Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Pemuda Negarawan”
Pada Sabtu 24 Agustus 2024 pukul 20.00 WIB saya menghadiri acara Silaturahim dan Launching Komunitas Literasi Santri “Dilapetang” SMP IT-MA Pesantren al-Quran di Kayuwalang, Kota Cirebon, Jawa Barat. Informasi acara inspiratif ini saya peroleh langsung dari Ustadz Agus Talik, M.Pd. selaku pimpinan pondok yang sudah berdiri belasan tahun lalu ini. Acara ini menghadirkan seorang penulis nasional Ustadz Cahyadi Takariawan, yang telah menulis 90-an lebih judul buku dan ribuan artikel yang dimuat di berbagai media massa, media online dan media sosial.
Menurut Pak Cahya, demikian saya menyapa beliau, bila ingin menjadi santri atau penulis pemula maka kita perlu menempuh beberapa level dalam membaca, sehingga ide kita kuat dan bernyawa. Pertama, membaca ayat al-Qur’an dan sunnah. Contohnya membaca QS. an-Nisa 19, atau membaca hadits yang berkaitan dengan ayat tersebut. Kedua, membaca tafsir atau penjelasan para ulama atas ayat tersebut. Ketiga, membaca ilmu pengetahuan yang terkait dengan isi atau pesan ayat tersebut. Seperti penelitian ilmiah, tulisan para ahli dan sebagainya.
Saya mencatat beberapa motivasi dan tips menulis dari Pak Cahya. Pertama, menjaga niat karena dan untuk Allah. Karena niat adalah penentu yang membuat kita mampu menjaga keikhlasan dan konsisten dalam aktivitas menulis. Bila kita menggantungkan semuanya karena Allah maka semuanya bakal mendapat kekuatan dan inspirasi. “Menulis itu kuncinya ikhlas. Aku menulis untuk menyebar kebaikan. Itu sudah cukup. Itu prinsip yang perlu dijaga. Menulis karena diniatkan karena Allah. Bukan untuk mengharapkan pujian dari siapapun,” ungkapnya.
Kedua, menulis perlu latihan terus menerus. Mereka yang menjadi penulis produktif adalah mereka yang terus belajar dan berlatih menulis. Jadi menulis itu perlu belajar dan latihan terus menerus. “Sebagai latihan, menulis bebas saja. Ya free writing. Caranya menulis setiap hari minimal satu halaman sehari. Bisa di laptop atau bisa juga HP. Atau bisa juga pakai bulpen di buku catatan atau apapun. Kalau sudah terbiasa bakal bisa dan terbiasa. Jangan takut tulisannya tidak berkualitas, nanti pasti kualitasnya meningkat seiring proses belajar,” nasehatnya.
Ketiga, banyak membaca. Menurut Pak Cahya, menulis sangat ditentukan oleh proses membaca. Bagi penulis, membaca merupakan kebiasaan rutin yang harus dijaga. Bila kita sering membaca maka secara otomatis kita bakal memiliki stok ide yang cukup untuk menulis. Bila kita sudah terbiasa untuk menulis, maka kita bakal berdampak baik pada keahlian dan dalam menjalani kehidupan berkeluarga juga bermasyarakat. “Agar ide muncul dan tulisan kaya, maka kita harus banyak membaca. Itulah salah satu yang membuat ide muncul dan berkembang,” jelasnya.
Keempat, menulis bebas. Menulis tentang apa saja seperti tentang suara hati, perasaan, rasa rindu pada orangtua, yang dilihat, yang didengar dan apa saja. Menulis cerpen, artikel, puisi dan buku. “Menulis sebagai proses mengeluarkan semua yang ada dalam perasaan dan hati kita. Kalau kita sudah berhasil melakukan itu maka kita akan terbiasa untuk mengungkapkan perasaan dan apapun. Kalau kita sudah terbiasa menulis maka akan berpengaruh pada saat kita menempuh pendidikan tinggi dan selanjutnya. Tapi kuncinya menulis bebas,” jelasnya.
Kelima, sadari bahwa menulis itu mengikat ilmu dan inspirasi. Menurut Pak Cahya, ide itu seperti binatang buruan. Bila sudah didapat, langsung diikat. Bila tak diikat, maka ia bakal lari dan pergi. Ide juga begitu, menulis adalah cara paling sederhana untuk mengikat ide juga ilmu. “Aku biasa diundang untuk mengisi seminar. Biasanya saya manfaatkan untuk belajar. Saya merasa tertantang untuk membaca buku atau tulisan seputar tema yang akan disampaikan. Setelah itu aku menuliskan idenya atau hak yang menarik lainnya. Itu adalah acara saya untuk mengingat apa yang akan saya sampaikan,” tegasnya.
