Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Merawat Indonesia”
DEWAN Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII, atau Dewan Dakwah) Jawa Barat kembali akan mengadakan acara Pelatihan Jurnalistik di Kota Bandung sebagai upaya penguatan media dan potensi kejurnalistikan internal pengurus atau da’i Dewan Dakwah Jawa Barat. Acara yang rencananya diselenggarakan selama dua hari tersebut (Sabtu-Ahad, 17-18 Desember 2022) diikuti oleh delegasi Dewan Dakwah Kabupaten/Kota Se-Jawa Barat. Pada acara yang diadakan di Balatkop Provinsi Jawa Barat tersebut mendalami tiga materi utama yaitu “Menulis Naskah Berita”, “Foto dan Video”, dan “Analisis Isu”.
Pertanyaan mendasarnya, mengapa Dewan Dakwah begitu perhatian pada dakwah media? Apa urgensi dakwah tulisan, publikasi dan analisa isu dalam pergerakan dakwah? Pertanyaan ini sederhana, namun jawabannya akan membangun kesadaran kita akan pentingnya adaptasi dan pemanfaatan media sekaligus literasi tulisan sekaligus isu di era ini. Harapannya, potensi kepenulisan dan kejurnalistikan para da’i, khususnya Dewan Dakwah Se-Jawa Barat semakin berkualitas dan bermanfaat bagi perjalanan dakwah di Jawa Barat dan Indonesia.
Pertama, Dewan Dakwah adalah organisasi dakwah yang didirikan oleh para tokoh yang aktif menulis, tekun berjuang dan dikenal memiliki karakter mulia. Sejak awal berdiri pada 26 Februari 1967 silam, Dewan dakwah sudah akrab dengan tradisi menulis. Sekadar contoh, Pak Mohammad Natsir, salah seorang tokoh utama Dewan Dakwah, sangat akrab dengan tradisi baca-tulis. Sehari-hari beliau membaca buku, surat kabar dan jenis bacaan lainnya. Bukan saja karya penulis muslim tapi juga non muslim. Sehingga beliau memiliki wawasan dan perspektif yang luas.
Dampaknya, Pak Natsir bukan saja pandai berpidato di berbagai mimbar masjid dan mushola juga podium, tapi juga pandai menulis artikel untuk berbagai surat kabar zamannya bahkan beragam judul buku. Temanya beragam dan analisanya tajam. Beliau kerap menanggapi berbagai isu yang berkembang saat itu dengan analisa yang tajam dan komentar yang cukup kritis. Beliau mendalami isu tertentu dengan membaca berbagai sumber bacaan dan memahami realitas dengan kemampuan deteksi yang akurat. Sehingga tulisannya diakui sangat mendalam dan berdampak pada perjalanan dakwah yang beliau perjuangkan.
Kedua, menulis adalah aktivitas yang memungkinkan ekspansi dakwah berjalan dengan optimal. Bila era lampau saja tulisan bisa menembus dada manusia dan melampaui lautan sekaligus benua, maka pada era ini tentu jauh lebih mungkin. Era ini sangat akrab dengan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih dan mudah diakses. Bila saja kemudahan semacam itu disambut dengan kemampuan memproduksi konten positif atau dakwah yang lebih bermutu, maka besar kemungkinan konten semacam itu akan mudah diakses oleh banyak orang.
Pada era ini, da’i tidak saja mesti pandai berpidato atau berceramah di berbagai forum, tapi juga mesti jago menulis artikel, makalah dan sebagainya. Berbagai media massa seperti surat kabar atau koran dan media online sangat terbuka menerima artikel dari siapapun, termasuk dari para da’i. Bila media massa belum menerima atau para da’i kesulitan mengirimkan karya tulis ke media massa, maka media sosial seperti Facebook dan group WhatsApp adalah media yang selalu sedia untuk dijadikan media publikasi tulisan.
Ketiga, tulisan yang baik tentu bukan saja karena isinya tapi juga ketajaman analisa dan cara penulisannya yang menarik. Di era media ini, para da’i diharuskan untuk memiliki ketertarikan pada dunia literasi mencakup baca, tulis dan analisa isu. Sebab tantangan dan hambatan dakwah sedikit banyak bisa dibaca di berbagai media, bahkan dakwah bisa dilangsungkan dengan pemanfaatan media yang ada. Para da’i mesti memiliki kemampuan menulis yang apik, analisa yang tajam dan penguasaan konten tulisan.
Selain dengan tulisan, dakwah juga bisa memanfaatkan foto dan video. Selain memudahkan masyarakat untuk memahami konten dakwah atau tulisan, foto dan video juga mempercepat konten dakwah disampaikan sekaligus sampai kepada khalayak luas. Dengan demikian, kemampuan untuk mendesain foto, mengedit video dan publikasi adalah sebuah keniscayaan bagi para da’i di era ini. Bila tidak, maka para da’i bakal ketinggalan zaman, bahkan ditinggalkan oleh masyarakat luas, terutama kaum Milenial yang akrab dengan media.
Hal ini bermakna, para da’i bukan saja perlu menghafal atau memahami ayat al-Quran dan al-Hadits tapi juga melek media. Da’i tidak boleh membiarkan media berlalu begitu saja, apalah lagi bila kontennya justru menghambat pergerakan dakwah Islam, maka melek media menjadi kewajiban. Bahkan bila memungkinkan, para da’i perlu memiliki website atau blog pribadi yang berisi berbagai tulisan, informasi dan aktivitasnya. Selain sebagai syiar juga sebagai media yang mengakrabkan para da’i dengan masyarakat luas.
Para tokoh dan da’i Dewan Dakwah perlu meningkatkan keterampilannya di aspek kepenulisan atau tulis menulis, komunikasi dan bernarasi. Sehingga bisa disalurkan di berbagai media sosial seperti Instagram, Facebook, group WhatsApp, YouTube, Website, dan sebagainya. Kebenaran agama Islam mesti disampaikan dengan baik dan terus menerus melalui media semacam itu. Sebab, mesti diakui sumber daya kita untuk melakukan kaderisasi dan dakwah secara langsung, dalam hal ini bertatap muka atau bertemu langsung, sangatlah tidak memadai.
Dakwah adalah tugas mulia sekaligus warisan para utusan Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam adalah sosok yang mewarisi tradisi ini kepada para sahabat dan pengikut beliau dari satu generasi hingga berbagai generasi, termasuk generasi kita saat ini. Tantangan dan hambatan dakwah di era ini mesti dihadapi dengan cerdas dan strategi jitu. Para da’i mesti melek berbagai media dan mampu memanfaatkannya secara produktif dengan memproduksi konten yang bermutu dan maslahat bagi umat manusia. Singkatnya, selalu dan sudah banyak alasan bagi kita untuk menulis dan melek media. Bila tidak sekarang, kapan lagi? Bila bukan kita, siapa lagi? (*)