Oleh: Drs. H. Anwar Yasin
Pembina Mitra Pemuda
Syekh Syarif Hidayatullah atau yang biasa dikenal dengan Sunan Gunung Jati, merupakan salah satu anggota Walisongo yang tersebar di tanah Jawa. Sunan Gunung Jati juga merupakan raja kedua Cirebon, setelah diangkat pada tahun 1479 yang menggantikan pamannya Raden Walangsumsang. Sunan Gunung Jati lahir pada 1448 Masehi.
Selain mengemban misi dakwah, Sunan Gunung Jati juga adalah sosok pemimpin yang bertanggung jawab penuh terhadap kegiatan masyarakat di wilayah kekuasaan Cirebon pada masa itu.
Salah satu wasiat beliau yang sangat mashur adalah “Ingsun Titip Tajug Lan Fakir Miskin” . Artinya “Aku titip masjid dan fakir miskin”. Bila merujuk pada al-Qur’an, sejatinya wasiat Sunan Gunung Jati merujuk pada surat al-Baqarah ayat 43, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
Dalam makna masjid/mushalah (tajug) menggambarkan sebuah bangunan ibadah umat muslim, yang pastinya tempat tersebut memiliki kemuliaan. Dan kemuliaan ini didasari karena masjid sebagai tempat ibadah sholat, berdo’a memohon kepada Allah SWT. Oleh karena itu, pesan yang disampaikan Sunan Gunung Jati dalam kata (tajug) dapat berarti kemuliaan dan keterbimbingan oleh syariat atau agama Allah.
Makna “kemuliaan” tersebut adalah kemuliaan tentang jiwa manusia yang tercipta sebagai sosok manusia yang suci sesuai fitrah aslinya yang suci. Dan dalam hal ini Sunan Gunung Jati memberi pesan tersirat, “jagalah kemuliaan dalam diri”, “jaga keimanan yang Allah celupkan dalam dada atau hati”, “jaga akhlak baik pada sesama”, dan sebagainya.
Pesan seperti ini, bukan sekedar pesan untuk setiap individu, melainkan sebuah misi dari Sunan Gunung Jati yang merupakan seorang pemimpin dan juga wali, untuk menjaga kemuliaan dalam diri, termasuk di dalamnya, ada moral, etika dan lain sebagainya.
Misi tersebut juga bertujuan agar setiap individu memiliki tanggung jawab kepada dirinya atas apa yang dia kerjakan. Perilaku seperti ini hanya bisa diwujudkan dengan ilmu dan pengetahuan, tentunya hal tersebut adalah dengan diadakannya pendidikan. Jika ditinjau pada masa sekarang, pesan dari misi tersebut seperti pada cita-cita bangsa Indonesia yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Meskipun dalam pandangan lain pesan tersebut menyuruh untuk menghidupkan tempat ibadah, yang di dalamnya terdapat ibadah-ibadah ritual seperti shalat. Namun lebih luas lagi, masjid bisa dijadikan tempat pendidikan, dengan tujuan finalnya menciptakan generasi yang memiliki moral, etika, etiket dan lain sebagainnya, untuk mewujudkan peradaban maju suatu masyarakat bahkan bangsa.
Dengan demikian, masjid sebagai komponen untuk meningkatkan kualitas kemuliaan bukan saja dalam dimensi keimanan, melainkan juga sebagai sarana pendidikan yang menuntut pada ilmu dan pengetahuan. Dengan demikian, masjid mestinya bukan saja sebagai tempat melaksanakan shalat tapi juga menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran pada masyarakat luas.
Lalu, dalam kata Fakir Miskin yang merupakan isyarat Sunan Gunung Jati ini ditujunkan bukan hanya fakir miskin seperti, anak yatim-piatu, kaum du’afa dan lainnya. Akan tetapi lebih luas lagi, Sunan Gunung Jati sebagai seorang raja ingin menciptakan keadilan bagi masyarakatnya, terutama keadilan hukum, ekonomi dan sosial itu sendiri.
Dalam UUD 1945 juga terdapat pesan “pelihara fakir miskin”, artinya secara garis besar kedua pesan yang disampaikan Sunan Gunung Jati dan UUD 1945 memiliki tujuan yang sama, yaitu keadilan sosial. Bahkan sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43 tadi.
Bentuk keadilan sosial tersebut adalah memberi jaminan kesehatan, pendidikan, supermasi hukum, dan kesetaraan lainnya, yang harus diperhatikan oleh seorang pemimpin sebagai penentu kebijakan urusan publik luas.
Sunan gunung Jati hendak menegaskan betapa perlunya saling peduli dan perhatian pada sesama. Mereka yang memiliki kelebihan harta mesti peduli pada mereka yang kekurangan harta. Mereka yang kekurangan santun pada mereka yang berkelebihan dalam harta. Saling membantu dan menolong sesama didasari atas keimanan dan kepedulian yang tinggi.
Saling membantu bukan saja dalam aspek ekonomi, tapi juga pada aspek lain seperti pendidikan. Hal ini sangat perlu karena pendidikan dapat meningkatkan kecerdasan masyarakat agar bisa berkembang dan mandiri.
Pesan dari Sunan Gunung Jati juga mengajak untuk para pemimpin, untuk kembali kepada panggilan moral, yang final. Tidak hanya mementingkan diri, tetapi ada hak masyarakat, yang harus ditunaikan.
Baik pemimpin maupun masyarakat biasa mesti memiliki kesadaran yang terjaga betapa perlunya mendirikan nilai-nilai shalat dalam kehidupan ril, di samping meningkatkan kepedulian pada sesama tanpa pandang buluh dan status sosial tertentu. Hal lain, tentu saja Sunung Gunung Jati hendak mengingatkan kita agar selalu dalam kebaikan dan bersama dengan orang-orang yang berbuat baik.
Dalam konteks kepemimpinan publik, kita dijuga diingatkan agar mendukung dan memembela yang baik, moralitasnya baik dan tidak tersangkut kasus amoral. “Ruku’ bersama orang-orang yang ruku’” artinya kita mesti menjadi orang baik dan benar serta bersama dengan orang-orang yang baik dan benar.
Kita mesti memastikan pemimpin yang kita pilih adalah orang-orang yang memiliki rekam jejak yang baik, tidak tersangkut kasus amoral, dan menjaga nilai-nilai shalatnya dalam kehidupan sehari-hari. Pemimpin semacam itulah yang mampu menjalankan wasiat Sunan Gunung Jati dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. []