Keenam, menulis itu harus dimulai. Bagi seorang pelajar atau santri menulis itu bukan hal baru, sebab sehari-hari sudah akrab dengan aktivitas menulis. Pengalaman menulis dari kecil pun bisa menjadi inspirasi untuk menekuni dunia kepenulisan. Termasuk pengalaman kala menempuh pendidikan tinggi. “Aku mulai menekuni aktivitas kepenulisan sejak kuliah. Saya belajar menulis tentang apa saja yang saya alami, saya lihat dan berbagai hal yang menurutku bermanfaat. Dari situlah aku bisa menulis buku. Dari buku itulah saya biayai kebutuhan pernikahanku, keluargaku dan pendidikanku”, ungkapnya.
Ketujuh, percayalah menulis itu berdampak. Pak Cahya pun bercerita bahwa dulu beliau ingin sekali berkunjung ke berbagai negara di dunia. Namun beliau kala itu hanya bermimpi. Rupanya karya tulis atau buku-buku beliau akhirnya menjadi perantara dari Allah untuk mewujudkan mimpinya. Intinya, kita harus aktif menulis hingga jadi buku lalu publikasi ke mana-mana. Kita bisa membedah buku karya kita di mana-mana. Bisa diundang oleh pembaca di berbagai kota, komunitas lintas latar belakang bahkan jejaring luar negeri. Semuanya menjadi mudah hanya dengan menulis buku.
“Rumahku sekarang adalah rumah dari hasil menulis buku dan bedah buku di berbagai kota dan negara. Aku memperoleh dampak dari usaha menulis buku. Alhamdulillah Allah memberi kekuatan dan kemudahan. Bahkan dengan menulis aku bisa berkunjung ke berbagai negara di dunia. Menikmati kondisi negara lain, bahkan mendapat hadiah lain yang membuat aku terdorong untuk menulis lagi. Begitulah dampak dari kemauan yang kuat untuk punya karya tulis seperti buku,” ujarnya.
Kedelapan, menulis harus disiplin waktu. Menulis juga perlu disiplin waktu, misalnya, kita tentukan menulis minimal 8 menit per hari. Kalau kita sudah terbiasa, maka berikutnya bukan 8 menit lagi, bahkan lebih. Kalau sudah rutin maka kita bakal merasakan sendiri manfaat dan dampaknya. “Saya kalau lagi di bandara, menanti pesawat berangkat, saya manfaatkan untuk menulis. Menulis apa saja, tapi intinya mengisi waktu yang ada untuk menulis. Ada banyak ide yang muncul. Termasuk menulis materi yang akan saya sampaikan saat diundang mengisi seminar,” akunya.
Kesembilan, Menulis dengan gaya sendiri. Menurut Pak Cahya, setiap kita memiliki gaya menulis yang khas. Gaya kita dalam menulis berbeda dengan gaya tulisan siapapun di luar sana. Itulah keunikan kita yang tak perlu disamakan dengan gaya tulisan penulis lain. Bila kita memaksa menulis dengan gaya tulisan orang lain maka kita tidak merdeka dalam menulis. “Gaya saya dan kamu menulis tidak perlu disamakan dengan gaya tulisan Pak Fauzil Adhim, Ustadz Salim A. Fillah, Tere Liye, dan penulis lainnya. Karena sekali lagi, setiap kita memiliki gaya tulisan masing-masing,” ungkapnya.
Pak Cahya pun mengingatkan, agar kita menulis tanpa pamrih. Betul bahwa dengan menulis membuat kita dikenal. Tapi tak usah menulis karena ingin menjadi orang terkenal, sebab yang penting karya kita dikenal dan bermanfaat bagi banyak orang. Karena menjadi orang terkenal itu membuat kita tidak happy dengan diri kita sendiri. Menulis ya menulis saja. Apapun profesi kita, pada dasarnya semuanya bisa menulis dan menekuni dunia kepenulisan. Kita terutama sebagai penekun ilmu pengetahuan, kita harus menulis. Itu bakal menjadi nilai tambah bagi kehidupan dan profesi yang kita tekuni. Apapun profesi kita, kalau dibarengi dengan keahlian menulis, maka itu bakal membuat kita menjadi manusia yang semakin bermakna. (*)