Oleh : Riza Zulfa
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram
Baru-baru ini, masyarakat dihebohkan dengan berbagai kasus yang menyangkut institusi kepolisian, salah satunya adalah kasus pengeroyokan yang melibatkan beberapa oknum kepolisian di wilayah Sulawesi Barat. Kejadian ini menjadi sorotan tajam, mengingat aparat kepolisian seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan justru menjadi pelaku tindakan yang melanggar hukum.
Kronologi kasus pengeroyokan yang melibatkan oknum kepolisian di Sulawesi Barat ini bermula dari dugaan seorang oknum polisi yang melakukan kunjungan pribadi ke kos pacarnya pada larut malam. Tindakan ini memicu perhatian seorang pemuda yang kebetulan melintas di daerah tersebut. Pemuda tersebut, merasa situasi kurang pantas, menegur oknum polisi tersebut karena dianggap melanggar norma sosial atau ketertiban malam hari.
Namun, teguran ini justru memicu emosi sang oknum polisi. Tidak terima dengan teguran tersebut, ia diduga kembali ke lokasi kejadian bersama sekitar 50 orang lainnya, yang juga merupakan rekan-rekannya sesama polisi. Dalam suasana yang semakin memanas, terjadilah aksi pengeroyokan terhadap pemuda tersebut oleh kelompok oknum polisi tersebut.
Kasus ini menimbulkan kegemparan di masyarakat karena melibatkan institusi yang seharusnya menjadi teladan dalam menjaga ketertiban dan menegakkan hukum. Alih-alih menyelesaikan permasalahan dengan cara yang bijak, tindakan ini justru menunjukkan penyalahgunaan wewenang dan mencoreng citra kepolisian.
Kasus ini semakin memperkuat kekhawatiran masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum tertentu dalam institusi yang memiliki tanggung jawab besar terhadap penegakan hukum dan keamanan. Tindakan seperti ini tidak hanya mencoreng nama baik institusi kepolisian secara keseluruhan, tetapi juga menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum.
Insiden ini memicu gelombang kritik dari berbagai pihak. Masyarakat menilai tindakan ini sebagai bentuk arogansi kekuasaan yang tidak seharusnya terjadi di institusi penegak hukum. Banyak yang merasa khawatir bahwa kejadian serupa bisa terulang jika tidak ada tindakan tegas dan reformasi dalam tubuh kepolisian.
Di media sosial, insiden ini menjadi viral, dengan berbagai kecaman terhadap oknum-oknum tersebut. Banyak pihak menuntut agar kasus ini ditangani secara transparan dan tidak ada upaya melindungi pelaku hanya karena status mereka sebagai aparat hukum.
Sebagai langkah solutif, diperlukan tindakan tegas dari internal institusi kepolisian untuk memberikan sanksi kepada oknum-oknum yang terbukti bersalah. Transparansi dalam proses hukum dan pembenahan sistem pengawasan internal menjadi hal yang mendesak agar kasus serupa tidak terulang. Selain itu, peningkatan pelatihan etika dan profesionalisme aparat kepolisian perlu terus digalakkan untuk memastikan bahwa mereka menjalankan tugas sesuai dengan sumpah jabatan dan tanggung jawabnya kepada masyarakat.
Sebagai salah satu institusi yang memiliki peran penting dalam pelayanan masyarakat, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) diharapkan menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum, menjaga keamanan, dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Namun, beberapa kasus yang melibatkan oknum anggota kepolisian justru mencoreng citra institusi ini dan merusak kepercayaan publik yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam menjalankan tugas mereka.
Kasus-kasus yang menyeret oknum kepolisian, seperti pengeroyokan di Sulawesi Barat, dugaan penyalahgunaan wewenang, dan tindakan tidak profesional lainnya, seharusnya menjadi perhatian serius bagi institusi ini. Evaluasi menyeluruh dan tindakan nyata menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa Polri tetap berada di jalur sebagai pengayom masyarakat.
Kasus ini juga mengingatkan masyarakat akan pentingnya pengawasan publik terhadap kinerja aparat negara. Kolaborasi antara masyarakat, media, dan institusi penegak hukum sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih transparan dan akuntabel. Hanya dengan cara ini, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dapat dipulihkan dan dijaga.
Harapan masyarakat terhadap Polri saat ini tidak hanya sebatas pada keinginan agar institusi tersebut memperbaiki citranya yang tercoreng oleh berbagai kasus, tetapi juga agar Polri mampu kembali menjalankan tugas dan mandatnya dengan baik, jujur, dan amanah. Polri diharapkan mampu menjadi institusi yang benar-benar berkomitmen untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat secara profesional dan tanpa pandang bulu.
Kepercayaan masyarakat terhadap Polri adalah aset utama yang harus dijaga. Dalam menjalankan tugasnya, Polri tidak hanya dituntut untuk menegakkan hukum, tetapi juga menjadi teladan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab. Masyarakat berharap agar anggota kepolisian dapat meninggalkan budaya negatif seperti penyalahgunaan wewenang, arogansi kekuasaan, dan tindakan tidak profesional lainnya. (*)