Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Merawat Indonesia”
HARVEY Moeis, suami artis Sandra Dewi sekaligus terdakwa selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) divonis pidana penjara selama 6,5 tahun terkait kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada 2015–2022.
Hakim Ketua Eko Aryanto mengatakan alasan pihaknya menjatuhkan hukuman 6,5 tahun penjara lantaran Harvey terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan secara bersama-sama.
Ya, Harvey Moeis baru-baru ini dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah. Kasus ini disebut telah merugikan negara sebesar Rp 300 triliun.
Harvey Moeis terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ke-1 KUHP.
Adapun, putusan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya. Dalam tuntutan, Harvey Moeis dituntut agar dijatuhkan pidana penjara selama 12 tahun serta pidana denda sejumlah Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun.
Selain itu, Harvey Moeis juga dituntut agar dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp 210 miliar subsider pidana penjara selama 6 tahun.
Presiden Prabowo Subianto mengkritik vonis ringan yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis tersebut. Presiden meminta para hakim untuk tidak memberikan vonis ringan kepada pelaku yang merugikan negara dalam jumlah besar.
Pernyataan ini disampaikan presiden dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional atau Musrenbangnas RPJMN 2025-2029 di Bappenas, Jakarta, pada Senin 30 Desember 2024 lalu.
Pada forum tersebut presiden menegaskan beberapa hal penting. Pertama, koruptor layak dihukum berat. Menurut presiden, bila jelas melanggar dan mengakibatkan kerugian negara, maka hakim tidak boleh main-main untuk memberikan vonis pada mereka yang korup. Menurut presiden, para koruptor mesti divonis berat, agar taka da lagi kerugian negara.
“Saya mohon ya, kalau sudah jelas melanggar, jelas mengakibatkan kerugian triliunan, ya semua unsurlah, terutama juga hakim-hakim, ya vonisnya jangan terlalu ringan lah. Nanti dibilang Prabowo enggak ngerti hukum lagi,” ujar Presiden Prabowo.
Kedua, hakim dan pejabat jangan membodohi masyarakat. Presiden menilai masyarakat jangan dibodohi, sebab masyarakat juga menyadari bahwa vonis terhadap Harvey Moeis, yang merugikan negara ratusan triliun, hanya beberapa tahun penjara. Presiden meminta agar hakim tak boleh ceroboh yang membuat koruptor malah diberi angin segar, bahkan kelak saat di penjara justru mendapat fasilitas mewah seperti AC, kulkas dan TV.
“Tapi rakyat pun ngerti. Rakyat di pinggir jalan ngerti. Rampok triliunan, ratusan triliun, vonisnya sekian tahun. Nanti jangan-jangan di penjara pakai AC, punya kulkas, pakai TV, tolong Menteri Pemasyarakatan ya,” tegas presiden.
Ketiga, jasa jangan ragu dalam menuntut. Presiden juga mempertanyakan apakah Jaksa Agung akan mengajukan banding atas vonis tersebut. Presiden menegaskan bahwa vonis yang seharusnya diberikan kepada Harvey Moeis adalah 50 tahun penjara, bukan penjara ringan.
“Jaksa Agung, naik banding enggak? Naik banding ya. Naik banding. Vonisnya ya 50 tahun begitu kira-kira,” ungkap presiden.
Hal ini menjadi bukti bahwa presiden sangat tegas anti korupsi dan berkomitmen pada pemberantasan korupsi. Presiden hendak menegaskan bahwa hukuman untuk koruptor mestinya tidak mencederai perasaan masyarakat dan keadilan hukum.
Apa yang disampaikan oleh presiden sejatinya mewakili suara nurani masyarakat selama ini. Dimana koruptor kerap mendapat vonis ringan dan fasilitas mewah, sementara pencuri ayah dihukum berat dan tak mendapat fasilitas apa-apa. Padahal koruptor kakap mestinya dihukum berat, bahkan bila memungkinkan dihukum mati. Karena selain merusak citra bangsa Indonesia di mata internasional, mereka juga telah menghambat kemajuan perekonomian negara.
Ketegasan presiden pada praktik korupsi juga sudah disampaikan pada usai pelantikan dirinya di Gedung DPR-MPR, Ahad 20 Oktober 2024 lalu. Kala itu presiden menegaskan perlunya perbaikan system dan penegakan hukum yang tegas pada koruptor.
“Saya sudah katakan, kita harus berani menghadapi dan memberantas korupsi dengan perbaikan sistem, dengan penegakan hukum yang tegas, dengan digitalisasi. Insya Allah kita akan kurangi korupsi secara signifikan,” ungkap presiden dalam pidato perdananya usai pelantikan.
Presiden juga menegaskan agar budaya mark-up proyek, penyelundupan, dan manipulasi anggaran harus dihapuskan karena merugikan negara dan rakyat. Untuk itu, aparat pemerintah memiliki peran penting dalam memastikan pengelolaan anggaran yang bersih dan transparan. (*)