa uang tunai sehingga lebih aman karena semua keperluannya terkait tugas seperti pembayaran tiket pesawat dan hotel dapat menggunakan KKP.
Adanya praktek pengenaan surcharge terhadap transaksi KKP diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu. Pada prinsipnya pengenaan surcharge dalam transaksi kartu kredit tidak sesuai aturan.
Sanksinya pun tegas yaitu penerbit kartu kredit wajib menghentikan kerjasama dengan merchant yang terbukti menerapkan tindakan yang merugikan diantaranya memproses tambahan biaya transaksi atau surcharge. Satker diminta untuk melaporkan kepada pihak Bank jika ada merchant yang masih mengenakan surcharge.
Meskipun masih terdapat beberapa kekurangan di sana sini, pembayaran menggunakan KKP merupakan cara menciptakan cashless society. Seiring dengan kemajuan teknologi tentu semakin banyak kemudahan yang diciptakan. Upaya Pemerintah melakukan modernisasi pembayaran dengan tetap menerapkan tranparansi dan akuntabilitas sejalan dengan prinsip Keuangan Negara yakni Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Jelasnya, setiap penyelenggara Negara wajib mengelola keuangan Negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. (*)