Oleh: Syamsudin Kadir
Traveler dan Pecinta Cirebon
Dari zaman Sunjaya sudah bicara ini: kolaborasi. Itu berkali-kali. Memang wacana jadi tindakan? Itu pertanyaan yang kerap muncul saat wacana kolaborasi itu diucapkan oleh mereka yang punya kuasa atau yang hendak berkuasa. “Ujungnya Pemda jadi ayam sayur di hadapan pengemis. Itu fakta!,” ucap seorang teman dengan mimik miris dan pesimis.
Destinasi wisata Gunung Jati masih tak begitu nyaman bagi pengunjung, terutama yang berasal dari luar kota dan wisatawan asing. Mereka muak dikejar pengemis kala tiba di lokasi. Belum apa-apa sudah diburu bahkan kerap dipaksa untuk memberi sekian rupiah. Itulah realitasnya selama ini.
Bayangkan, negara kalah sama pengemis! Tragis tapi nyata. Bikin kita gigit gigi menyaksikan kondisi serupa dibiarkan berlarut-larut. Keluhannya sama saja: banyak pengemis, dikejar-kejar, engga nyaman dan masih banyak lagi.
Terlihat sengaja dibiarkan, demi oknum yang memang seperti sengaja dipelihara juga. Siapa mereka, kok begitu kokoh sehingga membuat destinasi Gunung Jati tak ramah pengunjung dan jadi perbincangan yang terkesan tak menarik?
Atau perlu “preman timur” yang rada galak diberi mandat untuk menuntaskan semuanya selama 30 hari? Itu jalan “liar” yang wajar bila instrumen negara memilih berdiam diri atau terkesan membiarkan kondisi yang terjadi.
Tapi ya itulah. Sekadar jago berwacana, tak ada eksekusi. Mengkondisikan pengemis saja loyonya minta kopi panas. Padahal kalau memiliki tekad yang kuat dan kepemimpinan yang power full, maka semuanya bakal terjadi pembenahan mendasar. Bukan omon-omon ya Kang Imron-Jigus!
Akhirnya begitu-begitu saja. Bahkan sejak sekian dekade tak ada event internasional di Cirebon. Atau ada yang mengingatkan saya perihal adanya event internasional di Cirebon selama beberapa tahun terakhir? Kalau ada, coba sebutkan apa saja dan berlangsung di mana saja, lalu apa dampaknya pada kemajuan destinasi, atau pada PAD Cirebon?
Jujur saja, berkunjung ke Gunung Jati engga nyaman banget bagi masyarakat global yang akrab dengan kenyamanan. Mereka engga betah diburu pengemis yang kerap memaksa. Sederhana banget: pengunjung sangat tidak nyaman!
Para bule dan traveler saja engga nyaman berkunjung. Berkunjung yang awalnya untuk menemukan banyak inspirasi, justru buyar karena kondisi tak nyaman. Paling yang datang hanya sekian dan engga begitu besar dampaknya pada PAD. Bahkan mungkin tak sepeser pun. Atau ada yang tau berapa pemasukan dari sektor ini pada PAD, atau Desa setempat?
Bagi mereka atau wisatawan luar atau asing, lebih baik berkunjung ke Bali dan Labuan Bajo yang nol pengemis. Atau ke Yogyakarta yang pelayanannya benar-benar profesional. Pengunjung nyaman dan bahagia kala berfoto bareng keluarga. Tak ditarik-tarik oleh pengemis yang jago memaksa.
Kalau di destinasi Gunung Jati, kita baru turun dari kendaraan saja sudah mulai dikejar pengemis. Saat masuk pintu masuk begitu juga. Dan jumlahnya banyak sekali. Kita juga sudah membedakan mana pengemis dan mana petugas yang mungkin ditugaskan untuk melayani pengunjung.
Padahal kalau tempat pengumpulan sedekah atau apalah namanya itu terpusat, maka lebih nyaman untuk pengunjung. Misalnya, tiket masuk Rp 25.000 per pengunjung. Atau mungkin Rp 50.000. Itu tak soal, asal terpusat, bukan liar. Asal pengelolaan destinasinya apik dan bikin nyaman pengunjung. Saya uang segitu tak seberapa.
Jadi solusinya adalah transformasi pengelolaan destinasi Gunung Jati. Bagi saya, semuanya terpusat. Tak ada pengelola yang terkesan liar. Unsurnya Dinas, Desa dan elemen Keraton atau masyarakat sekitar yang mengikuti pembinaan dan pelatihan.
Mungkin Dinas terkait atau mereka yang punya wewenang untuk itu perlu belajar ke beberapa tempat. Untuk melakukan studi banding tak perlu biaya besar. Karena memang hanya mendengar cara mereka mengelola destinasi wisata. Atau cukup fokus pada adaptasi konsep dan manajemen pengelolaan destinasi. Hanya itu saja.
Kalau kita mampu, saya optimis bakal ada perubahan radikal. Asal kita serius dan berani berbenah sekaligus bertindak cepat. Butuh waktu memang, tapi kita harus berani memulai. Start dari sekarang. Bukan menanti ratu adil dari langit.
