Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Motivaction”
MEMILIKIi rasa malu adalah ciri sekaligus modal penting manusia unggul. Keunggulannya ditandai dengan menjadikan rasa malu sebagai tameng untuk tidak melakukan sesuatu yang merugikan dirinya dan orang lain. Ia malu bila berbuat buruk dan merusak, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Ia malu bila potensi dirinya belum ia gunakan untuk hal-hal kebaikan dan bermanfaat. Ia malu bila setiap detik merasakan nikmat Allah, namun dirinya belum mampu menjadi hamba Allah yang taat.
Manusia paling malu dan layak kita teladani adalah Rasulullah SAW. Beliau menjadikan rasa malu sebagai penjaga diri dari keburukan. Sehingga beliau selalu khawatir bila ada waktu yang berlalu begitu saja tanpa diisi dengan kebaikan. Beliau SAW pernah bersabda, “Malu adalah bagian dari cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim). “Rasa malu itu hanya akan mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim). “Rasa malu itu seluruhnya adalah kebaikan.” (HR. Muslim)
Makanya, rasa malu merupakan salah satu akhlak baik dalam Islam. Islam menggariskan umatnya untuk menjadikan rasa malu sebagai pakaian yang harus terus dipakai. Bila seseorang tidak memiliki rasa malu, maka sejatinya ia sedang lupa menutup aurat atau mengenakan pakaian pada tubuhnya. Rasa malu akan mendorong seseorang untuk meninggalkan hal-hal yang buruk atau tercela dalam kehidupannya.
Ajaran Islam sendiri menempatkan rasa malu sebagai bagian dari cabang keimanan seseorang. Rasulullah SAW bersabda, “Iman mempunyai enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘La ilaha illallah’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu merupakan salah satu cabang Iman.” (HR. Bukhari).
Bila seseorang memiliki rasa malu, besar kemungkinan imannya terjaga. Sehingga sangat wajar bila para ulama berpandangan bahwa rasa malu berkaitan dengan iman. Iman dan malu bagai dua sisi mata uang, dimana antar satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Rasulullah SAW bersabda, “Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna.” (HR. Hakim).
Rasa malu dapat menjadi tameng bagi seseorang saat tergoda untuk melakukan keburukan. Seseorang yang senantiasa memelihara dan menjaga rasa malu akan berhati-hati, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Ia tidak ingin agar setiap ucap, tindakan dan sikapnya justru menimbulkan keburukan bagi diri dan lingkungan, atau orang lain di luar sana. Ia ingin agar ucap, tindakan dan sikapnya dalam kehidupan dunia ini selalu terbingkai kebaikan dan bermanfaat, bukan yang keburukan atau yang sia-sia.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshari al-Badri ra ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah: ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu’.” (HR. Bukhari).
Seseorang yang memiliki sifat malu, akan berupaya agar seluruh detik yang ia lalui dalam hidup ini hanya terisi dengan kebaikan. Bila ia tergoda untuk melakukan keburukan atau kemaksiatan, maka rasa malu itu yang menjaganya, sehingga ia enggan untuk melakukan keburukan apapun. Rasa malu itulah yang menjadi perisai dirinya bila sedang digoda untuk berbuat maksiat atau dosa. Ia malu melanggar ketentuan Allah dan rasul-Nya, kapan dan di mana pun.
Dengan rasa malu itu ia selalu terdorong untuk menjauhkan perbuatan buruk atau yang dilarang terutama oleh ajaran agama, dalam hal ini Islam. Rasa malu mendorongnya untuk selalu berbuat baik dan bersama orang-orang yang senang melakukan kebaikan. Rasa malu pula yang menyemangatinya untuk melakukan aktivitas produktif dan bermanfaat bagi sesama, terutama untuk orang-orang yang sangat dekat dengannya. (*)