Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Kapita Selekta Pendidikan”
“Bila Anda menulis sekadar ingin dikenal, maka Anda hanya menulis sekali atau dua kali. Setelah itu, Anda bakal mati langkah dan berhenti. Kadang menulis tapi tak ada energi yang membuat Anda termotivasi untuk belajar dan melatih setiap hari. Bila Anda berada pada posisi itu, maka Anda harus membangun komitmen dalam diri Anda bahwa menulis adalah gerakan, bukan sambilan. Generasi muda Indonesia harus melek literasi dan semangat dalam menghasilkan karya!”
Itu merupakan sebuah ungkapan panjang yang disampaikan oleh teman saya ketika mengisi sebuah acara pelatihan kepenulisan beberapa waktu lalu. Ungkapan itu terlihat jelas berapa menulis itu butuh perjuangan dan komitmen yang tinggi. Menulis, dalam bentuk apapun dan apapun jenisnya, harus dibangun di atas keinginan yang kuat dalam diri penulis, terutama kita yang masih pemula. Menulis bukan sekadar iseng atau selingan, tapi mesti dijadikan semacam gerakan.
Namun bila kita sekadar menjadikannya sebagai sambil, maka umumnya yang terjadi adalah sebagai berikut. Pertama, menulis cukup sekali dan mungkin hanya satu karya. Hal ini terjadi karena lemahnya keinginan dalam diri alias tak ada tekad yang kuat. Misalnya, menulis hanya karena ingin dikenal, atau menulis hanya karena kebutuhan sesaat. Ujungnya nanti, menulis hanya pada momentum tertentu. Tak ada upaya untuk konsisten menulis setiap hari.
Kedua, malas membaca. Karena menulis sekadar sambilan, biasanya malas membaca. Kalau sudah membalas membaca, biasanya tak ada ide dan inspirasi untuk menulis. Mungkin ada satu atau beberapa ide, namun umumnya tak menjadi tulisan. Mengapa? Karena stok ide hanya sedikit. Bagi yang tak memiliki tradisi membaca yang kuat, maka ia akan kehilangan sumber ide dan inspirasi. Mungkin ada medium lain, tapi membaca buku adalah kunci utamanya. Menurut seorang teman, generasi baru Indonesia mesti gila baca buku!
Ketiga, tak rutin menulis. Mereka yang punya keinginan yang kuat untuk menulis dan punya tradisi membaca yang kuat biasanya bakal memaksa diri untuk menulis setiap hari. Bahkan ada teman saya yang tidak makan pagi kecuali sudah menulis. Sebaliknya, mereka yang tekad dalam dirinya lemah dan malas membaca terutama buku, maka umumnya juga tidak rutin menulis dan enggan menulis. Mereka selalu punya alasan untuk tidak menulis. Mereka sibuk menyusun alibi yang membenarkan rasa malas itu merasuk dalam dirinya.
Keempat, anti kritik. Penulis yang menulis sekadar sambilan umumnya anti kritik. Mereka tidak mau menerima saran, masukan dan kritik dari siapapun. Bagi mereka, tulisannya sudah bagus dan tak perlu dilakukan pembenahan dalam banyak hal. Bahkan saat mereka malas pun mereka tetap membela diri. Ujungnya ya jelas: ingin punya karya tulis tapi malas menulis. Motivasi dari siapapun tidak akan membuat mereka berbenah diri. Padahal itu penyakit berbahaya. Kalau hal itu terus-terus terjadi, lalu apa jadinya dunia kepenulisan?
Sebagai pemula, saya merasa apa yang disampaikan oleh teman saya di awal tadi, merupakan trigger dan sumber energi yang membuat saya harus berbenah diri. Saya harus menulis setiap hari. Itu komitmen saya, itu target saya. Bahkan, ini yang agak gila, saya tidak boleh tidur malam kecuali saya sudah menulis minimal satu artikel. Bukan sekadar menulis, tapi tulisan yang saya buat harus dipublikasi. Kalau belum dimuat di media online, minimal di blog pribadi saya. Atau akun facebook saya dan media sosial lainnya.
Saya pun selalu terngiang dengan ungkapan itu. Belakangan saya pun berusaha untuk menulis dan menulis. Walau ada saja hambatan ini itu, saya mulai melawannya. Bila rasa malas itu tiba, saya berusaha untuk melawannya. Bila pun mengantuk, saya juga melawannya. Saya harus paksa diri saya untuk membaca buku setiap hari. Bila pun tak mampu menuntaskan satu buku dalam sehari, minimal saya membaca setengahnya. Berat memang, tapi harus dipaksa. Kalau tak dipaksa nanti malah sibuk menyusun pembelaan pada sifat malas. (*)