Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Pemuda Negarawan”
ORANGTUA hanya tau kalau anaknya hebat, pintar dan taat beragama. Ternyata tak sedikit yang anaknya meninggalkan shalat lima waktu, berpacaran dan kerap meninggalkan jadwal kuliah bahkan sering tidak menutup aurat. Fenomena ini terjadi di banyak tempat dan semakin menjadi-jadi. Fenomena ini tidak terasa karena orangtua terlalu percaya pada anak yang sudah menempuh pendidikan tinggi, sehingga kondisi anak di rantauan tak dipantau secara detail. Anak pun kerap menghubungi orangtua sekadar basa-basi, ujungnya hanya meminta uang untuk hidup berfoya-foya. Tidak pernah bertanya tentang shalat lima waktu dan memastikan orangtua selalu dalam jalan yang diridhoi Allah.
Alumni madrasah dan pesantren pun tak luput dari fenomena bahkan terjerat oleh kejadian semacam ini. Alumni madrasah dan pesantren tapi meninggalkan shalat lima waktu, kerap berboncengan dengan pacar ke tempat wisata, dan menelpon berlama-lama dengan lawan jenis yang tak ada hubungannya dengan kuliah atau proses belajar. Uang SPP, kosan dan makan kadang dipakai secara foya-foya dengan pacar tanpa menghiraukan bagaimana orangtua mencari uang dan membanting tulang untuk mendapatkan sejumlah uang. Anak masa bodoh terhadap lelah dan letihnya orangtua saat bekerja. Bahkan tak mau tau bagaimana orangtua menahan malu karena meminjam uang tetangga demi anaknya.
Kini, fenomena itu semakin membuat kita mengelus dada ketika presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. PP ini telah menjadi pusat perhatian publik sejak diterbitkan pada 26 Juli 2024 lalu. Regulasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan layanan kesehatan preventif dan promotif ini justru memicu kontroversi di tengah masyarakat Indonesia. Polemik utama berpusat pada pasal yang mengatur tentang kesehatan reproduksi remaja, khususnya mengenai penyediaan alat kontrasepsi untuk anak remaja atau usia sekolah
Intinya, berdasarkan PP tersebut maka para pelajar atau remaja mendapatkan kesempatan untuk menggunakan alat kontrasepsi. Faktanya selama ini tak sedikit remaja yang sudah melakukan hubungan haram di luar nikah. Bahkan ada yang sampai hamil dan melahirkan anak dengan dampak buruk yang mengikutinya seperti ketidakjelasan status dan anak terlantar. Kehadiran PP ini semakin mendapatkan angin segar bagi mereka yang sudah terbiasa melakukan seks bebas untuk terus melakukan seks bebas. Sehingga sebagian kalangan menegaskan bahwa PP ini hadir sebagai bentuk ril legalitas seks bebas di kalangan muda Indonesia.
Kita semakin miris ketika Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang dikepalai oleh Yudian Wahyudi malah membuat aturan paskibraka putri di tingkat nasional tak boleh pakai jilbab saat pengukuhan dan upacara kenegaraan 17 Agustus 2024. Aturan yang dibuat telah merongrong NKRI dan Pancasila serta melanggar hak azasi warga negara dalam menjalankan perintah atau ajaran agamanya. BPIP yang seharusnya menjadi lokomotif agar warga negara bermoral justru menjadi biang penghancuran terhadap ajaran agama. Dengan gaji begitu besar mereka yang berada di BPIP sejatinya tak layak mendapatkan gaji. Bahkan BPIP layak dibubarkan, karena kerap amoral, anti Islam dan merusak sendi-sendi bangsa dan negara.
Pembukaan konstitusi atau UUD 1945 menegaskan hak menjalankan ajaran agama merupakan hak azasi warga negara. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, dan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pun menegaskan bahwa diantara tujuan pendidikan nasional adalah melahirkan generasi yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Di samping tujuan mulia lainnya seperti melahirkan generasi yang mandiri, kreatif, inovatif, berbudaya dan bertanggungjawab. Bila hak azasi dan tujuan pendidikan semacam itu dijadikan pijakan maka PP Nomor 28 Tahun 2024 dan aturan yang dibuat oleh BPIP mestinya dicabut, agar tidak menimbulkan keresahan dan bencana amoral nasional.
Namun mereka yang berwenang sepertinya buta mata dan buta hati pada penjelasan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi mereka tak ada standar moral selain hidup sebebas-bebasnya bahkan semaunya. Mungkin istri dan anak-anak mereka juga adalah pengguna alat kontrasepsi sejak remaja bahkan saat masih sekolah dasar. Bila saja istri dan anak-anak mereka yang masih ingusan itu menggunakan alat kontrasepsi, itu tak soal, silahkan saja. Tapi anak-anak kita yang waras dan taat ajaran agama juga konstitusi negara sangat tak pantas melakukan itu. Kita tak memiliki landasan mendasar untuk mengikuti aturan yang amoral alias bejat semacam itu. Kita mesti bersikap tegas, agar pada HUT RI ke-79 (17 Agustus 2024) dan selanjutnya kita mendapat keberkahan dan bukan azab dari Allah. (*)