Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Membaca Politik Dari Titik Nol”
“Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien seperti Malaysia. Bahkan juga India. Mereka sekali memilih anggota DPRD, ya sudah, DPRD itulah yang memilih gubernur, walikota,” ungkap Presiden Prabowo Subianto pada saat memberikan sambutan pada puncak Perayaan HUT ke-60 Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat, Kamis 12 Desember 2024 lalu.
Ya, isu mengenai kepala daerah yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menjadi sorotan setelah Presiden Prabowo Subianto mengusulkan wacana tersebut. Prabowo menyarankan agar tugas memilih gubernur hingga bupati atau walikota diserahkan kepada DPRD, karena dinilai lebih efisien dan dapat mengurangi biaya dalam pelaksanaan Pilkada. Sehingga anggaran pilkada bisa dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti pendidikan gratis, makan gratis, irigasi dan pembangunan infrastruktur juga penguatan ekonomi.
Menantu Soeharto ini menyoroti besarnya biaya politik yang harus ditanggung oleh peserta Pilkada. Ia pun mengusulkan perlunya evaluasi bersama terhadap sistem yang ada. “Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing…. Uang yang bisa beri makan anak-anak kita, uang yang bisa perbaiki sekolah, bisa perbaiki irigasi,” ungkap Prabowo dengan nada cemas.
Pro-Kontra perihal wacana ini pun menyeruak di berbagai forum dikusi dan perbincangan media massa terutama TV. Beberapa menteri di Kabinet Merah-Putih mengafirmasi apa yang disampaikan presiden ke-8 tersebut. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengamini hal tersebut. Hanya saja diperlukan pengkajian yang mendalam, sehingga lebih terarah dan memberi jalan keluar. Karena itu, biarkan wacana tersebut menjadi diskursus di berbagai forum publik.
Pakar hukum tata negara Herdiansyah Hamzah mengatakan sistem pilkada langsung oleh rakyat saat ini telah membuka ruang publik agar bisa mengontrol dan mengawasi elite politik yang bermental dan bertindak korup. Sementara, pilkada dipilih DPRD justru menimbulkan mudarat bagi keberlangsungan demokratisasi yang sudah dikoreksi pada awal reformasi 1998 silam. Bila kembali ke masa lalu, maka Indonesia semakin mundur.
Hal tersebut diafirmasi oleh Haykal, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Menurtut Haykal, Indonesia menganut asas otonomi daerah, karena itu wacana kepala daerah dipilih DPRD tidak cocok diterapkan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Sebagian kalangan juga menilai, wacana tersebut justru menimbulkan kegaduhan yang tak perlu terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang sedang dihadapkan dengan berbagai tantangan hidup yang tak bertepi seperti minimnya lapangan kerja, pengangguran, kesulitan ekonomi dan kejenuhan atas berbagai tindak tanduk culas elite sehingga tak tak layak diteladani.
Bila kita menelisik sepintas, maka pemilihan kepala daerah melalui DPRD memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Kelebihannya, misalnya, (1) Lebih efesien. Pilkada melalui DPRD memang lebih efesien karena tidak butuh banyak anggaran seperti pilkada langsung yang perlu penyediaan logistik dan alat peraga kampanye dalam jumlah banyak, serta membayar honor penyelenggara.
Selanjutnya (2) Politik lebih stabil . Pilkada melalui DPRD cenderung membuat politik lebih stabil karena prosesnya lebih terstruktur. Tidak banyak dinamika kampanye yang melibatkan massa. (3) Polarisasi dan politisasi berkurang. Pilkada langsung sering memunculkan polarisasi politik bahkan politisasi agama, suku, dan lainnya. Jika pemilihan lewat DPRD, tentu saja potensi ini berkurang.
Lalu, (4) Fokus pada kompetensi. Calon kepada daerah yang akan dipilih lebih fokus pada kompetensi, pengalaman, rekam jejak. Bukan sekadar popularitas. (5) Politik uang berkurang. Salah satu dampak buruk pilkada langsung adalah maraknya praktik politik uang atau money politic. Jika pemilihan melalui DPRD, tentu politik bagi-bagi uang, sembako, dan lainnya sebagainya akan berkurang. Tetapi bisa saja politik uangnya nanti terjadi di kalangan DPRD sendiri. Sebuah kenyataan yang tidak kita harapkan. (6) Penguatan DPRD. Jika pilkada melalui DPRD, maka posisi DPRD tentu lebih kuat dan berperan lebih besar dalam menentukan arah kebijakan pemerintah.
Hal lain, (7) Mengurangi konflik. Pilkada langsung kerap menimbulkan konflik antarkandidat maupun kubu pendukung. Pemilihan lewat DPRD dapat mengurangi potensi itu. (8) Lebih efektif. Pilkada melalui DPRD akan lebih cepat karena tidak memerlukan proses panjang seperti sosialisasi, kampanye, penyaluran logistik, hingga rekapitulasi suara berjenjang.
Kemudian, (9) Pemilihan lebih rasional. DPRD dapat lebih rasional dalam memilih kepala daerah berdasarkan kriteria yang lebih objektif dan terukur, seperti kemampuan mengelola anggaran dan pembangunan. (10) Hubungan eksekutif dan legislatif lebih kuat. Pilkada melalui DPRD akan membuat hubungan eksekutif dan legislatif lebih kuat dalam kerja sama.
