Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Ikhtiar Merawat Indonesia”
ANIES Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subiyanto itu manusia biasa saja. Sama seperti kita juga yang jadi petani, tukang becak, pedagang sayur, pedagang bakso, penulis buku, guru, dosen, politisi, tukang survey, jurnalis dan apapun profesi dan latar sosialnya. Mereka bertiga atau mungkin tokoh lain nantinya hanya punya takdir didukung oleh partai politik untuk maju di pilpres 14 Februari 2024 mendatang. Ditambah lagi oleh dukungan para relawan lintas organisasi dan bentuk.
Kita boleh mendukung dan memilih salah satu dari ketiganya pada pilpres 14 Februari 2024 nanti. Itu hak setiap individu warga negara, ya setiap kita yang memiliki hak memilih. Walau begitu, jangan sampai membela mereka mati-matian dan berlebihan. Jangan sampai karena mendukung mereka secara keliru akhirnya merusak silaturahim dengan siapapun, termasuk keluarga, tetangga dan sahabat. Masa karena berbeda dukungan dan pilihan lalu silaturahim dan hubungan baik kita jadi rusak?
Toh nanti yang kalah bakal bergabung juga dengan yang menang. Itu sudah bukan rahasia lagi, itu sudah tabiat politisi di negeri ini selama sekian dasawarsa. Mungkin setelah pilpres 2024 ada yang mau beroposisi, namun bisa diduga bahwa semua partai politik bakal masuk atau bergabung pada kabinet pasangan capres yang menang. Karena partai politik punya agenda merebut kekuasaan. Kalau kalah ya minta jatah. Kalau menang ya bagi jatah. Sangat sederhana. Itu sudah hukum sekaligus tradisi politik para politisi bangsa ini.
Coba ingat kembali ketika pilpres 2014 dan 2019 silam. Dinamika politik terasa begitu tajam dan hangat. Setiap basis pendukung capres melakukan pembelaan pada pasangan capres dukungannya dengan berbagai cara. Secara hukum memang susah dibuktikan, namun penyebaran hoax terjadi begitu telanjang. Saling hina dan caci maki sudah menjadi tontonan gratis di berbagai laman media sosial. Lalu ujungnya, khususnya setelah pilpres 2019, para capres bersatu dalam satu koalisi. Pendukung dan relawan cuma bisa menggigit jari dan menelan ludah basi!
Sekali lagi, coba ingat fakta ini. Dulu pada pilpres 2014, Anies Baswedan adalah Koordinator Juru Bicara pasangan Jokowi-JK. Kelak ia pun masuk kabinet menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Lalu pada 2017 maju di pilkada Jakarta diusung oleh PKS dan Partai Gerindra. Prabowo Subiyanto adalah Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Pada 2014 dan 2019, Prabowo Subiyanto bertarung di pilpres melawan Jokowi. Belakangan, Mantan Danjen Kopasus ini bergabung ke dalam kekuasaan bahkan menjabat di kementrian paling istimewa dan “basah” yaitu Menteri Pertahanan. Pendukung dan relawan yang bersumbu pendek pun dibikin kesal dan marah.
Begitulah realitas politik Indonesia. Semuanya serba mungkin dan karena itu tidak perlu ditakar secara matematis. Suatu waktu menjadi lawan, suatu waktu lagi bisa menjadi kawan. Tak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan. Kawan dan lawan itu sebutan abadi yang maknanya tidak tinggal. Ia bisa berubah dalam segala situasi, apapun dinamika dan konteksnya. Oleh karena itu, pada pemilu 2024 terutama pada pilpres 2024, kita tak perlu mendukung dan membela tokoh atau capres secara membabi buta. Nanti mereka berpesta dan berbagi kue kekuasaan, kita malah sibuk saling hina dan caci maki. Itu namanya pendukung atau pembela yang dungu. Jadi, berpolitik itu kudu waras dan sewajarnya saja! (*)