Sehingga ke depan destinasi Gunung Jati lebih nyaman bagi pengunjung dari mana pun mereka berasal. Dampaknya tentu saja pemasukan untuk daerah atau pendapatan asli daerah (PAD) dari pengunjung ke destinasi tidak saja berasal dari volume barang belanja mereka di mall besar tapi juga dari pengelolaan destinasi Gunung Jati itu sendiri.
Cirebon ini sangat potensial dan kaya banget bila dibandingkan dengan daerah lain. Nilai, budaya dan segala macamnya punya nilai sejarah. Benar-benar kaya. Bahkan dari segi sejarah, Cirebon ini lebih wah dari Kota Bandung dan beberapa kota atau daerah lainnya di Jawa Barat.
Kalau saja dikelola dengan apik, bakal jadi model bagi daerah lain bahkan negara lain. Bahkan Cirebon bisa menjadi daerah kunjungan paling prioritas dari daerah lainnya di seluruh Indonesia. Bayangkan saja bila pengunjung nyaman, mereka bakal berkunjung berkali-kali. Bahkan menjadi penyebar informasi yang apik bagi calon pengunjung lainnya agar segera ke Cirebon, khususnya lagi destinasi Gunung Jati.
Sayang seribu sayang destinasi hanya jadi tontonan dan tempat berkeliarannya para pengemis. Atau apalah sebutan terhormatnya. Maaf, bila saya salah sebut. Benaran, ini benar-benar suara hati. Mungkin pengumpul infak sedekah. Terserahlah namanya apa!
Ya, pertanyaan mendasarnya adalah mengapa destinasi Cirebon termasuk Gunung Jati kalah pamor sama Komodo yang cuma binatang biasa? Mengapa destinasi Gunung Jati masih dianggap tempat yang tak ramah pengunjung bila dibandingkan dengan destinasi lainnya?
Labuan Bajo yang berlokasi di Manggarai Barat (Flores, NTT) itu sering dijadikan sebagai lokasi event internasional sejak 2013 silam. Padahal bukan lokasi perdagangan global. Bukan pula tempat para wali bermusyawarah. Hanya biawak saja andalannya. Benaran biawak!
Tapi lagi-lagi dikelola secara profesional. Mungkin ada kekurangan sana sini, tapi terus dilakukan pembenahan. Akhirnya menjadi destinasi yang menarik bagi para pengunjung bahkan berbagai negara di dunia. Sehingga berdampak pada PAD. Siapa yang tak mau berkunjung ke Taman Nasional Komodo (TNK), pulau Padar, pantai Pink dan sebagainya di ujung barat NTT itu? Indahnya aduhai…
Walau dari segi kesejahteraan masyarakat di Manggarai Barat masih butuh waktu dan proses yang panjang, tapi berbagai event global seperti Sail Komodo 2013, G 20, ASEAN SAMMIT, Polisi Wanita Dunia, Intelijen Dunia dan lain-lainnya, menjadi bukti bahwa pengelolaan destinasi yang profesional menjadi kunci penting dan karena itu tak bisa ditawar-tawar lagi.
Bila Cirebon hendak naik kelas seperti Bali, Jogjakarta dan Labuan Bajo, maka mereka yang berwenang mesti berani bertransformasi. Baik dari sisi regulasi dan wewenang maupun tata kelola dari hal besar hingga hal-hal sepele.
Paslon terpilih pada Pilkada 27 November 2024, Kang Imron – Jigus, berani melakukan apa setelah dilantik nanti? Itu pertanyaan mendasar yang perlu dijawab. Terutama oleh Kang Imron selaku Bupati terpilih yang sudah sering berwacana soal itu sejak beberapa tahun lalu. Begitu juga Kang Jigus yang dianggap mampu melakukan terobosan baru.
Atau masih menggunakan pola lama yang tak berdampak signifikan bagi PAD dan kemajuan daerah? Kita berharap ada pembenahan mendasar dalam banyak aspeknya. Kuncinya adalah pemimpin yang berani memilih dan bertindak dengan pola yang relevan.
Tanpa kita berharap dan bersuara lantang pun, sebetulnya bila Paslon ini (Kang Imron-Jigus) serius dan berani, maka bakal terjadi transformasi dan perubahan mendasar. Bukan sekadar basa-basi atau hangat-hangat tahi ayam!
Maaf Kang Imron – Jigus. Ini sekadar suara hati saya sebagai warga biasa, yang memang suka jalan-jalan menikmati destinasi di Cirebon termasuk di Gunung Jati. Bukan karena hendak mengemis proyek seperti yang sering dilakukan sebagian pihak selama ini. Sama sekali tidak.
Bagi saya, ini benar-benar wujud cinta pada Cirebon yang berlabel Kota Wali, Kota Udang dan kota lainnya. Termasuk sebagai pelengkap ulasan saya pada buku saya yang berjudul “Selamat Datang Di Kota Cirebon” (tebal 150 halaman) yang sudah diterbitkan pada September 2021 lalu.
Walau buku tersebut bertema Kota Cirebon, namun isinya juga mencakup destinasi di Kabupaten Cirebon, termasuk Gunung Jati. Saya benar-benar gemes melihat destinasi Gunung Jati tak seramah yang diduga sebagian orang yang belum berkunjung. Karena itu saya bersuara apa adanya tanpa iming-iming dari siapapun. Semoga ada telinga yang mendengar dan ada hati yang bergerak! (*)