Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Kalo Cinta, Nikah Aja!”
PADA Kamis 23 Januari 2025 malam saya mendapat undangan untuk mengikuti acara Webinar “Sharing Pengalaman Menerbitkan Buku Di Penerbit Nasional” dengan narasumber sosok intelektual muda sekaligus penulis produktif nasional asal Jawa Timur. Kaum muda Indonesia, terutama kaum milenial, tak asing dengan sosoknya. Ia memang menjadi “motivator” kepenulisan yang sangat handal. Sebab bukan sekadar berbasis pada teori yang melangit, tapi benar-benar praktis. Ia berbicara berdasarkan pengalaman selama satu dekade lebih aktif menulis buku dan diterbitkan oleh terbit mayor, bukan sekadar indie.
Pembaca bisa menebak namanya. Ya, kan ada di judul tulisan ini. Tapi izinkan saya untuk menyebut ulang namanya nanti. Pada awal materinya ia berbagi pengalaman awal-awal menekuni dunia kepenulisan. Mas yang murah senyum ini mengaku bahwa dulu ia menulis naskah sendiri. Setelah itu untuk biaya cetak ia peroleh dari tabungan sendri. Dan yang tak kalah serunya adalah ia menjual atau mempublikasi buku-bukunya ke banyak orang sendiri juga. Sebuah pengalaman berharga yang membuatnya terus menekuni dunia kepenulisan, hingga kelak “diburu” penerbit buku nasional.
Pada kesempatan kali ini, penulis buku genre motivasi islami ini berbagi tips perihal penerbitan buku. Ia pun memantik peserta untuk memahami alasan perlunya berkolaborasi dengan penerbit buku nasional atau mayor (non indie). Menurutnya, diantara alasan paling sederhana sehingga penulis memilih penerbit nasional diantaranya bisa dilihat dari tiga aspek yaitu (1) reputasi, (2) distribusi, dan (3) kredibilitas. Tiga hal ini menjadi satu kesatuan yang berkaitan, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
Pertama, reputasi. Penerbit nasional umumnya dipercaya oleh pembaca dan masyarakat luas. Dengan demikian, bila penulis mau memberikan bukunya di penerbit nasional maka secara otomatis ia akan mendapat kepercayaan pembaca. Hal lain, penerbit nasional juga umumnya memiliki standar tertentu, yang tentu saja mengatakan kualitas isi tulisan. Di samping itu, tentu saja umumnya penerbit nasional mudah diajak berkolaborasi. Penulis biasanya diberi panggung untuk membedah dan mengenalkan bukunya.
Kedua, distribusi. Dari sisi distribusi, jangkauan penerbit nasional jauh lebih luas. Bayangkan saja, ada penerbit terkenal yang memiliki toko buku yang tersebar di seluruh kota di Indonesia. Jaringan kerja mereka juga luas dan dikenal luas oleh berbagai kalangan. Penerbit nasional juga memiliki media online yang aktif dan terjangkau hingga ke pelosok tanah air. Sehingga membuat buku para penulis bisa diakses oleh semua pembaca di seluruh Indonesia. Di samping itu tentu saja peluang buku menjangkau pasar internasional terbuka lebar. Hal lain, manajemen stoknya bagus dan bisa cetak ulang berkali-kali.
Ketiga, kredibilitas penulis. Penerbit buku nasional juga dapat membantu penulis dalam rangka menguatkan posisinya, sehingga mendapat pengakuan sebagai penulis profesional. Hal ini berdampak pada portofolio penulis. Bila portofolio penulis meningkat maka ia pun semakin dikenal dan buku-buku karya diburu pembaca. Penerbit buku nasional juga sangat mendukung penulis yang mempercayakan bukunya ditentukan di penerbitnya. Hal ini dapat meningkatkan kualitas branding untuk penulis.
Ia pun berbagi tips agar naskah lolos di penerbit nasional. (1) pilih tema yang relevan dan diminati pasar. (2) tulis naskah buku dengan bahasa yang menarik dan sesuai target pembaca, (3) sertakan riset dan data pendukung jika diperlukan, (4) ikuti format penulisan yang diminta penerbit, (5) bangun personal branding sebagai penulis, dan (6) banyak berdoa atau mohon kepada Allah agar dikuatkan, dibimbing dan dilancarkan, sehingga bukunya benar-benar terbit atau naik cetak dan diburu pembaca.
Terima kasih banyak kepada Mas Ahmad Rifai Rifan atas inspirasi dan pengalamannya. Selain beberapa poin di atas, saya sebetulnya memperoleh banyak hal. Semuanya benar-benar menambah energi saya untuk terus menekuni dunia kepenulisan. Mengutip ungkapan seorang teman, “Bikin hangat bahkan panas dada”. Kalau tak mendapatkan inspirasi seperti ini bisa jadi semangat saya untuk menulis buku kendor bahkan semakin kendor. Tapi Mas hadir pada momentum yang sangat tepat. Pokoknya top pakai banget!
Menulis memang butuh komunitas, tak bisa berjalan sendirian. Menulis butuh orang lain, bukan saja pengalamanya tapi juga motivasinya. Hal lain, menulis butuh giat dalam belajar. Penulis sejati adalah pembelajaran sejati. Pembelajar sejati selalu berupaya untuk kolaborasi dengan siapapun yang memungkinkan drinya sukses menulis buku. Jujur saja, pada forum kali ini saya banyak memperoleh energi dan ide untuk berkarya. Ya, menulis itu punya energi tersendiri. Dan itu rasanya kuat sekali.
Pengalaman setiap penulis memang berbeda-beda. Kemampuan mengemas ide dalam satu buku itu menjadi titik beda yang menantang. Dan narasumber kali ini menjadi inspirasi yang sukses menularkan semangat untuk peserta yang hadir, termasuk saya yang menambah sudah merencanakan untuk mengikuti acara dari awal pukul 20.00 WIB hingga akhir pukul 22.12 WIB. Bagi saya, proses belajar yang terus menerus, termasuk mendengar penulis lain yang lebih berpengalaman itu perlu dan penting sekali. Sehingga selalu menemukan ide sekaligus energi baru.
“Jangan sampai ada dan tiadanya kita di dunia ini nggak ada bedanya. Salah satu yang membedakan adalah menulis buku,” begitu kurang lebih ungkapan Mas Ahmad Rifa’i Rif’an saat menjawab pertanyaan sekaligus pernyataan saya menjelang penutupan acara yang diikuti oleh hampir 100 peserta ini. Apa yang disampaikan oleh penulis puluhan buku best seller di tingkat nasional ini benar adanya. Semua kita itu pada dasarnya sama saja. Namun ada hal tertentu yang membuat kita bisa berbeda. Salah satu diantaranya adalah kita menulis buku. Mari menjadi generasi emas baru Indonesia!
Saya jadi teringat dengan buku “Happy Ramadan” yang saya dan Mas Ahmad Rifa’i Rif’an tulis bareng pada 2024 lalu, diterbitkan oleh Penerbit Alma Pustaka, Jawa Timur, pada Maret tahun yang sama. Ada puluhan penulis yang ikut menyumbangkan tulisannya untuk buku setebal 100 halaman ini. Bagi saya, yang tergolong pemula dan masih awam di dunia kepenulisan, buku ini menjadi trigger untuk buku-buku selanjutnya. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih banyak atas semua inspirasi dan pengalamannya. Sangat berharga dan bikin saya semangat. Semoga suatu saat menulis buku bareng lagi ya Mas! (*)