Oleh: Sutan Aji Nugraha
Penulis adalah Pengamat Politik
PEMBANGUNAN basis ideologi, rekruitmen dan sumber dana menjadi bahan pokok dalam perjuangan kesejahteraan bersama, yakni perjuangan cita-cita politik dalam sebuah partai politik (parpol). Dalam berbagai kesempatan diskusi, saya selaku penyumbang ide dan gagasan dalam menyikapi persoalan yang berdinamika di masyarakat, khususnya masyarakat politik dan elite politik. Kekurangan yang menjadi kelemahan politik merupakan taktik untuk merebut kekuasaan dalam rangka kepentingan. Kotomi politik menjadi dasar ideologi sesat demi melanggengkan oligarki kekuasaan, status quo.
Produk-produk penghasil kesejahteraan ini pun menjadi penjelmaan predator yang begitu ganas, memakan segala sesuatunya yang mereka anggap halal untuk dimakan. Ideologi merupakan instrument utama bagaimana pedoman dijalankan melalui gerakan konkrit kepada masyarakat, melalui cara demokratis, kerakyatan, kemanusiaan, keadilan dan solidaritas. Perjuangan grass root tidak diutamakan, pendekatan hubungan antar massa pun diberlakukan 5 tahun sekali. Oleh karenanya, perjuangan telah berubah menjadi pekerjaan real para politisi senayan maupun daerah, baik itu legislatif maupun eksekutif sehingga banyak sekali terjadi dalam periode selanjutnya para politisi tidak berhasil membodohi rakyat untuk dapat dipilih kembali menjadi wakil rakyat dan lantas ditinggalkan massa.
Hal semacam ini menjadi favorit para politisi apabila telah diikuti oleh banyak orang/massa, baik itu kadernya, simpatisan atau sekedar mencari makan. Posisi kader politik dalam partai politik adalah ekspetasi yang berlebihan di zaman seperti sekarang ini. Begitupun dengan massa partai politik. Kader politik berubah menjadi budak politik sedangkan massa politik telah menjelma menjadi kebun binatang.
Saya pernah mengisi pendidikan politik partai Golkar sebelum Pandemi Covid 19, sekitar akhir 2019. Pemilu pada 1971, Sekber Golkar yang kemudian berubah nama menjadi Golkar ini selalu memenangi disetiap Pemilu selama Orde Baru dengan perolehan suara mencapai lebih dari 50%, bahkan sering lebih dari 60 dan 70%, termasuk di banyak daerah-daerah di Indonesia. Ini membuktikan bahwa Golkar sedari dulu sudah mengakar dalam artian telah tersistem secara tidak langsung dalam tubuh perpolitikan dan birokrasi di Indonesia, tak terkecuali di Kota Cirebon.
Golkar Kota Cirebon memang mengalami pasang surut namun tidak mengurangi kursi di parlemen (Griya Syawala) bahkan Golkar pernah menghantarkan kadernya menduduki posisi eksekutif di masa reformasi. Ini membuktikan eksistensinya dalam perpolitikan hingga tingkat daerah. Induk perpolitikan bisa disematkan dalam diri partai Golkar sebab para kadernya telah berhasil menorehkan sejarah untuk republik bahkan berhasil membuat partai politik sendiri.
Almarhum Ano Sutrisno adalah hasil kader birokrat yang berhasiil menduduki Walikota Cirebon melalui pemilihan langsung sekalipun cita-citanya belum terwujud dikarenakan wafat setahun menjabat. Seleksi untuk kader Golkar yang ingin duduk di eksekutif telah mengalami metamorfasa ke arah progress yakni dimandatkan oleh pimpinan tertinggi untuk kemenangan Golkar ditingkatan dibawahnya, yaitu Effendi Edo dan Heri Hermawan.
Pergaulan diantara kami, saya dan Effendi Edo tidak terlalu lama namun pertemuan kami sangatlah berkualitas, mengapa? Karenan kami selalu berbicara jauh ke depan, bukan memperbincangkan orang perorang yang selama ini menjadi ”brutus” di partai Golkar Kota Cirebon. Effendi Edo seperti halnya Prabowo Subianto, tak pernah lelah dan memiliki kesabaran revolusioner untuk mengabdikan dirinya bagi masyarakat Cirebon. Dalam politik tidak ada mengenal kematian, dia bisa mati berkali-kali dan hidup berkali-kali juga.
Waktu membuktikan bahwa Effendi Edo akan menjadi bacawalkot Golkar Kota Cirebon yang mana secara kursi parlemen, Golkar Kota Cirebon menduduki peringkat tertinggi sehingga secara perhitungan diatas kertas, kader Golkar Kota Cirebon memastikan posisi Walikota Cirebon 2024-2029. Mandat kemudian berubah menjadi rekom. (^)