Adapun kekurangan Pilkada Melalui DPRD, diantaranya, (1) Tidak demokratis. Pilkada melalui DPRD tentu saja tidak demokratis, karena rakyat tidak bisa terlibat langsung menentukan pemimpinnya. Dalam demokrasi, rakyat punya hak suara dan hak itu tidak bisa digunakan jika sistem pilkada tidak langsung. (2) Partisipasi publik nihil. Pilkada melalui DPRD tentu saja melibatkan elite politik. Publik tidak bisa terlibat langsung dalam menentukan pilihan, sehingga rakyat bisa saja tidak akan puas dengan pilihan DPRD. Publik juga tidak leluasa terlibat dalam pembangunan, karena kepala daerah akan lebih berkompromi dengan partai pemilihnya ketimbang mendengar aspirasi rakyat.
Kemudian, (3) Politik transaksional. Pilkada melalui DPRD akan menjadi ajang transaksi politik. Pemilihan kepala daerah akan lebih didasarkan pada kesepakatan antara partai atau kelompok, bukan pada kepentingan masyarakat. (4) Korupsi dan nepotisme merajalela. Potensi korupsi dan nepotisme akan terbuka lebar jika pilkada melalui DPRD. Sebab, pemilihan akan cenderung lewat kesepakatan politik melalui suap-menyuap untuk memuluskan hasrat politik calon kepala daerah. Bisa saja calon kepala daerah akan jadi “sapi perah” oleh elite politik yang selama ini ditengarai kerap melakukan tindakan serupa.
Hal lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah (5) Kepala daerah tak bertanggung jawab ke rakyat. Salah satu dampak negatif pilkada melalui DPRD adalah melahirkan kepala daerah yang tidak memiliki tanggung jawab terhadap rakyat, karena mereka tidak dipilih oleh rakyat. Kepala daerah akan cenderung tunduk kepada partai politik atau DPRD yang memilihnya ketimbang mengabdi kepada rakyat. (6) Parpol makin berkuasa. Partai politik akan semakin berkuasa jika pilkada melalui DPRD, karena pemilihannya akan ditentukan oleh partai pemilik kursi terbanyak. Mereka akan cenderung memilih berdasarkan kepentingan politik kelompoknya, dan mengabaikan aspirasi rakyat.
Sehingga dampaknya, (7) Kepercayaan publik turun. Tentu saja kepercayaan masyarakat terhadap kepala daerah yang dipilih DPRD akan menurun, karena mereka tidak punya kontrol langsung pada proses pemilihan. Pemimpin yang terpilih akan dianggap hanya mewakili pemilihnya. Dan, (8) Ketergantungan pada partai politik. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD sering kali mengutamakan calon yang didukung oleh partai besar, sehingga calon berkualitas yang tidak mampu dapat dukungan parpol besar sulit terpilih.
Ditambah lagi dengan (9) Berkurangnya kontrol publik. Pengawasan oleh publik sangat dibutuhkan agar pemerintahan bisa berjalan dengan bersih dan tidak korup. Namun, jika kepala daerah dipilih DPRD maka kontrol publik bisa berkurang. Akses publik berpotensi dibatasi. (10) Calon yang dicintai rakyat sulit terpilih. Calon kepala daerah yang dicinta rakyat akan sulit terpilih jika tidak bisa mendapat dukungan dari partai penguasa DPRD. Tidak mudah mendapatkan dukungan partai yang punya banyak kepentingan. Praktik politik uang akan terbuka pada tahapan ini.
Wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD memang menarik simpati kita pada isu pilkada, apapun cara yang dipilih kelak. Besarnya anggaran Pilkada perlu jalan keluar sehingga meminimalisir pemborosan dan pembiayaan, di samping perlunya independensi penyelenggara dan pengawas (KPU, KPUD, Bawaslu, DKPP) serta aparat TNI-Polri. Bila penyelenggara dan pengawas Pilkada serta aparat tidak menjadi partisan dan tidak berpihak kepada pasangan calon di Pilkada, pasangan calon dan partai pengusung tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk saksi. Solusinya tegas: penyelenggara dan pengawas serta aparat mesti bersikap dan bertindak sesuai tugas dan fungsi, sehingga menumbuhkan kepercayaan masyarakat.
Hal lain, partai politik mesti lebih fungsional dalam hal rekrutmen, kaderisasi dan pendidikan politik juga partisipasi politik, di samping untuk menyerap, menghimpun, dan menyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara, termasuk kebijakan daerah. Partai politik mesti memperkokoh struktur dan lebih giat dalam menjalankan tanggungjawab sebagai instrumen penyokong utama bagi berlangsungnya penyelenggaran pemerintahan.
Berbagai tantangan hidup yang menimpa masyarakat perlu diselesaikan dengan berbagai cara yang terintegrasi seperti penambahan lapangan kerja, pendidikan sekaligus pelatihan tenaga kerja produktif, penguatan sekaligus permodalan UMKM, dan penegakan hukum yang lebih tegas pada pejabat yang terlibat korupsi. Di samping itu, DPR dan Presiden yang memiliki fungsi melahirkan Undang-Undang (legislasi) mesti mampu berpikir jernih sehingga menghasilkan solusi yang terbaik, bukan sibuk kongkalikong dalam rangka menghabiskan anggaran negara yang bersumber dari pajak rakyat.
Pilkada adalah kompetisi politik untuk memilih pemimpin daerah. Ia adalah cerminan nilai-nilai Pancasila yang kita junjung bersama sejak negara ini diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 silam. Meskipun berbagai tantangan masih tersedia begitu rupa, kita mesti optimis bahwa politik Indonesia akan terus berkembang menjadi lebih inklusif, adil, dan bermartabat. Setiap elemen masyarakat—pemerintah, kandidat, pemilih, dan pengawas—memiliki peran penting untuk memastikan bahwa Pilkada yang akan datang mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan memperkuat persatuan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)