Oleh: H. Anwar Yasin Warya
Anggota DPRD Jawa Barat Fraksi PKS
PEMILU merupakan instrumen politik yang sudah dikenal lama di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Sejak Orde Lama dan Orde Baru hingga Orde Reformasi, bangsa kita sudah mengenal bahkan menggunakan pemilu dalam memilih atau menentukan pemimpin di berbagai levelnya, dari presiden hingga kepala daerah. Di samping wakil rakyat di lembaga legislatif untuk setiap levelnya, dari pusat hingga daerah, DPD dan DPR juga DPRD-nya.
Pada 14 Februari 2024 lalu kita sudah melaksanakan pemilu serentak untuk pemilihan presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg). Sebagaimana laiknya pada proses pemilu selama sekian periode berlangsung, pada pemilu kali ini kita masih menghadapi berbagai bentuk dugaan kecurangan yang sangat terbuka. Diantaranya politik uang yang merajalela di hampir seluruh tahapannya. Politik pun menjadi momok yang membahayakan, sebab uang dijadikan sebagai penentu keterpilihan atau tidaknya kandidat dalam pemilu.
Kecurangan yang tak kalah fatal dan berbahayanya pada pemilu kali ini adalah pelanggaran etik Anwar Usman selalu ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah batas usia persyaratan calon presiden dan wakil presiden. Bahkan ketua dan komisioner KPU juga melakukan pelanggaran etik. demikian, mereka hanya dihukum dengan peringatan keras. Mereka menerima dan meloloskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden tanpa didasari adanya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Analisis tajam Prof. Burhanudin Muhtadi perihal pemilu dan politik uang serta politik dinasti agaknya layak kita kaji dalam rangka memastikan pemilu ke depan semakin adil, jujur dan bermartabat. Menurut Burhan, di hampir seluruh negara yang menggunakan sistem pemilu sangat rentan dengan politik uang. Uang dan kekuasaan menjadi penentu pemenang pemilu. Siapa yang memiliki uang, bakal menang dan berkuasa. Adapun kompetensi, rekam jejak dan visi-misi itu di kesampingkan, bahkan tidak dianggap penting.
Naifnya, penyakit semacam itu diduga kuat telah menjalar ke seluruh partai politik. Tak sedikit politisi yang tergoda untuk menggunakan pola serupa, sehingga uang dan jejaring kekuasaan benar-benar dijadikan sebagai senjata utama pemenangan. Praktik nepotisme di tubuh partai politik pun terjadi begitu rupa dengan pola yang kadang terlihat namun kerap dianggap biasa. Bahkan demi memenangkan pemilu, tak sedikit politisi yang menggunakan uang untuk menguasai basis massa tertentu. Sehingga pemilih pun tidak mendapat pendidikan politik yang mencerdaskan, sebaliknya hanya mendapat sejumlah uang.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan partai yang sejak awal berdiri sudah dikenal akrab bahkan menjadikan Islam sebagai pijakannya. Sehingga PKS pun dikenal sebagai partai yang bersih, militan dan konsisten dalam menjaga marwah politik. Politisinya tidak mudah digoyahkan oleh uang dan kepentingan oligarki yang merusak tatanan politik bangsa. Walau demikian, ada juga yang menganggap PKS sama saja dengan partai politik lainnya. Sehingga sedikit banyak berdampak pada kepercayaan pemilih pada PKS di momentum pemilu. Bila tidak mendapat perhatian, hal ini berdampak buruk pada kepercayaan masyarakat pada PKS ke depan.
Problem di masyarakat memang kompleks dan rumit terutama pada aspek ekonomi. Sebagai pemilih masyarakat cenderung untuk memilih yang membawa atau memberi uang tanpa memperhitungkan kompetensi dan dampak buruk sebagai ikutannya. Di samping itu, politisi partai juga terjebak dengan orientasi sesaat dan materi, sehingga tidak mampu mengkapitalisasi diri dalam menjalankan aksi politik di tengah masyarakat. Bahkan tak sedikit yang enggan untuk melakukan advokasi masyarakat. Masyarakat pun merasa tak diperhatikan dengan layak.
Dalam rangka perbaikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan ke depan. Pertama, perkuat simpul masyarakat. Aspek yang perlu mendapat perhatian serius adalah aspek ekonomi. PKS perlu memperkuat basis ekonomi masyarakat berbasis komunitas. Lakukan konsolidasi dari bawah dalam bentuk simpul-simpul kecil, lalu diperkuat dengan pemberdayaan ekonomi. Di sini PKS bisa menjadi partner masyarakat dalam permodalan dan memperluas pemasaran produk tertentu. Misalnya, pupuk, bibit padi, beras dan sebagainya.
Kedua, PKS mesti perkuat aspek militansinya. Sejak berdiri PKS sudah dikenal militan dalam berpolitik. PKS selalu terdepan dalam mengadvokasi masyarakat. Sederhananya, di mana ada masalah di situ PKS hadir sebagai pembawa solusi. Di mana ada bencana, di situ ada PKS yang membantu. Militansi akan muncul bila nilai-nilai dakwah ditopang oleh proses internalisasi yang baik. Politisi PKS harus keluar dari sekapan “selimut”: materi, jabatan dan perasaan lemah. PKS harus bangkit dan “menyucikan diri” dari tujuan sesaat. PKS perlu menguatkan aspek “kembali” untuk membesarkan Allah, bukan yang lainnya.
Hal tersebut sesuai dengan isyarat Allah dalam al-Qur’an, agar kita tetap menjaga praktik politik bersih. Bukan saja bersih dari sisi niat dan tujuan tapi juga dari praktik kampanye yang menghalalkan segala cara atau keji. Allah berfirman, “Wahai orang yang berkemul (berselimut) bangunlah, lalu berilah peringatan!, dan agungkanlah Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji, dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan karena Tuhanmu, bersabarlah.” (QS. Mudatsir: 1-7).
Agaknya kita perlu membaca dan memahami berulang-ulang surat tersebut, karena relevan dengan fenomena dan kondisi politik bangsa kita akhir-akhir ini. Bukan saja soal niat dan tujuan berpolitik yang mestinya mulia dan lurus, tapi juga tentang kesungguhan dalam melakukan pelayanan pada masyarakat. Dalam konteks PKS, bukan saja tentang niat dan tujuan menjadi politisi PKS yang memang mesti terus terjaga keikhlasan dan kesuciannya, tapi juga tentang militansi dalam menjalankan aksi dakwah di jalur politik yang tidak boleh tercederai oleh praktik curang seperti menghalalkan segala cara. (*)