Oleh: H. Daddy Rohanady
Wakil Ketua Pansus Pembinaan dan Pengawasan Jasa Konstruksi
DPRD Provinsi Jawa Barat
PROVINSI Jawa Barat sejak dipimpin Gubernur Ahmad Heryawan telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Jasa Konstruksi. Perda tersebut berlandaskan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.
Jasa konstruksi merupakan kegiatan strategis dalam mewujudkan bangunan yang berfungsi sebagai pendukung atau prasarana aktivitas sosial ekonomi kemasyarakatan guna terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Namun, di sisi lain, penyelenggaraan jasa konstruksi juga harus menjamin ketertiban dan kepastian hukum.
Lahirnya perda tentang jasa konstruksi di Jabar sangatlah wajar dan ditunggu oleh banyak pihak, baik penyedia jasa kontruksi itu sendiri maupun Pemerintah Daerah –termasuk kabupaten/kota . Hal ini berkaitan dengan luasnya wilayah dan jumlah penduduk Jabar. Dengan kondisi seperti itu, ditambah letak geografis Jabar yang berhimpitan dengan Ibu Kota Negara, yakni Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, kehadiran perda seperti itu menjadi sebuah tuntutan yang sangat logis dan realistis.
Kehadiran perda jasa konstruksi tentu saja sangat diperlukan mengingat pasti banyak jasa konstruksi yang dibutuhkan di wilayah Jabar. Sesuai dengan namanya, Perda Jasa Konstruksi menjadi payung hukum untuk kelancaran pelaksanaan jasa konstruksi. Seiring berjalannya waktu, terbit aturan perundang-undangan baru. Tentu saja dibutuhkan penyesuaian di sana-sini.
Titik tekan utama perda tersebut adalah pada Pembinaan dan Pengawasan Jasa Konstruksi yang bertujuan untuk:
a. menjamin tata kelola penyelenggaraan pelatihan tenaga ahli konstruksi dan penyelenggaraan sistem informasi jasa konstruksi yang baik;
b. mewujudkan peningkatan pembinaan masyarakat jasa konstruksi;
c. mewujudkan pemenuhan persyaratan dan tertib usaha jasa konstruksi, tertib penyelenggaraan jasa konstruksi, dan tertib pemanfaatan produk jasa konstruksi;
d. mewujudkan ketertiban penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam menjalankan hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. menata sistem Jasa Konstruksi yang mampu mewujudkan keselamatan publik dan menciptakan kenyamanan lingkungan terbangun;
f. mewujudkan peningkatan partisipasi masyarakat di bidang Jasa Konstruksi; dan
g. menjadi pedoman dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan jasa konstruksi
Itu baru sebagian kecil cuplikan dari rancangan perda (ranperda) Jasa Konstruksi. Memang, Perda Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Jasa Konstruksi perlu direvisi. Hal ini berkaitan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi.
Namun, karena perubahan yang ada lebih dari 60 persen, konsekwensinya dibutuhkan perda baru. Adapun ranperda hasil penyesuaian dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada terdiri dari XII Bab dan 61 Pasal. Judulnya pun disesuaikan menjadi Pembinaan dan Pengawasan Jasa Konstruksi.
Dalam perjalanan, ternyata terbit lagi peraturan baru yang –mau tidak mau– harus diikuti. Itulah Peraturan Menteri PUPR Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Tentang Pedoman Pengawasan Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Yang Dilaksanakan Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, Dan Kota. Jadi, hasil penyesuaian itu pun perlu disesuaikan kembali.
Sebagai catatan tambahan, sejatinya setelah tercapai kesepakatan bersama antara Guernur dengan DPRD, besoknya seungguhnya lelang bisa dilakukan. Memang, penandatanganan kontrak dengan pemegang lelang baru bisa dilakukan setelah evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri diterima oleh Pemprov.
Jika langkah ini dilakukan, sesungguhnya pasti terjadi penghematan dalam hal waktu. Artinya, tidak ada lagi alasan kepepet pengerjaannya. Selain itu, dibutuhkan koordinasi antara OPD terkait dengan Biro Pengadaan Barang dan Jasa (Biro Barjas). OPD terkait harus mepersiapkan berkas pelelangan sebelum “ketok palu” APBD. Biro Barjas juga harus secepatnya melakukan pengumuman pelelangan. Artinya, dibutuhkan perencanaan yang baik. Namun demikian, itu semua membutuhkan komitmen semua pihak.
Masih ada lagi hal lain yang harus dicermati. Semua pihak harus menjalankan tupoksinya dengan baik, baik OPD yang membutuhkan jasa konstruksi maupun penyedia jasa konstuksi itu sendiri. Bukankah kualitas pekerjaan, umur rencana teknis, dan hal-hal lainnya harus menjadi rujukan. Hal itu pasti berkaitan dengan spesifikasi teknis juga. Belum lagi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis yang juga harus dilengkapi. Intinya, jangan sampai uang rakyat terpakai tidak maksimal.
Terkait penawaran harga, ada pula hal yang harus dicermati. Rujukan terkait hal itu memang Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Meskipun Pasal 39 Perpres 12/2021 pada ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa Metode evaluasi penawaran Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dilakukan dengan: a. Sistem Nilai; b. Penilaian Biaya Selama Umur Ekonomis; atau c. Harga Terendah, kiranya kualitas tidak boleh dikorbankan. Sekali lagi, dibutuhkan komitmen semua pihak. Jangan sampai pada akhirnya justru yang berlaku “pengawas justru harus diawasi”.
Belum lagi dibutuhkan solusi jitu jika terjadi “bangunan gagal”. Apa konsekwensi kepada para pihak, siapa berhak melakukan apa, dan beberapa hal harus diatur dengan jelas sehingga tidak timbul masalah yang tidak diinginkan bersama.
Jika setiap jasa konstruksi dalam semua tahapannya berjalan secara ideal, tidak akan muncul catatan kritis pada setiap Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) yang diterima setiap tahun. Bukankah itu juga keinginan setiap pelaksana pemerintahan? Semoga Pansus VI Provinsi Jawa Barat yang membahas Ranperda Pembinaan dan Pengawasan Jasa Konstruksi bekerja lebih maksimal sehingga pembangunan di Jawa Barat menjadi lebih optimal. (*)