Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Pemuda Negarawan”
Pilkada memang pesta, namun pesta lima tahunan ini mestinya akrab dengan pesta gagasan. Sebab proses ini memiliki dampak signifikan pada keberlangsungan pembangunan daerah. Hal itu jugalah yang membuat kita menjadi sangat optimis bahwa pilkada mampu menghadirkan para pemimpin yang berintegritas, bermoral, berwawasan luas, cekatan, berjejaring dan memiliki kemampuan teknokrasi yang mumpuni. Mereka yang terpilih diharapkan mampu mendengar suara masyarakat dan menindaklanjutinya menjadi kebijakan sekaligus program yang aplikatif.
Manggarai Barat atau Mabar merupakan satu dari ratusan daerah di seluruh Indonesia yang pada 27 November 2024 mendatang mengikuti pilkada serentak nasional. Ini merupakan momentum untuk memilih siapa yang akan memimpin Mabar lima tahun ke depan. Sebagai masyarakat biasa kita tentu memiliki harapan besar agar kelak mereka yang terpilih mampu menghadirkan kepemimpinan yang elok dan transformatif. Sehingga masyarakat Mabar bukan saja dijejali janji basa-basi tapi yang penting mendapatkan kebijakan yang ril sehingga merasakan pembangunan.
Dalam kerangka itu, saya mengajukan beberapa poin agar pilkada Mabar kali ini memiliki nilai tambah daripada sekadar rutinitas basa-basi. Pertama, jadikan pilkada sebagai ajang kompetisi gagasan. Para bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati atau kelak para pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati harus mampu menghadirkan visi-misi dan rencana program kerja yang mudah dipahami oleh masyarakat Mabar. Masyarakat perlu dipertontonkan gagasan pembangunan, sehingga mendapatkan pencerahan sekaligus edukasi yang mendidik.
Melanjutkan pembangunan sekaligus membenahi Mabar butuh gagasan jenial, lebih dari sekadar basa-basi. Apalagi Mabar memiliki potensi yang sangat kaya, maka gagasan para pemimpin harus muncul di ajang pilkada Mabar. Pilkada Mabar dengan segala kelebihan dan kekurangannya harus kita pastikan naik kelas, bukan malah terdistorsi oleh berbagai celaan dan caci maki yang tak perlu. Bahwa mengkritik itu perlu, tapi harus disertai dengan data dan fakta. Misalnya, tentang infrastruktur jalan yang masih belum merasa di seluruh wilayah Mabar. Sangat elegan bila cantumkan data dan faktanya. Minimal foto kondisi jalan yang memang tak sedikit yang masih jauh dari kelayakan.
Kedua, jadikan pilkada sebagai ajang mengenalkan budaya dan adat istiadat. Mabar adalah daerah yang kaya budaya dan adat istiadat. Keluhuran budaya dan adat kita dikenal di banyak tempat dan kota di seluruh Indonesia, minimal seperti yang dikenalkan oleh diaspora Mabar di berbagai kota. Menjaga kelestariannya menjadi tanggungjawab kita bersama. Dalam rangka itu, bagi para pasangan calon yang maju di Pilkada kali ini harus mencerminkan keberpihakan pada budaya dan adat istiadat yang luhur itu. Bukan malah merusaknya dengan hiburan tak bermutu.
Dalam hal praktis, saya mengusulkan untuk menampilkan seniman lokal Manggarai Raya dalam kampanye terbuka. Manggarai Raya tak kehabisan stok seniman, penyair dan sastrawan. Walau belum terkonsolidasi dengan baik, namun sejatinya kita bisa memberi ruang bagi mereka. Sediakan momentum khusus bagi mereka untuk menyampaikan pandanganya terhadap pembangunan Mabar kini dan ke depan. Biarkan mereka menyampaikan dengan jujur apa yang harus dibenahi kini dan ke depan. Mungkin para guru terpilih juga diberi kesempatan untuk menyampaikan isi hatinya selama ini melalui puisi atau sajak.
Sebagai masyarakat biasa, kita sangat kecewa dan resah bila momentum pilkada hanya dijadikan sebagai ajang untuk berbasa-basi, menebar janji palsu dan intrik tak bermutu. Bahkan lebih dari itu, siapapun kita pasti sangat tidak nyaman bila panggung pilkada justru dijadikan sebagai ajang untuk memamerkan “paha”, “pantat” dan “celana dalam”. Pengenalan tokoh dan hiburan di saat pilkada harus tetap menjaga kesopanan dan budaya ketimuran, terutama kita sebagai masyarakat Mabar. Pilkada adalah ajang kompetisi gagasan jenial untuk pembangunan daerah yang butuh kesungguhan dan kerja keras dalam mewujudkannya.
Bila panggung pilkada menampilkan hal-hal seronok dan jorok, tentu pilkada tidak punya nilai edukasi bagi masyarakat. Budaya dan adat istiadat Mabar yang luhur tak mengenal hal semacam itu. Tapi apa jadinya bila budaya dan adat yang luhur itu diacak-acak oleh praktik senonoh dan tak bermutu di atas panggung di momentum pilkada? Apakah istri dan anak gadis para pejabat atau politisi Mabar dan anak-anak gadis di Mabar merasa nyaman sekaligus aman menyaksikan “paha”, “pantat” dan “celana dalam” di pertontonkan di panggung terbuka di momentum pilkada? Naifnya, hal semacam itu dipublikasi secara terbuka dengan tanpa sedikit pun rasa malu. Jadi pilkada Mabar ini, kontestasi gagasan atau pamer celana dalam?
Sekali lagi, pilkada adalah ajang adu gagasan dan rencana program yang realistis bagi kemajuan Manggarai Barat ke depan setelah mereka yang ikut kontestasi mendapat mandat. Menjaga substansi semacam itu mestinya menjadi kewajiban kita semua, terutama mereka yang jadi peserta kontestasi. Bahwa pilkada adalah pesta, itu betul. Tapi pesta yang mendidik dan menjunjung keluhuran, bukan merongrong budaya dan adat istiadat kita yang luhur dan mulia. Elite politik jangan jadi politisi rabun ayam yang di dalam pikirannya hanya kekuasaan, proyek, uang, dan perempuan. Dan, jangan jadi politisi ikan lele yaitu politisi yang tidak memiliki visi-misi politik jangka panjang dan kemanusiaan. (*)