Oleh: Vian S.
Penulis adalah Wartawan Tinggal di Muara Enim
AKU tidak tahu dari mana istilah ‘Kaum Tepi’ ini melekat di benakku, apa karena rumahku yang belum memiliki alamat jelas atau jalan menuju ke sana belum dilumuri aspal, atau karena aku terlalu sering minum kopi di tepian kebun milik orang lain, yang jelas istilah itu beberapa hari terakhir sedang keren bagiku.
Aku ingin mengawali tulisan ini dengan mengutip kalimat seorang penyair Jerman, Berthol Brecht, yang berujar tentang pandangannya terhadap dunia politik, penulis kelahiran Augsburg itu mengatakan bahwa buta yang terburuk adalah buta politik, orang itu tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.
Kebanyakan masyarakat menurutnya tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
Menurutnya orang buta politik begitu naif, sehingga mereka bangga dan membusungkan dadanya seraya
mengatakan bahwa dirinya membenci
politik. Orang ini tidak tahu bahwa dari
kebodohan politiknya lahir pelacur, anak
telantar, pencuri terburuk dari semua
pencuri, politisi buruk, dan rusaknya
perusahaan nasional serta multinasional
yang menguras kekayaan negeri.
Dua hari terakhir beberapa kawan muda
kerap ngopi di rumah, berkelakar panjang
tentang dunia politik yang kami semua
sebenarnya tidak ada yang memiliki hak
paten untuk berbicara tentang itu, hanya
saja malam semakin larut dan manis, kami berandai-andai tentang bagaimana
membumikan politik setelah apa yang
dibahasakan oleh Berthol tadi.
Istilah membumi sendiri cenderung memiliki makna yang baik dalam kehidupan sehari-hari, berlaku yang realistis dan masuk akal serta berusaha tetap duduk sama rendah atau berdiri sama tinggi, bahasa membumi ini erat kaitannya dengan kerendahhatian seseorang.
Di era pengetahuan ini sangat diperlukan
upaya pembumian politik untuk
membenamkan stigma buruk tentang politik itu di tengah-tengah masyarakat, untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik.
Sementara untuk melaksanakan proses
panjang pembumian itu, diperlukan
netralitas ruang publik untuk penyampaian ide, gagasan, pemikiran dan keresahan serta keputusan yang dapat mempengaruhi kehiduparn masyarakat.
Hingga semua warga negara, kaum tepi dan tengah paham bahwa biaya melahirkan istrinya serta pertumbuhan anaknya hingga harga susu yang dibahas Berthol tadi ditentukan oleh berbagai kebijakan politik.
Jangan sampai generasi mendatang
menerima kehancuran karena sikap
generasi hari ini yang memilih apatis
terhadap aktivitas politik, mudah merasa
jenuh dan menyerah, sehingga kebenaran
bukan tidak mendapatkan posisinya
melainkan masyarakat yang memperjuangkan kebenaran itu menyerah sebelum melakukan apa-apa.
Pemikiran Machiavelisme dalam sudut
pandang lain dianggap sebagai salah satu penyebab hilangnya moralitas politik, namun menjadi bijak dalam menyikapi pandangan politik Machiaveli tidaklah salah, perhatikan semua faktor di sekelilingnya saat ia menulis, dia tidak menulis di tengah padang bunga atau mulut hutan yang diselimuti kabut namun ditengah perang dan rangkaian panjang penindasan.
Masyarakat harus sepakat menilai bahwa
Politik merupakan seni karena melibatkan keterampilan, strategi, dan kecerdasan dalam mempengaruhi, memobilisasi, dan memimpin masyarakat.
Dalam arti sempit, politik mengacu pada proses pembuatan keputusan yang terkait dengan pengaturan dan penggunaan kekuasaan dalam suatu masyarakat.
Dalam konteks ini, politik sering dikaitkan
dengan kegiatan-kegiatan yang terjadi di
lembaga-lembaga pemerintahan, seperti
parlemen, partai politik, dan pemilihan
umum. Arti sempit politik fokus pada aspek formal dan institusional dari proses politik, termasuk pembuatan undang-undang, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kebijakan.
Kita ketahui bersama bahwa politik
melibatkan banyak isu, seperti keadilan
sosial, kesetaraan gender, HAM, perlindungan lingkungan, kesejahteraan
ekonomi, dan yang lainnya. Ini menekankan pentingnya kesadaran politik individu dan partisipasi aktif dalam upaya untuk menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.
lsu-isu inilah yang terkadang mengaburkan makna politik, sehingga masyarakat sering mengartikan (stigma) politik sebagai kegiatan yang kotor, perkumpulan orang-orang serakah, gila jabatan, dan munafik. Padahal, pada dasarnya politik itu baik dan mulia karena dengan keputusan politik yang baik bisa menghasilkan produk (politik) yang baik juga. Politik juga penting karena segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh keputusan politik.
Kita sebagai kaum tepi harus terus
berupaya menciptakan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat, jika tidak ada ruang untuk aspirasi kita, bangunlah ruang itu secara mandiri, jika politik itu membuat kita gelisah, berusahalah menenangkan diri.
Pendidikan politik perlu diberikan kepada
kaum kita, hal ini merupakan langkah awal yang penting. melalui diskusi kecil di pekarangan rumah, di bawah batang-bayang kopi, di tengah sawah, di bawah tengkiang dan dimana saja, secara
tidak langsung sudah memberikan
pendidikan politik.
Tujuan diskusi itu adalah untuk
meningkatkan pemahaman pemahaman
kita tentang politik itu sendiri, serta
prinsip-prinsip demokrasi, hak dan
kewajiban warga negara, proses politik
serta isu-isu yang relevan.
Kaum Tepi tidak bisa membenci sesuatu
hanya karena sebagian orang benci, atau
mencintai sesuatu hanya karena sebagian orang mencintai, orang-orang berhamburan ketepian mencari ketenangan diri, ketenangan tidak diraih dengan pelarian, karena di tepian sini sudah tidak ada lagi jalan lain selain berhadap-hadapan, jalan terbaik adalah dengan mempersiapkan diri. (*)