Oleh: Sutan Aji Nugraha
Penulis adalah Pengamat Poltik Tinggal di Cirebon
Pilpres dan pileg serentak 2024 telah menghasilkan beberapa tokoh parlementer yang terverifikasi rakyat Indonesia, dimulai dari pemilihan daerah kota/kabupaten, provinsi hingga pusat. Memproduksi mobilitas masyarakat dalam sukma kebangsaan, teranglah bahwa tanpa suatu politik kebudayaan yang positif, pengerahan mental yang diperlukan tidak akan dapat tercapai.
Filsafat sejarah ialah bidang sejarah yang memang terkenal sebagai bidang yang paling sering dan paling banyak dijelajahi dalam teknologi seperti sekarang ini. Agustinus, Hegel, Marx, Engels, Spengler, Croce, bukanlah ahli sejarah, meskipun nyatalah bekas-bekas pemikiran mereka atas perkembangan sejarah dan pengertian mereka mengenai sejarah.
Saya menulis ini berdasarkan kesadaran mengenai hubungan yang tidak dapat diretakan antara idam-idaman ke-akan-an, hari depan kita, dengan kekinian, waktu sekarang dan kelampauan, yaitu sejarah kita. Artikel yang sekarang akan saya tuliskan ialah gambaran pertanggung jawaban mengenai penghadapan seorang intelektual yang bukan ahli sejarah dengan masalah sejarah Indonesia.
Siapa Gerangan Dani dan Fitria?
Semuanya ini telah menimbulkan kegelisahan, yang sekarang tampaknya hampir mencapai puncaknya sepertinya dijelaskan diatas. Maka lebih mendesak lagi pertanyaan yang sekarang kita hadapi, Siapa gerangan Dani dan Fitria yang masih merasakan hiruk pikuknya pileg 2024 dan yang nanti akan bertarung kembali untuk pilkada serentak 27 November 2024? Pedoman manakah yang harus kita ikuti dalam menghadapi semua persoalan yang baru ini dengan tidak kehilangan pribadi, identitas kita sendiri sebagai yang katanya “orang Cirebon Asli” ?
“Apakah yang mengikat kita menjadi sebuah persatuan – kesatuan lalu bagaimana kita harus mengerti dan menempatkan perbedaan akan pertentangan di antara kita sekarang? Bagaimanakah sampai terjadi perpecahan dan krisis yang seolah-olah menguasai kehidupan kita sekarang ini, dimanakah akar-akarnya, apa obatnya?”
“Apakah kita sekarang terhanyut oleh suatu arus perkembangan sejarah yang tak terbendung lagi? Jikalau demikian, dimanakah kita sekarang, dan ke mana kita hendak bawa. Jika tidak, dapatkah jalannya perkembangan ini dikuasai, dan ke arah mana harus kita membelokkannya?”
Bahwa pertanyaan-pertanyaan itu dapat ditujukan kepada sejarah, sudah menandai suatu kejadian yang sangat penting di kehidupan bangsa kita. Yaitu penerobosan alam pikiran-hayat bersejarah (historich levengevoel) dalam suasana hidup yang tidak bersejarah, yang a-historis, yang sebagian besar masyarakat masih memiliki bekas-bekas kejadian politik dan masih terasa sangat dekat padahal itu semua sudah menjadi bagian sejarah. Susunan hidup a-historis ini sangat berhubungan dengan masyarakat agraris feodal yang statis.
Kita Saat ini Pilkada Kota Cirebon menempatkan Dani Mardani dan Fitria Pamungkaswati sebagai calon kepala daerah (cakada) yang diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dimana mereka berdua merupakan Pimpinan masing-masing dari kedua parpol tersebut. Penempatan paslon iniM sungguh ciamik, mengapa? PDIP yang notabene sebagai partai besar dan memperoleh kursi lebih banyak disbanding PAN namun dengan kesadaran politiknya “mengalah” sebagai Wakilnya.
Keputusan politik semacam ini menuai pro-kontra baik secara internal maupun eksternal. Dalam kancah perpolitikan Kota Cirebon tidak begitu asing dengan kedua nama tersebut, baik Dani ataupun Fitria. Ya, saya mengenal dekat dengan keduanya dan mereka memiliki komitmen serta integritas dalam berpolitik.
