Oleh: Andri Dian Suandri, S.Pd.I
(Kepala Sekolah SMP Ponpes Modern Ar Rahmat Majalengka)
PADA Sabtu, 04 Februari 2023 Seminar Parenting dengan tema, “Mengenal Pola Asuh Anak di Pesantren” bisa dilaksanakan dengan baik. Kegiatan ini berlangsung di Mesjid Pondok Pesantren Modern Ar-Rahmat Majalengka. Ummi Hj.Yeni Fitriyani, M.Pd.I. yang didaulat menjadi narasumber pada acara tersebut merupakan Pengasuh Ponpes Modern Ar Rahmat, Trainer dan Kepala Madrasah Aliah Unggulan Ar-Rahmat. Sekitar 65 peserta turut hadir diacara tersebut dan mereka merupakan wali santri yang putra-putrinya sudah dinyatakan diterima di SMP Ar Rahmat pada gelombang pertama.
Dalam paparannya beliau menyampaikan bahwa, “Anak adalah investasi masa depan yang berharga dan tidak bisa dibeli oleh apapun.” Anak adalah amanah dari Allah SWT yang harus dijaga dan dirawat dengan baik. Namun, pola menjaga dan merawat anak di zaman sekarang agak berbeda dengan zaman dulu. Pada tahun 70an anak-anak masih kental dengan permainan tradisional seperti, gatrik, paciwit-ciwit lutung, oray-orayan dan loncat tinggi. Dari permainan tersebut muncul nilai-nilai positif seperti simpati, empati, kebersamaan dan juga toleransi sehingga mereka mudah diarahkan oleh orang tua maupun ustad pengajian di lingkungan mereka.
Namun, anak zaman sekarang yang lebih dikenal dengan kaum milenial, mereka lebih mengenal tekhnologi dan informasi. Setiap saat mereka akrab dengan dunia digital sehingga tidak heran apabila mereka mengenal Facebook, Instagram, Twitter, Teleghram, Tik tok, youtube lebih luasnya berupa game seperti Free Fire, Mobile Legend, Fortnite, Minecraft dan Flayer Unknown’s Battlegrounds (PUBG). Kondisi seperti ini sedikit banyaknya mempengaruhi sifat dan prilaku mereka. Maka munculah sifat individualis, kurang peduli dengan lingkungan sekitar, cepat puas dengan sesuatu yang didapat, terkadang sebagian anak emosinya tidak terkendali serta etika terhadap orang tua mulai luntur.
Mendidik kaum milenial tantangannya luar biasa. Selain kita harus bisa mengimbangi mereka dengan mempelajari tekhnologi, juga harus lebih bijak dalam memberikan arahan atau larangan kepada mereka. Anak-anak usia SMP termasuk kaum milenial. Dan masa tersebut sering disebut masa peralihan dari masa anak-anak menuju remaja. Banyak perubahan yang dialaminya mulai dari fisik hingga psikis.
Dengan perubaan itu dibutuhkan bimbingan, arahan dan kasih sayang yang tepat. Karena jika salah dalam penanganan maka akan berakibat fatal untuk masa depan mereka. Oleh karena itu kekhawatiran orang tua yang memiliki anak diusia tersebut begitu tinggi, sehingga sejak dini mereka mencari lembaga pendidikan yang bisa menjamin masa depannya. Salah satu lembaga pendidikan terbaik saat ini dalam penanganan anak-anak adalah Pondok Pesantren. Alasannya yaitu pola asuh yang diterapkan dipesantren lebih lengkap, terncana dan disiplin.
Di pesantren, anak-anak tidak diizinkan membawa HP. Apabila ada kebutuhan yang mendesak untuk berkomunikasi bisa dibantu oleh ustad dan ustadzah. Pesantren juga menyediakan fasilitas laboratorium komputer yang sudah tersambung dengan jaringan internet. Sewaktu-waktu mereka bisa memanfaatkannya dengan bimbingan dan pengawasan kepala laboratorium. Hal ini dimaksudkan agar mereka tetap memiliki bekal teknologi yang cukup, karena 20 tahun ke depan mereka akan hidup pada zamannya. Di pesantren juga selalu mengedepankan kasih sayang dan perhatian dengan tidak menghilangkan potensi yang dimiliki anak-anak.
Berkaitan dengan pola asuh, Ummi Hj.Yeni Fitriyani, M.Pd.I. menjelaskan bahwa setidaknya ada 6 poin penting yang diterapkan di pesantren. Pertama, Kemandirian (berdikari). Semenjak santri tinggal di pesantren sudah ditanamkan untuk mandiri, mulai dari menyiapkan pakaian, buku-buku, peralatan mandi, peralatan sholat, makan, minum dan kebutuhan yang lain. Kemandirian ini sangat penting untuk bekal mereka dikemudian hari. Memang untuk menanamkan dan membiasakan kemandirian membutuhkan proses yang panjang serta kesabaran yang tidak pernah putus. Hal ini sesuai dengan Panca Jiwa Pondok Pesantren : Keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian (berdikari), jiwa ukhuwah islamiah dan berfikiran bebas.
Kedua, kejujuran. Jujur laksana mata uang yang berlaku dimana-mana. Seseorang yang memiliki sifat jujur akan mulia dihadapan Allah SWT serta mendapat kepercayaan dari siapapun. Kejujuran sangat dijunjung tinggi di pesantren. Jujur dalam ucapan maupun dalam perbuatan. Seperti seorang santri yang kehabisan uang jajan, kemudian meminta kepada orang tua dengan jumlah yang semestinya tidak boleh dilebihkan. Kecuali apabila ada uang lebih dari saudara-saudaranya sebagai bentuk kasih sayang dan bisa dititipkan kepada ustad dan ustdazah pembimbing.
