Chas Back Hotel adalah Korupsi Terselubung Dalam Birokrasi
Oleh: Sudirman A. Lamadike
Analis SDM Aparatur pada BMBPSDM Kemenag RI
Praktik cash back dalam pemesanan hotel untuk kegiatan seperti FGD, seminar, dan acara resmi lainnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem birokrasi di Indonesia. Meski tampak sebagai mekanisme yang lazim, praktik ini berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi negara. Dalam skema ini, pihak hotel memberikan pengembalian dana dalam bentuk persentase tertentu dari nilai kontrak, yang kemudian didistribusikan kepada berbagai pihak yang terlibat dalam pemesanan.
Struktur birokrasi yang ada menciptakan ketimpangan dalam distribusi keuntungan dari praktik cash back. Pejabat yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan umumnya menerima bagian terbesar, sementara staf di tingkat bawah hanya memperoleh bagian kecil dalam bentuk barang berkualitas rendah, seperti seragam batik sekali pakai warna langsung pudar atau perlengkapan kerja berkualitas rendah seperti tas dengan daya tahan rendah. Pola ini mencerminkan ketidakadilan sistemik yang telah lama mengakar dalam budaya birokrasi.
Dampak dari praktik ini sangat luas. Pertama, terjadi pemborosan Anggaran Negara karena dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik justru diselewengkan. Kedua, praktik ini berkontribusi terhadap penurunan moral aparatur negara, dimana tindakan yang melanggar etika dianggap sebagai hal yang wajar. Ketiga, terjadi ketimpangan dalam birokrasi, dimana pejabat tinggi menikmati keuntungan lebih besar dibandingkan pegawai biasa yang hanya mendapatkan sisa-sisa manfaat.
Sebagai respons terhadap permasalahan ini, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, yang menyoroti praktik cash back sebagai salah satu tantangan utama dalam reformasi birokrasi. Langkah yang diambil mencakup efisiensi anggaran untuk mengurangi pemborosan, mencegah kebocoran dana akibat praktik korupsi terselubung, serta mengalokasikan anggaran ke sektor yang lebih produktif demi kesejahteraan masyarakat.
Efisiensi anggaran menjadi strategi utama dalam memastikan bahwa setiap pengeluaran negara benar-benar memberikan manfaat bagi rakyat. Instruksi ini diibaratkan sebagai upaya merenovasi rumah yang telah lapuk akibat rayap—diperlukan perbaikan menyeluruh agar sistem birokrasi menjadi lebih kuat, transparan, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), penulis mendukung penuh kebijakan efisiensi anggaran ini. Ketimpangan kesejahteraan antara pejabat dan pegawai biasa perlu dikurangi melalui tata kelola anggaran yang lebih adil. Dengan demikian, manfaat dari kebijakan pemerintah dapat dirasakan secara merata oleh semua pihak.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara harus diperkuat agar praktik seperti chas back hotel dapat dihentikan sepenuhnya. Jika seluruh elemen birokrasi berperan aktif dalam mewujudkan reformasi ini, maka sistem pemerintahan yang lebih bersih, efisien, dan berpihak pada rakyat dapat tercapai.
Praktik chas back dalam pemesanan hotel merupakan bentuk korupsi terselubung yang telah lama terjadi dalam birokrasi Indonesia. Meskipun sudah dianggap sebagai kebiasaan, dampaknya sangat merugikan negara dan memperparah ketimpangan birokrasi. Oleh karena itu, kebijakan efisiensi angggaran yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto diharapkan mampu memutus rantai korupsi ini.
Perubahan sistem dan budaya birokrasi memerlukan komitmen bersama. Jika Indonesia ingin memiliki pemerintahan yang lebih bersih dan profesional, maka praktik-praktik korupsi terselubung harus dihentikan. Dukungan terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran menjadi kunci utama dalam memastikan bahwa dana publik digunakan secara optimal demi kesejahteraan masyarakat. (*)