Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Pemuda Negarawan”
HARI ini Senin (20/5/2024) adalah sebuah momentum bersejarah. Mengapa? Sebab pada setiap 20 Mei negara kita Indonesia merayakannya sebagai Hari Kebangkitan Nasional atau Harkitnas. Bila membaca sejarah bangsa ini, kita menemukan fakta bahwa kunci sekaligus modal bangsa ini berdiri sebagai sebuah negara adalah literasi. Kala itu para pendiri bangsa adalah aktor penting yang sangat literat. Ya mereka adalah pembaca dan penulis buku ulung. Sehingga kelak ketika menyusun tujuan negara mereka pertegas bahwa salah satu tujuannya adalah mencerdaskan bangsa.
Literasi adalah salah satu tema yang selama sedekade terakhir menjadi tema perbincangan semua kalangan. Dari pemerintah pusat dan daerah sehingga penggiat pendidikan dan penggiat literasi itu sendiri. Bahkan tak sedikit penulis yang mengapresiasi pemerintah dan merespon isu ini secara gegap gempita. Singkatnya, di berbagai forum dan momentum literasi menjadi semakin seksi. Dari forum formal hingga di warung-warung kopi.
Literasi memang bukan sekadar tradisi baca dan tulis, namun dua tradisi ini menjadi isu penting dan dominan. Sebab baca dan tulis merupakan literasi kunci yang menentukan literasi lainnya seperti literasi budaya, ekonomi dan kebudayaan atau yang lainnya. Tradisi baca dan tulis dinilai memiliki dampak signifikan pada upaya penguatan literasi secara keseluruhan. Sehingga keduanya menjadi prioritas di banyak tempat dan lembaga. Bahkan menjadi isu seksi di beberapa kota dan forum penulis di banyak kota.
Bila mengaitkan literasi pada lembaga pendidikan terutama pendidikan formal seperti sekolah maka kita bisa menyatakan bahwa elemen kunci sekaligus penentu maju-mundurnya literasi sekolah adalah kepala sekolah. Kepala sekolah penanggung jawab utama terselenggaranya pendidikan di sebuah sekolah. Bila literasi dasar seperti baca dan tulis mendapatkan perhatian kepala sekolah maka literasi sekolah pun bakal berkembang pesat. Namun bila kepala sekolah enggan alias cuek maka literasi di sekolah bakal jalan di tempat.
Pada berbagai kesempatan saat mengisi acara di banyak kota di seluruh Indonesia, saya kerap mendapatkan keluhan kalangan guru dan siswa yang mengalami dilema di sekolahnya. Salah satu kasus yang cukup memprihatinkan adalah kepala sekolah yang tidak peduli alias cuek pada kemajuan literasi sekolah. Kepala sekolah yang seharusnya bertanggungjawab dalam menguatkan dan memainkan literasi sekolah justru tidak respek pada literasi. Bahkan terkesan antipati pada upaya guru dan siswa untuk memajukan literasi sekolah.
Kejadian semacam itu terjadi di banyak sekolah, bukan satu atau dua sekolah. Pesannya jelas, betapa tradisi literasi mengalami distorsi yang sangat berbahaya. Sebab bila literasi dasar seperti baca dan tulis saja tidak menjadi perhatian pimpinan sekolah seperti kepala sekolah, maka dampak buruknya menyebar ke mana-mana. Sekian guru bidang bahasa Indonesia tidak mendapatkan dukungan, siswa juga tidak mendapatkan ruang dan kesempatan untuk mengembangkan potensinya.
Bila kita telisik lebih mendalam maka dapatlah dikatakan bahwa tradisi baca dan tulis merupakan elemen kunci literasi yang selama ini menjadi agenda pemerintah pusat dan daerah. Namun bila ujung tombak lembaga pendidikan seperti kepala sekolah memilih untuk diam bahkan berjalan di tepat maka kita bisa membayangkan bagaimana tradisi baca dan tulis itu dibungkam secara kultural dan masal.
Membangun semangat untuk pengembangan literasi sekolah mesti menjadi agenda prioritas sekolah. Di sini semua elemen sekolah harus turun tangan atau terlibat. Wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan guru bidang studi bahasa Indonesia harus memastikan tradisi baca dan tulis berlangsung sekaligus masif di sekolahnya. Namun dua elemen itu tidak cukup. Sebab ada satu elemen kunci yang sangat bertanggungjawab dalam penguatan dan kemajuan literasi sekolah yaitu kepala sekolah.
Dalam rangka itu, kita berharap agar kepala sekolah menjadi leader tradisi di sekolah. Kepala sekolah bukan saja cerdas menjalankan kepemimpinan sekolah, tapi juga apik dalam memastikan tradisi literasi terutama baca dan tulis menjadi tradisi yang terjaga di sekolah dimana dia memimpin. Kepala sekolah harus senang, bangga dan apresiasi bila guru dan siswa mengadakan pelatihan kepenulisan dan bedah buku bahkan menulis artikel juga buku. Kepala sekolah harus memperlihatkan sikap riang pada majunya tradisi literasi di lingkungan sekolah.
Tradisi baca dan tulis memang dua tradisi inti literasi. Tradisi baca dan tulis akan berkembang manakala setiap elemen sekolah dari kepala sekolah, guru dan siswa memiliki tekad dan semangat yang sama. Bahkan orang tua siswa dan pemerintah di berbagai levelnya harus mendukung upaya sekolah dalam memajukan literasi sekolah. Bila tradisi ini berlangsung dengan baik dan semua pihak berkolaborasi untuk memajukannya maka gerakan literasi sekolah dapat menjadi elemen penopang dalam melahirkan generasi bangsa yaitu generasi yang tercerahkan dan tercerdaskan. (*)