Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Aku, Dia & Cinta”
“ALHAMDULILLAH sudah sampai di Cirebon subuh tadi. Ustadz, tolong saya diberi alamatnya, nanti siang silaturahim ke sini diantar teman. Bisa dishare lokasinya. Terima kasih. Wassalam.” Begitu pesan WhatsApp Pak Eko Setyo Budi yang masuk ke nomor WhatsApp saya pada Sabtu 6 Januari 2024 pukul 06.13 WIB.
Tak menunggu lama, saya pun menjawab dan mengabarkan alamat tempat kami untuk bersua sesuai jadwal yang disepakati. Ya, pada pukul 13.00 WIB, saya dan anak saya yang kedua, Bukhari Muhtadin, langsung meluncur ke Maffed Kafe di Jl. Evakuasi, Kota Cirebon, Jawa Barat. Jarak rumah saya dan lokasinya cukup dekat, perjalanan hanya membutuhkan waktu sekira 10 menit.
Sesampainya di lokasi saya sudah didahului oleh Mas Very Wahyudi, teman saya di dunia literasi selama sedekade terakhir, yang sengaja saya ajak untuk hadir pada pertemuan kali ini. Saya sengaja mengajak sosok ini, sebab ia asli Cirebon dan menekuni dunia kepenulisan sejak lama. Baik saat nyantri di Pondok Pesantren Al-Amin di Madura, Jawa Timur maupun saat menempuh pendidikan tinggi di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Cirebon, bahkan hingga saat ini. Untuk tamu saya pun ternyata sudah duduk di kursi semeja dengan Mas Very. Pak Eko, demikian akrab saya sapa kala berkomunikasi melalui melalui WhatsApp dan media online, ditemani oleh teman lamanya di Cirebon, namanya Pak Ali.
Bagi saya, bertemu dengan Pak Eko merupakan sebuah anugerah. Bagaimana pun, walau perkenalan saya dengan beliau terbilang baru, karena memang berkenalan sekira bulan Oktober 2023 lalu. Seingat saya kami berkenalan pada momentum saya mengadakan audisi penulisan buku “Santri Negarwan” yang terbit dan di-laucnging pada momentum Hari Santri Nasional 22 Oktober 2023 lalu. Pada buku setebal 178 halaman ini Pak Eko menyumbangkan sebuah artikel berjudul “Mewujudkan Santri yang Beradab”, yang tertuang pada halaman 30-34.
Di sela-sela perbincangan selama 70 menit yang dimulai pukul 13.35 hingga pukul 14.45 WIB, Pak Eko menyempatkan untuk berbagi tips, motivasi dan pengalaman menulis. Hal ini sangat wajar, sebab dirinya merasa “nyambung” bertemu dengan saya dan Mas Very yang memang punya ketertarikan yang sama dengan dunia kepenulisan. Menurut penulis buku “Jangan Bersikap Sombong” (September 2023) dan “Mengenal Jati Diri Manusia” (November 2023) ini, dirinya sudah mulai menekuni dunia kepenulisan sejak 2021lalu, setelah dirinya pensiun dari sebuah dinas. Adapun bukunya mulai terbit sejak 2022 lalu, kemudian berlanjut hingga kini.
Pada kesempatan ini Pak Eko menyebutkan beberapa alasan yang membuatnya selalu tertarik dan tergerak untuk menulis, baik artikel maupun buku. Pertama, amal jariyah. Menurutnya, usia manusia di dunia sangat terbatas. Setiap yang lahir pasti menemui ajal kematian. Dengan menulis buku, kita bisa abadi, bahkan bisa menambah amal jariyah kita.“Semuanya bakal berakhir. Diantara yang abadi adalah karya tulis. Saya menulis karena ingin menambah amal jariyah,” ungkapnya dengan penuh optimis.
