Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis “Merawat Indonesia”
NAMA lengkapnya Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo. Populer dengan nama pena Hamka. Beliau adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan Indonesia, serta berkarir sebagai wartawan, penulis dan pendidik. Buya Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang dan meninggal pada 24 Juli 1981 di Jakarta. Istrinya adalah Siti Raham (m. 1929–1972) dan Siti Khadijah (m. 1973–1981).
Sementara anaknya adalah Irfan Hamka, Rusydi Hamka, Aliyah Hamka, Azizah Hamka, Amir Syakib, lainnya. (Sumber: Wikipedia)
Pada Sabtu 6 Mei 2023 siang saya bersama istri saya Eni Suhaeni dan ketiga anak kami: Azka Syakira, Bukhari Muhtadin dan Aisyah Humaira menghadiri acara nonton bareng atau bareng Film Buya Hamka yang inisiasi oleh KH. Nurhasan Zaidi (Ketua Umum DPP Persatuan Ummat Islam, PUI) di sebuah mall ternama di Kota Cirebon-Jawa Barat. Pada awalnya saya enggan karena mesti menuntaskan beberapa naskah buku yang segera terbit, namun hati saya selalu tergerak untuk hadir. Bagaimana pun, Buya Hamka adalah ulama kebanggaan Indonesia yang lahir dari rahim Muhammadiyah.
Saya menangkap beberapa kandungan atau pesan penting dari perjalanan hidup Buya Hamka. Pertama, pentingnya pendidikan keluarga. Di sini sangat terlihat bagaimana Buya Hamka menjalankan perannya sebagai kepala keluarga.
Hal ini beliau lakoni secara bersama-sama dengan istrinya, yang bukan saja menjadi teman seperjuangan tapi juga menjadi sahabat berbagi tentang dakwah, cinta dan perjuangan hidup. Istrinya pun begitu apik menjalankan perannya sebagai pendamping yang setia, baik ketika sang suami di rumah maupun ketika menjalankan tugas dakwah di luar rumah bahkan di berbagai tempat. Dalam kesederhanaan Buya Hamka dan istrinya sukses mendidik anak-anaknya menjadi generasi hebat dan membanggakan.
Kedua, perlunya tradisi baca dan tulis. Buya bukan saja dai kebanggaan dan pendidik hebat, tapi juga seorang penulis ulung. Peranannya dalam mencerahkan umat ditopang oleh dua tradisi yang sangat kokoh ia jalankan yaitu baca dan tulis.
Semangat menulis dibarengi dengan semangat membaca, telah membuat Buya Hamka hadir di tengah umat sebagai sosok ulama yang berpengetahuan dan berwawasan luas. Hal ini dibuktikan dengan ceramahnya di berbagai forum, juga tulisannya di berbagai majalah dan surat kabar, terutama Panji Masyarakat.
Tidak semua kita bersua dengan Buya Hamka, namun gagasan dan rekam jejaknya selalu terngiang di hati juga benak kita.
Ketiga, pentingnya mencari ilmu. Buya Hamka adalah sosok ulama yang harus akan berbagai mata ilmu.
Beliau hujan saja jago di bidang tafsir dan ilmu al-Quran, tapi juga ilmu fiqih, Ushul fiqih, sirah nabawiyah, bahasa Arab juga sastra, termasuk tasawuf. Bahkan berbagai ilmu sosial juga diperdalam oleh tokoh Muhammadiyah yang disegani dan dicintai oleh masyarakat Indonesia bahkan Melayu ini. Beliau pun dikenal sebagai sosok pecinta ilmu, yang mengorbankan seluruh potensinya untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
Baginya, mencari ilmu adalah kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. “Kebodohan adalah penjajahan terkejam dari segala macam perbudakan”, tegasnya.
Keempat, menjadi dai pejuang adalah keniscayaan. Buya Hamka bukan saja sosok teladan di dalam rumah, tapi juga di luar rumah. Beliau dicintai oleh umat Islam dan disegani oleh masyarakat non muslim.
Baginya, berdakwah adalah panggilan Allah, bukan untuk meraih jabatan dan materi dunia apapun. Mereka yang tergerak hati dan langkahnya untuk mendakwahkan Islam ke tengah masyarakat adalah orang-orang yang terpilih oleh Allah.
Dan, Buya Hamka memilih jalan itu. Satu jalan yang diliputi berbagai ujian dan kendala yang tak ringan, bahkan sangat melelahkan.
Walau awalnya ditentang oleh sebagian kalangan, Buya Hamka tetap berada pada jalur yang ia pilih: dakwah Islam, amar maruf nahyi mungkar. Beliau tegar dengan berbagai hinaan dan penolakan, sebab beliau sangat percaya bahwa Allah pasti menolong hamba-Nya yang berkorban dan bersungguh-sungguh memperjuangkan agama-Nya.
Beliau pun berperan dalam mengusir penjajah, bahkan melawan seluruh kesewenang-wenangan para penjajah pada umat Islam dan bangsa Indonesia. Begitulah teladan penting dari seorang pujangga sekaligus tokoh besar asal Sumatra Barat ini.
Kelima, bersabar dan bersyukur atas setiap keadaan. Buya Hamka tentu manusia biasa yang menghadapi berbagai ujian dan tantangan hidup. Beliau kerap meninggalkan rumah demi menjalankan dakwah di luar rumah, ke berbagai kota. Istri dan anaknya kerap dilanda sakit, membuat dirinya dilanda rasa rindu terus menerus. Namun beliau tetap yakin dan percaya bahwa Allah pasti menjaga keluarga kecilnya.
Beliau pun bersabar dan bersyukur karena Allah masih menguatkan diri juga keluarganya. Sangat wajar bila beliau mendapat amanah sebagai Ketua MUI pertama Indonesia. Alim dan bijaksana.
Buya Hamka adalah sosok hebat yang kita punya. Kita perlu bangga dengan sosok yang romantis, peduli, empati dan bijaksana ini. Kita layak banyak belajar kepada sosok yang gila ilmu yang dibuktikan dengan tradisi baca-tulisnya ini.
Muhammadiyah telah melahirkan seorang tokoh kebanggaan bagi umat Islam Indonesia juga dunia Melayu. Sebagai pribadi saya merinding ketika menelisik sosok yang sangat perasa, tegas dan berani mengatakan yang benar di hadapan siapapun ini.
Kita perlu banyak belajar kepada Buya Hamka, kita rindu padanya, ya pada keteladanan atau rekam jejaknya. Kita rindu sosok yang bukan saja dicintai oleh keluarga kecilnya, tapi juga oleh warga persyarikatan Muhammadiyah, umat Islam bahkan non muslim di berbagai tempat.
Sungguh, kita rindu dengan ulama yang ikhlas berjuang dan berdakwah serta tak tergoda jabatan juga materi dunia. Kita rindu pemimpin yang adil dan mencintai kita dengan tulus tanpa basa-basi. Semoga rahim berbagai ormas Islam dan lembaga pendidikan negeri ini terus melahirkan kembali Hamka muda atau Hamka baru di era ini dan nanti! (*)