Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku “Aku, Dia & Cinta”
Memiliki teman adalah keistimewaaan tersendiri dalam kehidupan kita. Terutama di saat fenomena kehidupan dunia semakin menggeliat, keberadaan teman menjadi niscaya. Bukan saja tempat kita untuk berbagi cerita dan meneguhkan cita-cita, tapi juga berbagi senyuman dan tawa. Bahkan untuk hal-hal sederhana yang kerap kita lalui sehari-hari.
Pertemanan pun terlihat begitu akrab dan terasa lengket. Karena kita terus memupuk atau menumbuhkannya dalam berbagai macam cara. Kadang janjian bersua di sebuah tempat, berkunjung ke toko buku, berbincang santai di rumah, saling mengunjungi, menjenguk di saat sakit, hadir di saat akad nikah, dan bisa jadi membantu mencarikan jodoh untuk teman kita.
Lalu, bisa juga dengan memudahkan urusan atau kebutuhan hidup sang teman. Memompa semangatnya, mendoakan dan membangun optimisme bahwa teman kita bisa menjadi yang terbaik. Bisa lebih bermanfaat dari yang ia perankan selama ini. Bahkan bisa melakukan hal-hal penting dan besar bagi diri, keluarga dan siapapun yang mendoakan dia dalam sepi.
Berteman memang kebutuhan kita sampai kapanpun. Kita sama-sama saling membutuhkan. Berbagai hal kerap menjadi pengikat dan penguat. Misalnya, keunikan masing-masing, potensi yang beragam, kekhususan yang tak bisa diotak-atik. Dan bisa jadi ada kesamaan yang bersifat given seperti bentuk hidung atau yang lainnya.
Tapi kadang ada saja saat dimana pertemanan menjadi tak seakrab dulu lagi. Entah karena perbedaan pandangan tentang sesuatu, berbeda profesi, berbeda selera, berbeda karakter dan berbagai hal yang memungkinkan untuk adanya gesekan yang bisa jadi tak perlu.
Tapi begitulah galibnya. Ada saja tikungan tajam yang membuat pertemanan terganggu seketika. Tak jarang yang kemudian menjadi berantakan hanya karena soal sepele. Bukan karena hal-hal besar. Tapi karena hal-hal yang selama ini justru kerap menjadi bumbu penghangat pertemanan itu sendiri.
Sekadar contoh, candaan berupa panggilan akrab yang tak selalu membuat situasi pertemanan menjadi damai. Bercanda memang manusiawi. Setiap kita punya stok canda yang cukup. Suatu momentum tertentu kita bisa saja merasa nyaman mendengarkan candaan teman kita, tapi pada momentum yang lain bisa jadi kita tak nyaman. Bukan karena candaannya, tapi karena memang kita lagi lelah atau mengalami hal yang lainnya.
Namun hal tersebut sejatinya tak akan memberi dampak apa-apa pada lengketnya pertemanan manakala hubungan dan suasana pertemanan kita dijalani dengan saling percaya tanpa saling menyandera. Kita bisa mengokohkannya dengan banyak cara, termasuk dengan mengapresiasi setiap kebaikan dan mendoakan teman kita untuk kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupnya.
Berteman pada akhirnya bukan tentang apa yang kita peroleh, tapi apa yang kita beri. Terlihat sederhana tapi mulia. Memberi bukan selalu materi, tapi bisa juga sapa, tawa dan senyuman tulus yang selalu kita hadiahkan untuk teman kita. Hal ini tentu berdampak baik dalam meneguhkan pertemanan yang mungkin sudah lama kita jaga. Dan selamanya kita mesti berusaha untuk menjaganya. Diantara cara yang dipilih agar pertemanan terus terjaga adalah jadilah teman dekat yang tidak menyandera.
Tidak menyandera bermakna luas. Misalnya, tidak memaksakan kehendak, tidak membiarkan perasaannya terluka, tidak membiarkan hatinya gundah, tak membiarkan kehidupannya kaku, tak membiarkan lakon hariannya tak berkualitas, tak membiarkannya terus dalam kesepian dan yang tak kalah pentingnya adalah tak membiarkan teman kita terus menyendiri alias menjomblo. Jangan tersinggung ya. Kalau tersinggung, tinggal nikah saja.
Sederhananya, kalau kita benar-benar teman yang baik baginya, carikan dia calon pasangan hidup yang layak baginya. Jadilah teman yang membuatnya nyaman, hangat, akrab dan terus meningkatkan kualitas dirinya, hingga dia bisa berkontribusi menghadirkan aktivitas kebaikan dan terus berkarya. Asal satu syarat: tak saling menyandera. Ya, jangan jadi teman yang suka menyandera! (*)