Kedua, mencicil sejarah. Baginya, setiap yang terlahir pasti berakhir. Sebagai anak cucu Adam kita memiliki tugas untuk mencicil sejarah, minimal untuk diri kita sendiri. Tanpa karya tulis, tak ada yang bisa dikenang oleh anak cucu. Karena itu, kita mesti punya ketertarikan dan mesti menulis buku. “Kita ingin anak cucu kita beradab. Termasuk punya kesan tentang kita minimal dalam dalam bentuk karya tulis. Kita mesti berupaya untuk menulis. Saya sendiri akan berupaya untuk itu, terutama setelah pension ini,” ungkapnya.
Ketiga, membangun citra diri. Hampir semua penulis pasti dikenal orang. Itu adalah citra diri. Kita ingin agar dengan menulis buku kita bisa dikenal orang dan citra kita semakin baik. Walaupun buku kita tidak seterkenal banyak buku para penulis ternama di luar sana, tapi dengan menulis buku minimal nama baik kita dikenal sebagian pembaca. “Buku dapat menjadi media membangun branding diri kita. Makanya menulis terus menrus, jangan sampai berhenti!,” tegasnya.
Kunjungan Pak Eko ke Cirebon memang cukup mendadak dan tergolong tak lama. Walau begitu, pertemuan sesaat kali ini mengandung pesan mulia dan tak ternilai. Bahwa dengan menulis, apapun latar profesi dan latar sosial kita, kita bisa bertemu pada ritme dan titik temu yang sama: literasi dan karya literasi. Sebagaimana yang saya ungkap di awal bahwa perkenalan saya dengan Pak Eko tergolong masih baru, namun kami sudah akrab seperti telah berkenalan lama. Selain buku “Santri Negarawan”, insyaa Allah ada beberapa buku baru yang bakal kami garap bersama, tepatnya sedang menulis buku secara keroyokan dengan penulis lain dari berbagai kota di seluruh Indonesia.
Kini pukul 14.43 WIB, pertemuan kami pun mesti berakhir. Ya, waktu bisa bersama kita tapi kita tak kuasa mengendalikan waktu. Waktu terus berputar dalam kuasa Pemiliknya, Allah Sang Pencipta. Pertemuan kami benar-benar mesti berakhir. Dua menit menjelang perpisahan, kami pun menyempatkan untuk menukar hadiah. Bila saya memberi buku “Bocah Matahari”, maka Pak Eko memberi buku “Jangan Bersikap Sombong” dan “Mengenal Jati Diri Manusia”. Pada saat yang sama saya juga langsung memberi 1 eksamplar buku “Santri Negarawan” jatah gratis untuk Pak Eko sebagai salah satu penulis dan dua buku yang sama khusus pesanan Pak Eko sebulan lalu.
Apapun itu, Pak Eko sejatinya telah dan sedang berbagi tips, motivasi dan pengalaman menulis secara gratis kepada saya dan siapapun di luar sana. Menjelang usianya yang ke-62 tahun tak membuat dirinya berhenti berbagi inspirasi kepada siapapun, terutama kalangan muda. Ya, sosok yang lahir di Sidoarjo, Jawa Timur pada 5 September 1962 ini memilih jalan mulia: memperkuat tradisi literasi dengan langsung praktik, hingga jadi karya nyata alias jadi buku. Hal ini sesuai dengan ambisinya untuk menulis dan terus menulis buku, walaupun saat ini sudah menulis belasan judul buku yang sudah terbit.
Barakallah, jazakumullah dan terima kasih banyak saya sampaikan kepada Pak Eko yang menyempatkan untuk silaturahim dan berbagi tips, motivasi dan pengalaman secara gratis kepada saya. Mohon bimbingan dan nasehat terbaiknya untuk saya dan sahabat penggiat literasi lainnya di seluruh Indonesia, sehinggake depan tetap istiqomah dan terus tergerak untuk berkarya. Saya menyadari bahwa selain semangat dari dalam diri, sejatinya doa dan arahan para “sesepuh” yang berpengalaman adalah modal utama dan penentu dalam menekuni dunia kepenulisan. Selebihnya, semoga seluruh karya tulis atau buku-buku kita jadi penambah berat amal jariyah kita di hadapan Allah kelak! (*)