Oleh: Syamsudin Kadir
Kontributor buku “Aku, Dia & Cinta”
ALHAMDULILLAH, saya sangat bersyukur kepada Allah karena setelah 6 bulan menanti akhirnya buku “Aku, Dia & Cinta” terbit juga. Buku setebal 148 halaman ini merupakan antologi atau bunga rampai tulisan dari audisi kepenulisan yang diikuti oleh sekitar 60-an penulis pada Agustus hingga November 2022 lalu. Dan yang terpilih hanya 24 tulisan. Audisi ini sendiri diadakan secara terbuka dengan biaya gratis, dalam rangka wujud syukur kepada Allah atas usia saya yang kala itu genap 39 tahun.
Pada 8 Agustus 2023 nanti, dalam hitungan tahun masehi usia saya genap 40 tahun. Usia yang mestinya benar-benar matang dalam banyak hal. Namun faktanya, saya belum matang, benar-benar masih bau kencur. Masih suka cengeng dan bermain ala anak-anak. Bukan hanya karena saya memang suka dengan situasi masa kecil di kampung, tapi saya memang lebih banyak bergaul dengan kalangan muda yang akrab dengan diksi cinta. Entah yang mereka maksud benar-benar cinta sejati, atau sekadar cinta hambur kata-kata.
Hadirnya buku yang ditulis oleh 24 penulis dari berbagai kota di seluruh Indonesia ini merupakan sebuah anugerah yang tak bisa dihitung angka bagi perjalanan hidup saya. Saya benar-benar tangis haru. Walaupun para penulis tidak menulis tentang saya, namun apa yang mereka torehkan mengandung banyak inspirasi dan motivasi bagi kehidupan saya. Ternyata apa yang saya alami tak seberapa bila dibandingkan apa yang mereka alami dalam membangun dan mengokohkan cinta dengan si dia yang dicinta. Cinta saya pun tidak seberapa. Mungkin sekadar…
Namun buku ini benar-benar sebuah kebanggaan bagi saya. Dari seluruh tulisan yang ada pada buku ini benar-benar menyadarkan saya betapa mencintai dan dicintai itu bukan pekerjaan sederhana. Ada banyak liku dan perjuangan yang dilalui, butuh tenaga bahkan air mata untuk menciptakan dan menjaganya. Saya pun menemukan begitu banyak pengalaman dan puzzle yang selama ini kerap dianggap remeh. Bahwa mencintai atau dicintai itu sangat dipengaruhi oleh kematangan diri, bahkan kejujuran nurani. Di sini juga ada sabar, telaten dan tahu diri.
Apalah lagi para penulis buku ini adalah para senior dan mereka yang berpengalaman dalam menjalani kehidupan dengan segala suka dukanya. Terutama ketika mereka menjalani kehidupan rumah tangga dengan sosok yang dicinta. Seru deru perjalanannya benar-benar membutuhkan kesabaran, kesyukuran dan cinta itu sendiri. Kedewasaan dan kerelaan untuk menerima si dia apa adanya adalah bentuk cinta yang terlihat paling sederhana namun substansinya istimewa. Mereka atau para penulisnya memang benar-benar pecinta sejati. Benar-benar mencintai si dia-nya tanpa titik atau batas akhir. Mabruk alfa mabruk.
Walau ada beberapa penulis yang masih menanti jalan takdir untuk bersua dengan si dia di momentum akad nikah, namun apa yang mereka tuliskan menjadi pemantik dan motivasi bagi saya untuk mengokohkan batu bata cinta yang telah tersusun selama ini. Saya pun semakin terdorong untuk terus belajar tentang bagaimana memelihara dan mengokohkan cinta sejati. Cinta yang tak hanya berbalut kata-kata manis, pujian ini itu dan tetek bengek lainnya, sebab cinta sejati mesti berwujud pada keridhoan untuk hidup bersama dalam kondisi apapun. Bila pun ada harapan namun takdir berbicara lain, tetap bersyukur karena Allah punya rencana terbaik. Sebab takdir Allah adalah yang terbaik.
Terima kasih kepada para penulis: Ade Chairil Anwar, Ade Solihat, Ainun Zaujah, Arwa Lubna, Rano I Sudra, Elka Safira Maulida, Eni Suhaeni, Enur Nurjanah, Evi Andriani, Herliani, Humairoh, Ikah Mudrikah, Intan Permata Sari, Kang Ajun, Maghfiroh, Muhammad Taufan Gemilang, Munawar Khalil N., M. Dzanuryadi, Nuim Hidayat, Nurlita, Nurul Hikmah, Shines de’Haira, dan Syahruddin Y.S. yang telah bersedia dan merelakan tulisannya untuk dimasukkan ke dalam buku ini. Semoga cerita, karya dan cintanya diberkahi oleh Zat Yang Maha Cinta, Allah!
Ya, kini buku ini sudah bisa kita nikmati bersama. Membaca, menikmati isinya dan membayangkan sekaligus menelisik penerawangan para penulisnya adalah pekerjaan kita selanjutnya. Saya layak menyampaikan terima kasih berkali-kali kepada para penulis yang tulus berbagi. Karena itulah yang membuat perjalanan hidup kita semakin bermakna, yaitu mau berbagi pengalaman dan mendengar dengan baik serta menemukan hikmah berharga dari pengalaman orang lain. Semoga tangis haru ini menjadi saksi betapa mencintai dan dicintai itu adalah pekerjaan mulia yang pasti terbalas dan beranak pinak. Salam hangat untuk semuanya, termasuk kepada mereka yang terus berbagi sekaligus memohon cinta dalam doa! (*)