Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Pemuda Negarawan”
Hiruk pikuk politik terutama pilpres pada 14 Februari 2024 lalu rupanya belum benar-benar selesai. Partai politik, elite dan basis pendukung masih berada pada situasi yang sama bahkan semakin menghangat. Dinamika pilpres ternyata masih berlanjut menjelang pilkada serentak yang berlangsung pada 27 November 2024 nanti. Tarik menarik dukungan, dinamika internal partai politik juga koalisi masih terjadi bahkan semakin rumit untuk dicerna. Sebuah kenyataan yang bisa jadi membuat sebagian kita dibikin deg-degan sambil bertanya: ada apa lagi ini?
Paling tidak ada dua hal yang belakangan ini semakin mengemuka dan membuat publik penasaran. Pertama, pengunduran diri Airlangga Hartarto (AT) dari Ketua Umum Partai Golkar. AT merupakan sosok pendukung sekaligus orang kepercayaan Joko Widodo, baik dalam kabinet maupun dalam berbagai kontestasi politik terutama pada pilpres lalu. Publik pun berspekulasi bahwa AT bakal benar-benar jadi tersangka pada kasus impor yang belakangan ditangani Kejaksaan Agung. Hal ini berdasarkan karena AT sudah dipanggil menjadi saksi. Tapi untuk kepastiannya kita menanti saja.
Dugaan lain, AT benar-benar “dibuang” dan tidak dibutuhkan oleh Joko Widodo lagi. Karena Gibran Rakabuming Raka (Gibran) kini sudah terpilih sebagai Wakil Presiden dan tak lama lagi dilantik bersamaan dengan Presiden Terpilih Prabowo Subiyanto (Prabowo). Bagi Joko Widodo, sosok AT sudah tak diperlukan lagi dalam menjaga stabilitas koalisi di akhir masa jabatannya. Mungkin juga sudah ada sosok lain yang layak diajak sebagai partner, yang kelak bisa jadi mendapatkan mandat sebagai Ketua Umum Golkar yang baru, atau menjadi tokoh penentu di Golkar. Apapun itu, kita tunggu saja apa yang terjadi pada Golkar setelah ini.
Kedua, kemungkinan Anies Baswedan tak maju di Pilkada Jakarta. Isu ini bagai petir di siang bolong. Sebab kita tau sejak beberapa bulan lalu Partai Nasdem, PKB dan PKS masing-masing sudah menyatakan dukungan pada Anies untuk berlabuh kembali pada pilkada Jakarta. Bagaimana pun, tiga partai inilah yang mengusung Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 ini pada kontestasi pilpres 14 Februari 2024 lalu. Berpasangan dengan Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin), pasangan ini hanya menjadi pemenang kedua. Karena itu pulalah sebagian relawan dan pendukung Anies mengapresiasi keberanian ketiga partai tersebut untuk kembali mengusung Anies di pilkada Jakarta.
Namun rencana hanyalah rencana. Deklarasi dukungan itu kini sudah mulai pupus di tengah jalan. Nasdem pun terlihat mulai galau untuk mengusung Anies di pilkada Jakarta. Beberapa petinggi Nasdem kerap menyampaikan bahwa belum ada kepastian, bahkan bisa jadi benar-benar tidak mengusung Anies. Hal ini terutama setelah Surya Paloh (SP) bersua Prabowo. Menurut dugaan sebagian para pengamat politik, Nasdem bakal masuk ke dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Bagaimana pun, Prabowo dan SP adalah kawan lama. Keduanya merupakan “besti” sejak masih bersama di Golkar.
Begitu juga PKB, belakangan menyatakan belum ada kepastian mengsung Anies. Padahal kita tau bahwa PKB adalah partai yang paling pertama menyatakan bakal mengusung Anies untuk maju di Pilkada Jakarta. Kala itu, elite PKB begitu apik menjelaskan alasan mengapa mengusung Anies, diantaranya untuk membenahi Jakarta butuh pemimpin yang memiliki rekam jejak yang baik dan sukses memimpin Jakarta. Namun belakangan PKB mulai melunak dan menyatakan ketidakpastian mengusung Anies. Elite PKB kerap berseloroh tak ada kesepakatan mengsung paket Anies – Sohibul Iman. Hal ini semakin menguat setelah elite PKB bersua Prabowo.
