oleh: Daddy Rohanady
Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini agak menggelitik. Mengapa? Semua daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, memiliki pos belanja pegawai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mereka di atas 20%. Bahkan, ada yang sudah mencapai lebih dari 30%–40%.
Kondisi tersebut bisa dipastikan akan terus berjalan. Bisa jadi, persentase belanja pegawai tersebut akan terus meningkat seiring terus bertambahnya jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) di masing-masing instansinya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara, ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang bekerja di instansi pemerintah.
Secara umum ASN dipilih dan diangkat untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan digaji berdasarkan undang-undang. Seseorang perlu memenuhi sejumlah syarat untuk bisa diangkat sebagai ASN.
Jadi, pegawai ASN adalah PNS dan PPPK yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan diberi penghasilan sesuai aturan perundang-undangan.
PNS merupakan bagian dari ASN, yang diangkat secara tetap dan berhak mendapat jabatan tertentu dalam satuan tugasnya. Sebagai penopang pemerintahan suatu negara, PNS berperan menciptakan sistem pada suatu negara dengan tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Ada PNS yang menjadi pegawai pemerintahan pada tingkat pusat –baik kementerian maupun lembaga pemerintahan pusat lainnya. Ada pula PNS yang menjadi pegawai pada tingkat pemerintahan daerah.
Namun, tujuan utama semua instansi pemerintah adalah mendorong kebijakan politik yang pro-rakyat untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Untuk itu, para ASN diharapkan senantiasa memberikan pelayanan prima.
Selain ASN, masih banyak pengawai honorer di berbagai instansi pemerintah. Karena provinsi dan kabupaten kota jumlahnya lebih banyak, maka lebih banyak pula pegawai honorer di level ini.
Yang jadi masalah, mereka semua perlu digaji. Itu yang membuat lonjakan persentase belanja pegawai. Untuk itu, dibutuhkan regulasi untuk menyelesaikannya.
Belakangan ramai dibicarakan soal batas terakhir pengangkatan para pegawai honorer. Batas tersebut dinyatakan 28 November 2024. Ini membuat provinsi/kabupaten/kota agak panik.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk memberi kepastian dan pengakuan atas kontribusi tenaga honorer. Mereka akan diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa tenaga honorer akan dihapus pada Desember 2024. Setelah itu, pemerintah dilarang merekrut tenaga honorer untuk mengisi jabatan ASN.
Pada awalnya 2,3 juta tenaga honorer diproyeksikan akan diangkat menjadi PPPK. Namun, Menteri PAN RB Abdullah Azwar Anas mengungkapkan honorer yang masuk database Badan Kepegawaian Negara hanya 1.788.851 orang.
Formasi PPPK 2024 yang telah ditetapkan KemenPAN RB pun hanya 1,01 juta orang. Artinya, sekitar 770.000 tenaga honorer tidak terakomodasi.
Pemerintah juga meyakinkan bahwa tenaga honorer yang terdata akan dijamin lolos PPPK pada seleksi CASN 2024. Namun, tidak semua honorer akan diangkat menjadi PPPK penuh waktu. Akan ada honorer yang diangkat menjadi PPPK paruh waktu.
Hingga saat ini, KemenPAN RB belum memberikan kepastian terkaitnya tanggal dibukanya seleksi CASN 2024 dan hanya menyatakan bahwa seleksi akan dibuka pada Juni atau Juli 2024.
terlepas dari segala hiruk-pikuk tersebut, beban belanja pegawai yang terus meningkat pasti membutuhkan solusi. Ada beberapa alternatif untuk itu. Alternatif pertama, cost sharing. Artinya, beban belanja pegawai di daerah tidak hanya ditanggung APBD. Beban tersebut ditanggung bersama oleh semua tingkatan, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Pertanyaannya, mungkingkah hal itu dilakukan? Jika pilihan itu yang diambil sebagai solusi, sangat dibutuhkan political will dalam hal anggaran (goodwill), khususnya dari pemerintah pusat. Pertanyaan berikutnya, maukah pemerintah pusat mengambil beban risiko tersebut?
Alternatif kedua, tetap utuh menjadi beban pemerintah daerah seperti yang berlaku sekarang ini. Konsekwensinya, setiap daerah harus melakukan peningkatan Pendapatan Daerah. Beban di provinsi pasti menjadi lebih berat karena mulai tahun 2025 berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Pemperlakuan UU HKPD berdampak sangat besar terhadap Pendapatan Daerah di provinsi. Persentase Dana Bagi Hasil (DBH) akan bergeser secara signifikan. Provinsi yang semula mendapat porsi 70% dan kabupaten/kota 30%, mulai tahun 2025 persentase pembagiannya akan dibalik.
Dengan demikian, ada penambahan DBH yang cukup besar untuk kabupaten/kota. Di sisi lain akan ada pengurangan yang sangat signifikan untuk Pendapatan Daerah di provinsi. Dibutuhkan solusi yang signifikan untuk menutup pengurangan tersebut, baik intensifikasi maupun ekstensifikasi. Misalnya, melalui pendapatan dari Kekayaan Daerah yang Dipisahkan melalui dividen BUMD yang ada.
Jabar, misalnya, pada tahun 2025 mengalami turbulensi Pendapatan Daerah sebesar Rp 6 triliun. Apa yang akan dilakukan? Bagaimana solusinya? Beban siapa seharusnya Belanja Pegawai dengan kondisi seperti itu?. (*)