Oleh: Siprianus Ampur
Guru SMAN 1 Mbeliling, Manggarai Barat, NTT
DARI kampung Todo, Manggarai, NTT yang tenang, cerita kehidupan petani menyatu erat dalam hari-hariku bersama ayah, Belasius sapaan kesayanganku. Pagi-pagi, kami berdua berangkat ke ladang yang dihiasi hijaunya sawah terasering. Ayah, seorang petani bijak dari kampung Todo, Manggarai, mengajari aku setiap rahasia tanah ini.
Bertani di kampung Todo bukan hanya pekerjaan, tapi sebentuk kehidupan. Kami menyusuri tanah yang subur, merasakan sentuhan lembut lumpur di kaki. Ayah mengenalkanku pada budaya dan tradisi petani lokal, dari cara menanam padi hingga upacara adat di atas tanah sebagai sumber kehidupan.
Di antara suara gemericik air dan kicau burung, kami membangun keakraban yang melekat. Ayah memberi tahu aku kisah-kisah leluhur, yang dengan sederhana hidup dalam keharmonisan dengan alam. Setiap kali menjelang panen, terdengar lagu-lagu tradisional Manggarai yang mengiringi langkah-langkah kami di tengah sawah.
Pada malam hari, di bawah langit bintang Manggarai, ayah bercerita tentang sejarah kampung Todo, mengungkapkan keunikan dan keindahan warisan nenek moyang. Kedekatan ini bukan hanya tentang bertani, tetapi juga tentang mewarisi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.
Di suatu desa yang hijau subur, aku tumbuh bersama ayah, seorang petani yang gigih. Tiap pagi, sebelum matahari bersinar, aku menyusuri ladang bersama ayah. Beliau mengajarkan padaku rahasia tanah dan langit, bagaimana mencintai bumi yang memberikan hidup.
Di antara riakan air selokan tanah, tercipta kedekatan yang mendalam. Aku belajar memegang cangkul, menyemai benih, dan merawat tanaman dengan penuh kasih. Ayah selalu menyemai nilai kesabaran, keuletan, dan kegigihan.
Saat hujan turun, kami berdua berteduh di gubuk kecil. Di sana, ayah bercerita tentang perjuangan hidupnya, tentang masa sulit dan kebahagiaan sederhana. Setiap kata-katanya menanamkan biji kebijaksanaan dalam hatiku.
Pada setiap panen, senyum bangga menghiasi wajah ayah. Bersama-sama, kami merayakan hasil kerja keras dan menatap masa depan dengan harapan. Kedekatan ini bukan hanya sebatas hubungan ayah dan anak, tetapi juga ikatan dengan tanah dan alam.
Melalui perjalanan ini, ayah mengajarkan bahwa kehidupan seperti tanah yang perlu kita olah dengan cinta dan kesabaran. Kini, setiap kali melihat sawah yang subur, aku merasa kedekatan itu hidup dalam setiap hela napasku, sebagai warisan dari seorang ayah petani yang penuh kasih. Kisah kami kerap mengadu dengan alam.
Di bawah langit malam yang gelap, aku dan ayah beradu tenaga untuk mengairi sawah di desa kami. Sinar bulan bersiluet di antara pohon-pohon, menciptakan bayangan yang menggerak-gerak seiring langkah-langkah kami. Ocehan bunyi kodok pada malam hari menjadi orkestra gratis membunuh sepinya alam.
Air dari kali kecil mengalir melalui saluran-saluran irigasi, memberi kehidupan pada setiap rumpun padi. Ayah, dengan cangkulnya, mengatur aliran air dengan penuh keahlian. Aku mengikuti jejaknya, mencoba memahami keahlian yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada malam itu, obrolan ringan tercipta di antara suara gemericik air. Ayah bercerita tentang perjuangan hidupnya, bagaimana dia dan generasi sebelumnya telah memelihara tanah ini. Setiap kata-katanya terasa seperti tetesan air yang mengalir membasahi akar kehidupan kami.
Kegelapan malam tidak menyurutkan semangat kami. Kami terus bekerja, mengairi sawah dengan penuh ketekunan. Ayah mengajarkan betapa pentingnya menjaga tanah, bagaimana kehidupan kami terkait erat dengan pertanian yang menjadi mata pencaharian dan warisan keluarga.
Saat air menyapu tanah, dan bulan menyaksikan perjalanan kami, terasa keakraban yang terukir dalam upaya bersama. Adalah malam-malam seperti ini yang membuat hubungan aku dengan ayah tak terlupakan, melalui suara alam yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup petani di desa kami.
Melalui petualangan di tanah Todo Manggarai, aku belajar bahwa kehidupan adalah sebuah siklus. Seperti padi yang tumbuh dari tanah, aku tumbuh bersama pelajaran hidup dari ayah. Kini, setiap kali melihat keindahan ladang hijau Manggarai, aku merasa terhubung. (*)