Dani Mardani atau saya lebih memanggil Bung Dani merupakan kawan diskusi yang sangat baik, ingin mendengar sekaligus menawarkan “jalan keluar” diluar pikiran-pikiran pada umumnya, “out of the box”. Bung Dani adalah kader intelektual organik yang dimiliki Kota Cirebon sebab ia sedari muda sudah beraktivitas sebagai aktivis gerakan mahasiswa, bergaul dengan sikap dan pikiran “melatar” dan progressif. Pribadi semacam ini tak serta merta dilalui dengan proses instan, regiliusitas dan spiritualitas yang meningkatkan kepercayaan dirinya semakin matang.
Fitria Pamungkaswati dan atau sering ksaya panggil Mba Fitri adalah perempuan muda melalui jalur politik meawakafkan diri sebagai Anggota Legislatif (Aleg) sejak 2014, selisih satu periode dari Bung Dani sebagai aleg Kota Cirebon. Interaksi saya dengan Mba Fitri memang tidak begitu intens namun setiap komunikasi dipastikan berkualitas, baik secara personal maupun keluarga. Mba Fitri dibesarkan sama seperti perempuan pada umumnya, dari kalangan biasa saja sehingga saat diberi amanah sebagai pejabat bahkan Ketua PDIP Kota Cirebon, cara bersikap masih seperti warga masyarakat pada umumnya.
Dalam kepemimpinannya itulah secara otomatis terintegrasi sehingga tak sedikit “kritis” kepadanya. Mba Fitri merupakan representasi seorang perempuan Cirebon, humble, selalu tersenyum ramah dan tidak mengkotak-kotakan dalam bergaul, baik secara politik dan social. Terkadang hal semacam ini selalu disalah artikan oleh masyarakat politik. Ya kembali kepada politik adalah persepsi
Dani – Fitria mengusung Kota Cirebon yang REMAJA (Religius, Maju dan Sejahtera) adalah representasi dari keduanya yang muda, cerdas dan religius ditambah progressif dalam berpikir serta bersikap untuk kesejahteraan. Corak Kota Cirebon tak lepas daripada REMAJA yang diusung. Sebuah akronim yang menggambarkan tentang Kota Cirebon yang perlu “peremajaan” sepanjang kepemimpinan yang sudah ada, baik secara kondisi fisik dan non fisik yang lebih dikenal dengan “Sapta Cipta Damar Pamungkas”. Oleh karenan itu, saya berpikir mereka berdua cukup bahkan dirasa kurang puas berjuang mewujudkan kenaikan taraf hidup masyarakat Kota Cirebon sebagai legislator.
Sosialisme yang dimaksud Tjokroaminoto bukan hanya pemikiran yang dicetuskan di Eropa semata, melainkan bersandar kepada agama dan wajib dilakukan oleh umatnya selama itu merupakan perintah Tuhan. Meskipun mengagumi pemikiran Marx atau Engels, tapi ia menegaskan bahwa sosialisme agama tidak sepenuhnya persis seperti itu.
Prinsip sosialisme, menurut Tjokroaminoto, merupakan salah satu kunci kejayaan pemerintahan Islam di bawah pimpinan Nabi Muhammad. Ia membagi sosialisme-Islam menjadi tiga anasir, yaitu kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), serta persaudaraan (broederschap-fraternity), dan itulah yang bisa menyatukan umat Islam. Kunci dari itu semua adalah loyalitas, ya kesetiaan.
Nyatalah sekarang kita sebagai bangsa, tidak sama penangkapan, penghargaan serta reaksi kita, baik secara emosional maupun secara zakelijk. Malahan reaksi itu seringkali bertentangan. Kesatuan kader seolah-olah terpecah menjadi bagian-bagian tersendiri, yang satu lepas dari yang lain, kadang-kadang menurut garis faksi politik dan atau garis kader pusat, menurut agama dan sekularisme, menurut garis tradisi dan perubahan, dan sudah barang tentu juga menurut ideologi politik. Samahalnya tanpa kesetiaan semua akan dikalikan 0 (nol), artinya sama juga bohong. Kecerdasan, keberanian, ketangkasan, kepopuleran serta militansi seorang kader akan terasa kosong bilamana tak ada nilai kesetiaan dalam cita-cita politiknya. Kwajiban kader amatlah berat. (*)