PKS juga demikian, Majelis Syuro PKS merekomendasikan ke Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP) untuk melanjutkan komunikasi dengan Presiden Terpilih Prabowo dan partai Koalisi Indonesia Maju (KIM). Bahkan beberapa Juru Bicara PKS kerap menyampaikan bahwa batas waktu bagi Anies untuk mencari partai politik yang memiliki kursi DPRD Jakarta sebagai syarat pencalonan sudah selesai pada 4 Agustus 2024. Menurut mereka, kemungkinan besar PKS bakal melanjutkan komunikasi politik dengan partai lain yang memungkinkan kadernya masuk dalam pasangan yang diusung di pilkada Jakarta. Elite PKS juga sudah bersua Prabowo.
AT dan Anies memang sedang mengalami dilema. AT dilema menghadapi kasus di Kejaksaan Agung, Anies dilema menghadapi pilkada. Belakangan PDIP menyampaikan apresiasi pada Anies, sesuatu yang selama ini belum pernah dilakukan PDIP pada Anies. Namun apa yang dilakukan oleh elite PDIP tidak serta merta mendapat dukungan dari basis massa atau akar rumput PDIP. Ahok dan pendukungnya terutama yang di Jakarta kerap menyampaikan penolakan, karena pengalaman pada dinamika politik pilkada 2017 lalu. Bahkan belakangan PDIP lebih rajin membangun komunikasi dengan PKB.
Secara khusus saya menyampaikan kepada AT agar fokus menghadapi apapun masalahnya saat ini. Mundurnya AT secara mendadak memang menimbulkan banyak pertanyaan dan spekulasi. Namun, nasi sudah jadi bubur. Kita menanti apakah AT benar-benar tidak menjadi Ketua Umum Golkar lagi setelah mekanisme internal Golkar menerima dan memutuskannya. Dalam waktu dekat Golkar akan melakukan konsolidasi dan melalui mekanisme internal sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Apakah Munaslub atau yang lainnya, kita menanti saja langkah Golkar.
Secara khusus saya mengusulkan dua hal kepada Anies. Pertama, Anies dan relawan atau pendukungnya segeralah evaluasi diri dari langkah politik selama ini. Anies perlu merenung dan berbenah perihal sikap dan aksi politiknya selama ini. Masyarakat Indonesia tau betul bagaimana dinamika pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu. Kala itu Anies mesti berpasangan dengan kader PKS Mardani Ali (Mardani), tapi Anies memilih Sandiaga Uno (Sandi). Jatah kursi wakil gubenur untuk PKS yang ditinggal Sandi karena maju di pilpres 2019 menjadi pasangan Prabowo pun malah diberikan ke kader Gerindra.
PKS pun benar-benar hanya dijadikan selingan bukan faktor utama. Padahal tanpa dukungan PKS, Anies tidak bakal maju dan menang pada pilkada 2017 lalu. Hal ini perlu menjadi bahan evaluasi bagi Anies dan pendukungnya. Jangan melulu salahkan PKS dan suara publik yang sama-sama hendak mengoreksi langkah Anies selama ini. Begitu juga pada kasus menjelang pilkada kali ini. Kemungkinan PKS tak mengusung Anies, bukan karena benci pada Anies. Tapi kepentingan politik jangka panjang PKS. PKS merupakan partai besar di Jakarta, bahkan kini PKS menjadi partai pemenang satu pileg di Jakarta. PKS menghitung keuntungan dan kerugian bila tetap mengusung Anies. Efek Anies untuk PKS pun tak seberapa, baik di jumlah suara pemilih maupun konversi jumlah kursi.
Kedua, Anies dan pendukungnya segera mendirikan partai politik baru. Basis relawan pada pilpres lalu layak dijadikan sebagai basis utama dalam rencana pendirian partai baru dan penyusunan kepengurusan ke depan. Mendirikan partai politik lebih relevan dan rasional bagi Anies daripada berharap banyak pada partai politik yang ada sekarang. Para pendukung Anies tak perlu mencela PKS, Nasdem dan PKB. Karena partai politik memiliki mekanisme internal yang tak bisa diintervensi oleh siapapun. Lebih baik fokus bangun konsilidasi dan segera mendirikan partai politik baru. 2029 masih lama, namun persiapan pemilu 2029 mesti disiapkan sejak dini.
Politik memang dinamis dan penuh kejutan. Dalam politik, tak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Dinamika dan hiruk pikuk politik menjelang pilkada yang diberitakan berbagai media pun bakal terus menjadi konsumsi kita sehari-hari. Apa yang sedang dialami oleh AT dan Anies memang benar-benar melahirkan banyak pertanyaan dan spekulasi. Siapapun pasti penasaran dengan AT yang mundur dari Ketua Umum Golkar dan Anies yang kemungkinan tak bisa berlayar di pilkada Jakarta. Entah apa yang terjadi nanti, pada ujungnya kita pun bakal terus bertanya, AT dan Anies Baswedan mau ke mana? (*)