Oleh : Riza Zulfa
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram
Korupsi merupakan salah satu permasalahan serius yang terus menjadi tantangan besar bagi Indonesia, terutama dalam sektor politik dan bisnis. Praktik korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial tetapi juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi hukum. Oleh karena itu, perhatian dari aparat penegak hukum sangatlah penting untuk memberantas tindak pidana ini secara menyeluruh.
Salah satu kasus korupsi yang mendapat sorotan adalah yang melibatkan Harvey Moeis, suami dari aktris Sandra Dewi. Harvey Moeis dinyatakan terbukti bersalah dalam kasus terkait tambang timah, yang menyebabkan kerugian negara diperkirakan mencapai hampir 300 triliun rupiah. Kasus ini mencerminkan betapa besar dampak korupsi terhadap perekonomian dan sumber daya alam negara.
Kerugian sebesar itu tidak hanya mempengaruhi pendapatan negara tetapi juga merugikan masyarakat luas yang seharusnya mendapatkan manfaat dari sumber daya tersebut. Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa kolaborasi antara pihak berwenang, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan, sangat dibutuhkan untuk mengusut tuntas kejahatan semacam ini.
Alih-alih memberikan hukuman berat sebagai bentuk efek jera atas tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta justru menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara kepada terdakwa Harvey Moeis, yang jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan awal jaksa, yaitu 12 tahun penjara. Putusan ini memicu kontroversi dan kekecewaan di kalangan masyarakat karena dianggap tidak sebanding dengan kerugian negara yang mencapai hampir 300 triliun rupiah akibat kasus tambang timah yang melibatkan terdakwa.
Persoalan lain yang memperburuk situasi adalah alasan yang digunakan hakim untuk meringankan hukuman. Salah satu pertimbangan tersebut adalah bahwa terdakwa dianggap berlaku baik kepada keluarganya. Alasan ini dinilai sangat sederhana dan tidak relevan dengan tingkat kejahatan yang telah dilakukan, mengingat korupsi berdampak luas pada perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat. Tindakan seperti ini juga menimbulkan persepsi bahwa hukum di Indonesia lebih berpihak kepada pelaku kejahatan kelas atas dibandingkan dengan masyarakat biasa.
Keputusan ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam sistem peradilan, yang seharusnya mengedepankan keadilan dan memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Ketika kerugian negara yang sangat besar tidak diiringi dengan hukuman yang setimpal, pesan yang disampaikan kepada masyarakat adalah bahwa korupsi masih dapat “ditoleransi” selama pelaku memiliki pengaruh atau alasan yang dianggap “baik.”
Kasus ini harus menjadi momentum bagi pemerintah dan aparat hukum untuk mengevaluasi sistem penanganan korupsi di Indonesia. Perlu adanya reformasi dalam pemberian hukuman agar sesuai dengan dampak yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Selain itu, masyarakat harus terus didorong untuk mengawasi dan mengkritisi keputusan hukum yang tidak mencerminkan rasa keadilan.
Pada akhirnya sebuah Pertanyaan muncul mencerminkan keresahan yang dirasakan oleh banyak masyarakat Indonesia terhadap penegakan hukum dalam kasus korupsi. Bukankah keputusan yang ringan terhadap pelaku korupsi menjadi indikator melemahnya sistem hukum kita? Hukuman yang tidak setimpal dengan dampak kejahatan hanya akan memberikan ruang bagi para pelaku untuk merasa aman melakukan tindak pidana serupa. Bahkan, seolah-olah ada sinyal bahwa korupsi bukanlah kejahatan besar yang perlu ditakuti.
Ironisnya, meskipun sudah banyak kasus korupsi yang diusut dan pelakunya dihukum, kasus baru terus bermunculan. Hal ini menunjukkan adanya akar masalah yang lebih dalam, seperti lemahnya pengawasan, celah dalam regulasi, dan budaya permisif terhadap korupsi. Sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir melawan kejahatan, malah kerap kali menunjukkan ketidaktegasan atau bahkan keberpihakan kepada pelaku dengan alasan yang kurang relevan.
Korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral dan budaya. Ketika pelaku korupsi diberikan hukuman yang ringan, efek jera tidak tercapai, dan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum. Korupsi menjadi semakin masif karena para pelaku merasa risiko yang mereka hadapi tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat.
Semoga kondisi hukum kita segera pulih. Hal ini membutuhkan reformasi menyeluruh dalam sistem hukum, termasuk penegakan sanksi yang lebih tegas dan konsisten, tanpa memandang status atau latar belakang pelaku. Pendidikan antikorupsi juga harus diperkuat, dimulai dari tingkat pendidikan dasar hingga tingkat pemerintahan. Selain itu, peran masyarakat sangat penting untuk terus mengawasi, melaporkan, dan mengkritisi setiap tindakan korupsi dan keputusan hukum yang tidak adil.
Perubahan ini tidak mudah dan tidak instan. Namun, dengan komitmen bersama, Indonesia masih memiliki harapan untuk menjadi negara yang bersih dari korupsi dan memiliki sistem hukum yang kuat, transparan, dan berkeadilan. Hukum harus menjadi pedoman yang tidak hanya menakutkan bagi pelaku kejahatan, tetapi juga menjadi penjaga moralitas bangsa. (*)