Kemudian, seorang santri juga diajarkan untuk tidak meminta apapun kepada teman kecuali dikasih, karena meminta dikhawatirkan akan tumbuh menjadi orang yang peminta-minta. Bahkan yang dianjurkan adalah memberi sekalipun hanya sedikit. Hal ini sesuai dengan hadist nabi : “Al yaddul ‘ulya khoirum minal yaddi sufla”. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. (HR. Muslim).
Ketiga, tanggung jawab. Tanggung jawab adalah salah satu sifat mahmudah yang harus dimiliki oleh para santri. Orang yang memiliki sifat ini adalah calon pemimpin besar. Serorang santri yang bertanggung jawab tidak takut dengan resiko yang akan ia temui. Orangnya teguh, jiwanya tak mudah goyah, meskipun beban berat ada dipundaknya. Ia tetap berdiri dan memikulnya ia kuat dan bijaksana. Seorang santri yang bertanggung jawab memiliki pribadi yang mengesankan.
Tanggung jawab sebagai anak untuk belajar di pesantren, harus betul-betul dijaga dengan baik. Tanggung jawab sebagai santri yang akan mendapatkan bimbingan dan arahan dari para ustad juga harus dijalankan dengan baik. Bahkan termasuk tanggung jawab apabila melanggar tata tertib yang berlaku di pesantren juga harus diikuti dengan penuh keikhlasan. Santri harus mengakui kesalahan dan memperbaiki sikapnya dengan elegan. Seperti terlambat sholat berjamaah, terlambat masuk kelas, tidak mengerjakan PR dan sebagainya. Maka santri harus siap menerima konsekuensinya. Tentu sanksinya yang mendidik dan bermanfaat untuk masa depannya seperti menghafal al Quran atau al Hadist.
Keempat, hidup bersama. Para santri yang tinggal di pesantren akan bertemu dengan teman-temanya yang beragam karakter. Ada yang memiliki sifat pemalu, agresif, manja, penakut, supel, mudah tersinggung serta berbagai karakter lain. Namun mereka harus bisa hidup rukun dan saling menghargai dalam berbagai hal. Semisal apabila ada diantara mereka yang sakit, maka teman yang lain harus segera memberikan bantuan dan perhatian kepada teman yang sakit tersebut. Dengan kata lain harus saling membantu dan meringankan beban orang lain karena kita adalah saudara. Seperti firman Allah dalam Al-Quran : Innamal mu’minuna ikhwatun. Artinya : “Sesungguhnya seorang mu’min dengan mu’min yang lain adalah saudara.” (Q.S. Al Hujurot : 10)
Kelima, ikhlas. Kata ikhlas mudah diucapkan namun sulit dilaksanakan. Membutuhkan latihan dan kelapangan dada. Termasuk bagi orang tua yang menitipkan putra-putrinya di pesantren. Ikhlas dalam melepasnya akan mempengaruhi psikologis anak untuk kerasan tinggal di pesantren. Orang tua sebaiknya menghindari pertanyaan yang membuat anak bingung. Misalnya, di pesantren itu enak tidak?, di pesantren itu menu makanannya bergizi atau tidak?, di pesantren itu teman-temannya perhatian atau tidak?.
Memang kalau dibandingkan dengan di rumah, di pesantren tidak akan senyaman di rumah. Mungkin saja di rumah serba ada, serba boleh juga dengan aturan yang sulit diterapkan. Namun di pesantren sudah diprogramkan dengan tertib dan disiplin. Orang tua cukup memberikan motivasi kepada putra-putrinya untuk kuat tinggal dan belajar di pesantren agar dikemudian hari bisa mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan.
Ikhlaspun bisa dengan cara menurunkan ego. Misalnya, anaknya kehilangan sendal padahal baru saja dibelikan. Kalau menuruti emosi kita akan mengatakan, “Ko sendal bisa hilang? bukankah di pesantren diajarkan untuk tidak mengambil hak orang lain?.” Dalam hal ini sebaiknya kita mengatakan, “Semoga dengan hilangnya sendal bisa menjadi ladang pahala dan sendalnya bermanfaat.” Selanjutnya orang tua memberikan motivasi kepada anak-anak untuk lebih hati-hati lagi.
Keenam, ikhtiar dan doa. Doa itu mukhul ibadah, doa adalah kekuatan. Ia sebagai umpan untuk mengail pertologan Allah SWT. Doa adalah harapan suci yang bersumber dari kelemahan. Doa adalah cinta kepada Allah SWT. Orang tua yang menitipkan putra-putrinya di pesantren tentu tidak lepas dengan iringan doa. Setiap saat dan kesempatan selalu mendoakan untuk kebaikan putra-putrinya.
Pemateripun memberikan bekal kepada orang tua agar mendawamkan membaca surat al fatihah 41 kali dan diperkuat dengan Iyyakana’budu waiyyakanstain 11 kali setelah shalat maghrib. Kemudian berdoa dengan kalimat dibawah ini : “Ya Allah, kami titipkan putra-putri kami di pesantren. Sholehkan dan cerdaskan mereka !. Kami pasrahkan semuanya kepada-Mu”.
Itulah enam nilai-nilai pendidikan sebagai pola asuh di pesantren yang selalu ditanamkan kepada para santri dengan landasan al-Quran dan al Hadits. Dengan nilai-nilai tersebut seorang santri diharapkan menjadi manusia yang berguna. Karena mereka adalah harapan orang tua juga tulang punggung majunya bangsa dan negara. (*)