Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Merawat Indonesia”
SELURUH syariat atau ajaran Islam adalah panduan mulia dan unggul. Hal ini sangat wajar, sebab agama ini adalah milik Allah yang diperuntukan bagi umat manusia yang Ia ciptakan. Kesadaran akan keunggulan agama ini menjadi sebuah keniscayaan bagi kita agar selalu dalam jalan yang benar: diridhoi dan diberkahi oleh Allah.
Allah pun berfirman,
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali ‘Imran: 19)
Dengan demikian, kewajiban yang terus berlanjut dari generasi ke generasi umat ini adalah menjalankan syariat Islam, sehingga terbentuknya masyarakat yang islami atau peradaban yang islami. Dari generasi sahabat, setelah mereka hingga beberapa abad silam, umat Islam yang dipimpinan para ulama yang soleh telah menjalankan peran jenial, sehingga kini Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas umat manusia di dunia.
Bila membaca perjalanan sejarah bangsa kita ini juga demikian. Para ulama atau generasi awal negeri ini, sejak abad 13 bahkan sebagian sejarahwan menyampaikan sejak abad 7, sudah menjalankan tugas sejarahnya sebagai da’i, di samping pekerjaan mereka yang sifatnya sebagai penunjang dakwah yaitu berdagang, bertani dan sebagainya. Sehingga dapatkan dikatakan bahwa generasi awal bangsa ini adalah generasi pejuang. Mereka berkorban banyak hal demi tegaknya Islam, sehingga semakin banyak manusia animis yang kembali ke fitrahnya yang suci yaitu Islam.
Bila membaca skema Ibnu Khaldun, sejatinya sejarah negeri ini mencakup tiga skema yaitu generasi pendobrak, generasi pembangun dan generasi perusak. Bila generasi awal dan setelahnya telah menjalankan peranannya dengan baik bahkan sukses, maka generasi sekarang malah terjebak pada peran yang mengkhawatirkan. Bahkan sebagiannya terjangkit virus berbahaya: permisif, yang berujung pada lembah kerusakan. Generasi kita pun dihinakan oleh peradaban digital yang serba boleh, mudah dan bebas.
Namun demikian, kita memiliki instrumen dasar sekaligus sumber nilai yang mengilhami kita untuk selalu optimis, percaya diri dan berbenah diri agar berperan lebih nyata pada upaya membangun peradaban islami di negeri ini, kini dan ke depan. Bagaimana pun, selama setiap kita masih memiliki iman dan kesadaran untuk berperan maka sangat mungkin perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik dan maju itu bakal terjadi.
Allah berfirman dalam QS. Ar-Ra’du ayat 11,
لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ
“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Dalam surat lain Allah berfirman,
اِنْ يَّمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهٗ ۗوَتِلْكَ الْاَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِۚ وَلِيَعْلَمَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاۤءَ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَۙ
“Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang zalim.” (QS. Ali ‘Imran: 140)
Bahwa silih bergantinya dominasi nilai pada setiap peradaban adalah sunah Allah. Bahkan kehancuran dan kekayaan peradaban itu merupakan sejarah yang akan terus berulang. Allah bahkan membangun optimisme umat ini tentang apa yang dialaminya pada peperangan yang sudah terjadi pada generasi awal mereka dulu. Bila pada perang Uhud kita luka, maka sesungguhnya pada perang Badar mereka atau musuh Allah itu yang luka.
Dr. Yusuf Qardhawi dan Dr. Hamid Al-Ghazali menjelaskan bahwa peradaban islami bakal terwujud manakala terpenuhinya beberapa syarat, yaitu: (1) ulama yang alim, bijak dan soleh. (2) pemimpin yang adil, teladan dan dirindukan. (3) pusat ilmu atau pendidikan, ekonomi, dan aspek lainnya yang bermanfaat. (4) masyarakat nyaman beribadah, sejahtera secara ekonomi dan aman dari berbagai gangguan.
Apa yang diungkap oleh kedua tokoh tersebut sangat relevan, bahkan sudah menjadi kesepakatan para pendiri negara ini. Bahwa bagi sebuah negara mesti memiliki tujuan yang jelas dan mulia. Tujuan kita bernegara tertulis dalam pembukaan UUD 1945: (a) melindungi segenap bangsa, (b) memajukan kesejahteraan umum, (c) mencerdaskan kehidupan bangsa dan (4) ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Tujuan semacam itu, berpijak dan tergambarkan dalam surat al-Qurais ayat 1-4, yang terjemahannya: 1. “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, 2. (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas, 3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka‘bah), 4. yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.”
Namun demikian, kunci dari semua itu adalah tegaknya syariat. Bila ajaran Allah tegak maka akan dengan mudah bagi kita untuk menjalankan berbagai peran kemanusiaan dengan cara yang benar pula. Kehancuran peradaban Barat selama sekian waktu terakhir ini sejatinya menjadi pelajaran berharga bagi kita bahwa peradaban yang dibangun di atas materialisme tidak akan mampu bertahan lama, tidak mampu membangun dan memajukan peradaban; sebaliknya malah menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. (*)