Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Ketika Allah Memilihmu”
Isra’ Mi’raj merupakan momen bersejarah bagi Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang berdampak pada seluruh umat Islam di dunia. Isra Miraj terdiri atas dua momen penting, yaitu Isra’ dan Mi’raj. Secara bahasa isra’ artinya adalah perjalanan di malam hari, sementara mi’raj artinya tangga untuk naik ke atas.
Karena itu pulalah Isra’ Mi’raj bisa diartikan sebagai perjalanan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan perjalanannya dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha. Perjalanan ini tak bisa dijangkau oleh perhitungan akal atau panca indra lainnya.
Allah berfirman, “Maha suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat”, (QS. al-Isra: 1)
Surat Al Isra ayat satu menunjukkan kuasa Allah atas semua yang terjadi di alam semesta. Sesuai arti surat, Allah sangat berkuasa dalam “memperjalankan” hamba-Nya pada malam hari, yang di luar logika manusia. Surat al-Isra adalah surat ke-17 dengan total 111 ayat. Surat ini masuk golongan surat Makkiyah yang diturunkan sebelum Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah.
Tiga pesan penting isra’ mi’raj adalah sebagai berikut:
Pertama, totalitas penghambaan. Bahwa manusia mesti totalitas melakukan penghambaan hanya kepada Allah, bukan untuk selain-Nya. Totalitas penghambaan merupakan wujud ekspresi tauhid yaitu iman yang murni sekaligus nyata kepada Allah. Tegasnya, menghamba itu hanya kepada Allah, bukan untuk makhluk-Nya.
Kedua, shalat sebagai ibadah kunci. Bahwa shalat merupakan salah satu ibadah kunci penentu dari ibadah lainnya. Menjaga shalat terutama yang wajib, di samping yang sunah, adalah keniscayaan seorang hamba yang bertauhid. Kemampuan dan konsistensi menjalankan shalat bakal berdampak pada konsistensi menjalankan ibadah lainnya.
Ketiga, humanis sebagai sikap imani. Bahwa iman dan ketaatan kepada Allah mesti tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Iman mesti menggerakkan jiwa untuk beramal baik pada sesama. Sikap humanis dan kepedulian terutama dalam rangka menjaga hubungan baik sekaligus menebar rahmat bagi kemanusiaan adalah penting dan niscaya. (*)